Tanah
Serang masih basah, hujan yang turun hampir semalam penuh, tak menyurutkan
niatku untuk kembali ke tanah kelahiran. Di musim hujan memang kurang tepat untuk
berpergian, apalagi menggunakan sepeda motor.
Selasa
(4/2), matahari masih malu untuk pancarkan sinar keperkasaannya. Langit nampak
murung dengan warna hitam yang mendominasi wajahnya. Dengan kalimat BISMILLAH, kumulai perjalanan ini.
Mio
hitam telah kunyalakan. Di punggungku, ransel berwarna coklat telah menempel. Sekira
pukul 09:00 WIB, aku berangkat dari Kampung Katulisan, Kecamatan Kasemen,
Serang Banten. Jarum penunjuk isi bensin sudah menunjuk pada garis merah hampir
ke huruf E, dengan segera aku meluncur
untuk mengisi bahan bakar di POM yang berada diantara lampu merah Lontar-Kepandean.
Setelah mengisi penuh, aku langsung tancap gas.
Jalur
Serang-Merak memang tak terlalu lebar, padahal ini adalah jalur utama yang biasa
di lewati kendaraan berroda. Dengan santai aku menarik gas, melewati jalan
lurus yang di rayapi para pengguna jalan. Kramat Watu, Cilegon dan akhirnya
sampai juga di Merak sekitar pukul 10:00 WIB.
Di
pintu masuk pelabuhan, aku membayar sejumlah 39.000 rupiah untuk mendapatkan
tiket kapal. Seorang petugas
mengarahkanku untuk menuju dermaga II. Menunggu adalah hal yang sedikit
membosankan, bagaimana tidak? Kapal yang akan aku naiki masih dalam proses sandar,
dan belum memuntahkan penumpang yang berada didalamnya. Setelah memakan waktu cukup lama, akhirnya
tiba giliranku untuk masuk ke dalam kapal.
Pelabuhan
Merak-Bakauheni, berjarak lebih kurang 22,5 KM. Terhitung sejak berangkat
sampai sandar, membutuhkan waktu 2
sampai 3 jam. Untuk mnghilangkan rasa jenuh, biasanya aku berjalan-jalan
keliling kapal atau berdiri di pinggir pagar untuk memandangi laut dan sekelilingnya.
Tapi, langit tak mengizinkan kebiasaanku, dengan hujan yang ia tumpahkan pada
permukaan laut.
Di
dalam kapal ferry Duta Banten, aku duduk di ruangan kelas 3, kursi plastik di
deretan tengah. Meskipun bukan hari libur, penumpang cukup ramai. Dari sekian
banyak orang, tak ada satu pun yang aku kenal. Untuk membuang rasa jenuh, kusapa
seorang gadis berkerudung merah yang duduk tepat di samping kananku.
Khoirul Badriyah namanya, seorang
mahasiswi di salah satu Universitas di Jakarta. Meski baru pertama kali
bertemu, gadis yang berdomisili di Jabung (Lampung Timur), tampak akrab
denganku. Bercerita panjang lebar seputar perjalanan, pendidikan, dunia anak-anak, dan
banyak hal yang kami perbincangkan saat itu. Saking asyiknya bercerita, kami
lupa jika saat itu gelombang sedang besar dan banyak penumpang yang mabuk perjalanan.
Tak terasa, sudah hampir 3,5 jam kami bercengkrama, kapal sudah hampir
bersandar di Pelabuhan Bakauheni.
Meski sepeda motor sudah keluar dari
mulut kapal, hujan masih tak reda. Tentu saja harus ada keputusan yang aku pilih, meneruskan perjalanan tanpa jas
hujan atau berteduh di pinggir jalan. Setelah menentukan, akhirnya aku terus
berjalan menembus rinai hujan. Dingin sudah pasti, tapi ada sensasi berbeda
ketika mengendarai motor di tengah derasnya air hujan. Harus jeli melihat air
yang menggenangi punggung aspal, karena banyak lubang yang seharusnya
dihindari. Berulang kali aku terjebak
dan masuk ke dalamnya, tapi cukup seru dan membuatku menertawai diri sendiri.
Terhitung sejak turun dari kapal,
hingga melewati beberapa kecamatan di kabupaten Lampung Selatan. Penengahan,
Kalianda, Sidomulyo, Ketibung dan Tarahan. Dengan kondisi jalan yang sedikit
rusak, di tambah dengan curah hujan yang begitu lebat, membuatku tak bebas
untuk memutar tali gas. Dalam gigil dan wajah yang seperti di tusuk
jarum-jarum air, aku tetap bersemangat
untuk meneruskan perjalanan yang sudah berlangsung sekira 1,5 Jam.
Sesampainya di daerah Panjang,
tepatnya di daerah Pulau Pasir dan Pasir Putih, hujan pun berhenti. Motorku
terus melaju, zig-zag diantara mobil-mobil besar, fuso, container, dan Truck.
Semburan asap hitam yang keluar dari bibir knalpot sedikit mengaburkan
pandanganku, sehingga aku harus lebih hati-hati dan berkonsentrasi.
Banyak jalan untuk menuju Tanggamus,
belok kiri di pertigaan Panjang yang nantinya akan melewati pinggiran kota,
pelabuhan peti kemas Panjang -Teluk Betung - Kemiling. Jalur ini terdapat
banyak persimpangan dan perempatan yang akan membingungkan karena minimnya
penunjuk jalan.
Alternative ke Dua adalah perempatan
Panjang belok kiri, jalur menuju pusat Kota Bandar Lampung. Tanjung Karang -
Pasar Bambu Kuning – Kemiling. Di jalur ini juga cukup rumit bagi pendatang
baru. Untuk tujuan wisata kota, jalur ini yang lebih mudah, dengan catatan
harus banyak bertanya dan celingak-celinguk melihat petunujuk arah.
Aku memilih jalan lurus, selain
jalannya lebar dan dua jalur, juga jarang macet. Akhirnya dengan kecepatan
penuh, motorku melaju di jalur yang hampir serupa dengan jalan tol ini. Sedang
asyik-asyiknya ngebut di jalanan, dengan terpaksa aku menekan handle rem hingga
motor berhenti di barisan Pak Polisi. Dengan salam hormat, seorang aparat
berkumis tebal memintaku menunjukan surat-surat kendaraan. Semua lengkap, hanya
saja lampu utama tidak kunyalakan. Pak Polisi menilangku dengan pasal 258 denda
250.000 rupiah. Setalah terjadi perdamaian dan tawar menawar harga yang jatuh
pada angka 70.000 rupiah. Aku putar gas meneruskan perjalanan dengan hati yang
sedikit dongkol. Memang ini salahku, tapi segampang itukah mencari uang? buatku
uang segitu bisa buat makan Lima hari, dan mendapatkannya pun butuh waktu Dua
hari, dengan keringat bercucuran sampai ke ketiak. Tapi ya sudahlah, ikhlas
nggak ikhlas sih! Tapi memang aku yang salah.
Dingin membuatku menggigil, tangan
semakin mengeriput dan butuh istirahat sejenak untuk menghangatkan diri. Tak
jauh dari perempatan Kali Balok, aku berhenti di sebuah warung dan langsung
memesan kopi. Setelah badan terasa sedikit hangat, aku kembali menyusuri jalan.
Di perempatan Way Halim yang sudah memiliki play over, aku belokkan
motor ke arah kiri. Terus berjalan melewati rel dan mentok dipertigaan yang
serupa huruf T. di sini juga ada dua alternative, belok ke kanan untuk melewati
Raja Basa-Pramuka, belok kiri- Kemiling, belok kanan. Atau alternative ke Dua,
belok kiri sedikit untuk mencari putaran ke arah kanan, setelah berada di jalur
kanan, sekitar 300 meter terdapat Plang di sebelah kiri jalan bertuliskan
Sentra Keripik. Jalur ini di sebut Gang Bakti atau Gang P.U. jalan terus hingga
bertemu dengan pertigaan yang sama dengan huruf T, lalu motor kubelokkan ke
arah kanan.
Kurang lebih Dua jam lagi untuk sampai ke
kampungku, Sinar Banten, Kec. Talangpadang. Di karenakan perjalanan masih
lumayan jauh, bensinpun sudah menunjuk garis merah. Di SPBU Kurungan Nyawa yang berada di samping Rumah
Sakit Jiwa, Negri Sakti. Aku mengisi bensin hingga tak ada ruang lagi dalam
tangki motorku.
Guntur menggelegar, hujan
kembali turun di sekitar Negeri Sakti, Pesawaran. Sebuah kabupaten baru,
pemekeran dari Kab. Tanggamus. Dengan pakaian yang memang sudah basah kuyup sedari tadi, aku tidak menghiraukan
hujan yang turun lebih deras itu. Sambil memutar gas dengan tangan kanan,
tangan kiripun tak kalah aktif untuk menyeka air hujan yang mengganggu wajahku.
Walaupun menggunakan helm, tapi kubiarkan kacanya terbuka.
Di sebuah Tugu bambu yang menjadi perbatasan dan simbol kabupaten yang di dominasi oleh
penduduk berdarah jawa, menyapaku dengan kata sambutan yang ramah “Selamat
Datang di Pringsewu”. Di sini, hamparan
sawah yang luas tersaji dan memanjakan
mata. Dengan konsentrasi penuh aku terus melaju dan melupakan keindahan
yang seharusnya bisa kunikmati, dengan jajanan serupa Angkringan, hanya saja
duduk melingkar di atas kursi plastik. Perjalanan kurang dari Satu jam lagi, hanya
tinggal melewati Kecamatan Pagelaran dan
Pugung, hingga sampai di kecamatan Talang
Padang sekitar pukul 17:00 Wib.
Setibanya dirumah, aku langsung menuju kamar mandi untuk mengguyur
badanku. Setelah mandi dan mengganti baju, hangatnya kopi hitam yang diracik dengan tangan yang selalu
menjanjikan surga di telapak kakinya, membuatku melupakan semua gigil, dan
lelah yang kurasa terbayar sudah dengan kerinduanku pada orang tua.
Banyak pelajaran yang bisa kupetik dari sebuah perjalanan, di mana
banyak keputusan yang harus di pilih, butuh
persiapan yang matang, tak membiarkan kendala sekecil apapun menghambat
atau merugikan, dan yang pasti berjalanalah karena hidup itu sebuah perjalanan.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Sekedar informasi tambahan, untuk
anda yang berasal dari pulau jawa, atau daerah Bandar Lampung, dan ingin menuju
Wono Sobo,Kota Agung, Gisting, Gunung Alip, Gunung Batu, dan Sumberejo. bisa
mengikuti rute perjalanan di atas.
Atau bagi anda yang ingin menuju Pulau Panggung, Batu Tegi, Air
Naningan, Lebuay, dan Ulu Belu, rute tetap sama. Setelah menemui pasar Talang
Padang, belok kanan dan lurus terus hingga menemui persimpangan Tekad. Untuk
anda yang ingin ke Ulu Belu lurus terus, sedangkan tujuan lain belok kanan.