Selama ini kau hanya melihatku dari
kacamata yang kau sebut kebaikan. Selama kau
mengannggapku orang baik, selama itu pula kau tak pernah tahu keburukan
yang telah terjadi. Terlebih ketika aku megalami masa-masa kelam tentang
perjalanan hidupku yang suram. Tentu kau masih ingat ketika aku berkata “Lebih
baik bekas orang jahat, ketimbang bekas orang baik” pada kalimat itu
sesungguhnya aku sedang menghakimi diriku sendiri, aku ingin mengatakan, aku
hanya orang yang pernah melakukan kebaikan, setelah itu berfikirlah,
sesungguhnya aku telah berubah menjadi sosok yang menyeramkan.
Terhitung sejak cita-citaku menjadi
seorang guru, harus terampas dengan keadaan sulit dalam ekonomi keluarga yang
berpayung keterbatasan. Saat itu pula, ambisiku berkecamuk dengan emosi remaja
yang tak pernah memikirkan akhirnya. Dalam keputusan yang tak seharusnya, tanpa
restu dan tanpa persetujuan orang tua, aku telah mengedapankan ambisiku untuk
berhenti menikmati pendidikan pada kelas 2 SMA. Memang hidup itu sebuah
keputusan. Gagal memutuskan suatu masalah, sudah pasti suatu masalah lain akan
gagal diputuskan.
Dengan kondisi yang masih labil, aku
beranjak dari ketiak orang tua, menantang hidup dengan tangan mungil yang tak
senada dengan ambisi yang besar. Sebuah ambisi untuk membuktikan aku mampu dan
aku bisa mengubah keadaan dengan tangan mungilku. Tanpa aku sadari saat itu aku
hanya mimpi, mimpi yang tak sebanding dengan kemampuan.
Belasan tahun aku menjalani hidup di tanah rantau, bergumul
dengan waktu, mengais-ngais rejeki dengan perasan keringat. Terpanggang
matahari, tersiram hujan. Bahkan rasa malu tak sedikitpun aku hiraukan,
lelahpun tak kurasakan. Aku tak peduli dengan siapapun, yang aku tahu saat itu
aku lapar dan butuh pengganjal perut. Dengan keterbatasan keterampilan dan
bahkan tak ada satupun yang aku kuasai selain aku hanya memiliki tenaga. Apa
yang menjadi ambisiku hanya sebuah istana pasir yang tak pernah menjelma
bangunan utuh.
Berbekal tenaga, aku berjalan
ditengah-tengah semrawutnya pasar, bagai semut yang tertimpah remah-remah gula.
Berbaris menumpuk dan mengosongkan remah-remah,
bersama orang-orang yang bekerja layaknya kuda yang dicambuk dan didera,
demi sebuah upah yang dihitung dengan lelah pundak. Jauh sekali dari cita-cita
dan ambisiku.
Terkadang aku berhayal menjadi seperti mereka, menikmati masa
remaja tanpa harus bersusah payah memikirkan rupiah, hanya menjulurkan tangan
pada orang tua, lembar demi lembar rupiah sudah masuk dalam sakunya.
Menghabiskan waktu berkumpul bersama teman-teman, bercanda bersama, sambil
membahas kegiatan apa yang akan dilakukan. Sepulangnya di rumah, nasi sudah
tergeletak, lengkap dengan sayur dan lauk pauk.
Tapi aku juga sadar kalau saat itu aku hanya berhayal, dan memang itu
semua sekedar hayalan pelepas lelahku. Mungkin semua ini berawal dari keputusan
yang salah.
Keputusan adalah rencana, gagal merencanakan sesuatu, berarti
merencanakan sesuatu yang gagal. Kata ‘kegagalan’ yang membuatku selalu merasa
takut untuk melawan rasa ketakutan yang aku takuti. Dan rasa ketakutan itu
adalah sebuah kegagalan. Sebagai orang yang telah gagal(dalam pandangan mataku)
aku berusah untuk tidak mengulangi kegagalan. Meski terkadang aku tak tahu
bagaimana kedepannya, dan memang kita tak bisa meramalkan masa depan. Hingga
tak pernah terfikir olehku untuk menjadi apa dan siapa?
Belasan tahun yang aku jalani, hanya demi rupiah, rupiah dan
rupiah. Tapi apa yang kudapati hanya lipatan kecil yang tak sebanding dengan
derasnya keringat yang telah mengucur. Demi sebuah hoby yang menggila,
Mancing, Sabung Ayam, yang setelah aku
sadari semua itu hanya perjudian dan pemuas nafsu. Aku berada dalam lingkaran
setan saat itu. Bahkan aku tenggelam dalam aroma Alkohol yang membuatku
terjatuh dan sisakan luka. (pada paragraf ini, aku tak bisa membendung airmata)
Apakah kau masih menganggapku
seorang yang terbaik untuk kau jadikan imam? Bahkan aku tak ingin seorang
makmumpun berdiri di belakangku yang selalu kalah dengan ambisi brutal yang
menjurus liar. Aku telah kehilangan kepercayaan diri, aku telah kehilangan masa
depan, aku telah kehilangan semua yang pernah aku impikan! Apakah kau masih
berfikir aku orang baik? Dan pantaskah aku menyandang gelar orang
baik-baik.?
Selama ini aku tak banyak bercerita
pada sepasang telinga, pada mata, atau pada hati yang sudi membagi hati. Yang
aku lakukan hanya tersudut di dalam kamar,
bersahabat dengan pena dan lembaran-lembaran putih. Pada diri sendiripun
aku tak percaya, bagaimana dengan orang lain. Yah, orang lain. Aku selalu mengganggap
mereka orang lain, selain deary. Bukannya aku tak pernah percaya pada hati orang lain, sering aku berbagi pada
hati. Semua itu justru membuatku harus berhati-hati untuk bercerita. Karena
semua orang tak ingin tahu, meski banyak yang ingin tahu hanya untuk sekedar
tahu dan memberi tahu pada yang belum tahu,
apakah aku harus percaya pada orang-orang sperti itu?
Hingga aku berpasrah pada sang maha
mengetahui, berulang kali aku bercerita pada-NYA. Bukan mengeluh, tapi sekedar
bercerita untuk melepas sesak yang memadati rongga dada, bahkan
menendang-nendang dalam rahim otakku. Aku terus mendekatkan diri pada-NYA.
Dengan menyibukan diri untuk berkumpul bersama orang-orang yang peduli dengan
orang lain. Aku mencoba membiasakan diri dengan tidak menyukai kesendirian,
kesepian dan keterasingan. banyak hal yang aku lakukan, yang semuanya itu
kusebut sebagai proses.
Proses pengembalian kepercayaan diri
dan proses menuju ambisi yang tak muluk-muluk tentunya. Saat ini aku hanya
ingin menjadi orang yang berguna bagi orang lain, dan diri sendiri. Terserah
orang mau menilai diriku baik atau tidak, yang pasti aku akan melakukan yang
terbaik yang bisa aku lakukan. Semua proses tak akan berarti tanpa dukungan,
dan aku sangat berharap sekali dukungan orang-orang yang aku percaya
mendukungku. Selama ini tak ada kebanggan yang aku suguhkan untuk orang
tercinta, terutama orang yang telah kulangkahi keputusannya, orang tua.
Saat ini yang aku fikirkan hanya
orang tua, aku ingin sekali membalas kekecewaan yang pernah aku putuskan.
Meskipun aku tahu, mendengar diriku yang berprilaku positif saja, orang tuaku
sudah bangga. Tapi aku berharap dapat membanggakan mereka lebih, tapi aku
sadari dengan keterbatasan yang aku miliki, dan aku juga tak ingin berhenti
dengan keterbatasan yang justru menyempitkanku. Aku akan berjuang melawan
kegagalan dan takut untuk menjadi apa dan siapa?
Untukmu, maaf jika selama ini aku tak memperhatikanmu, aku
hanya ingin fokus pada kebanggan yang akan kusuguhkan pada orang tuaku. Dan aku
bermimpi untuk menjadi seorang yang bisa
di banggakan walau pekerjaanku saat ini hanya seorang kuli yang dibayar
dengan hitungan pundak. Tentang aku, sedkit banyak kau akan mengerti lewat
kalimat demi kalimat yang telah kau baca ini. Tentang kesimpulanmu, itu hak mu untuk
memlih. Walau terkadang tak memilihpun suatu pilihan. Tentang ambisiku saat
ini, biarlah aku berjalan bersama keegoisan yang sedang aku laukukan. Untuk
sebuah keputusan, yah.. ini sebuah keputusan. Dan biarlah aku menumpahkan masa
laluku yang selalu di landa kegagalan, yang selalu kusembunyikan pada rahim
ingatan. Untuk kali ini saja, coba fikirkan dengan baik-baik keputusanmu.
Silahkan kau nilai bagaimana aku, karena itu hakmu. Dan hidup itu sebuah
keputusan yang harus terencana. Aku harap kau dapat mengerti, walau kalimatku
sulit kau fahami.
keren,
BalasHapusfollow blog gw juga donk !