Jumat, 14 Februari 2014

EMAIL UNTUK MULI CEKHIWIIT



            Selama ini kau hanya melihatku dari kacamata yang kau sebut kebaikan. Selama kau  mengannggapku orang baik, selama itu pula kau tak pernah tahu keburukan yang telah terjadi. Terlebih ketika aku megalami masa-masa kelam tentang perjalanan hidupku yang suram. Tentu kau masih ingat ketika aku berkata “Lebih baik bekas orang jahat, ketimbang bekas orang baik” pada kalimat itu sesungguhnya aku sedang menghakimi diriku sendiri, aku ingin mengatakan, aku hanya orang yang pernah melakukan kebaikan, setelah itu berfikirlah, sesungguhnya aku telah berubah menjadi sosok yang menyeramkan.
            Terhitung sejak cita-citaku menjadi seorang guru, harus terampas dengan keadaan sulit dalam ekonomi keluarga yang berpayung keterbatasan. Saat itu pula, ambisiku berkecamuk dengan emosi remaja yang tak pernah memikirkan akhirnya. Dalam keputusan yang tak seharusnya, tanpa restu dan tanpa persetujuan orang tua, aku telah mengedapankan ambisiku untuk berhenti menikmati pendidikan pada kelas 2 SMA. Memang hidup itu sebuah keputusan. Gagal memutuskan suatu masalah, sudah pasti suatu masalah lain akan gagal diputuskan.
            Dengan kondisi yang masih labil, aku beranjak dari ketiak orang tua, menantang hidup dengan tangan mungil yang tak senada dengan ambisi yang besar. Sebuah ambisi untuk membuktikan aku mampu dan aku bisa mengubah keadaan dengan tangan mungilku. Tanpa aku sadari saat itu aku hanya mimpi, mimpi yang tak sebanding dengan kemampuan. 
Belasan tahun aku menjalani hidup di tanah rantau, bergumul dengan waktu, mengais-ngais rejeki dengan perasan keringat. Terpanggang matahari, tersiram hujan. Bahkan rasa malu tak sedikitpun aku hiraukan, lelahpun tak kurasakan. Aku tak peduli dengan siapapun, yang aku tahu saat itu aku lapar dan butuh pengganjal perut. Dengan keterbatasan keterampilan dan bahkan tak ada satupun yang aku kuasai selain aku hanya memiliki tenaga. Apa yang menjadi ambisiku hanya sebuah istana pasir yang tak pernah menjelma bangunan utuh.
            Berbekal tenaga, aku berjalan ditengah-tengah semrawutnya pasar, bagai semut yang tertimpah remah-remah gula. Berbaris menumpuk dan mengosongkan remah-remah,  bersama orang-orang yang bekerja layaknya kuda yang dicambuk dan didera, demi sebuah upah yang dihitung dengan lelah pundak. Jauh sekali dari cita-cita dan ambisiku.
Terkadang aku berhayal menjadi seperti mereka, menikmati masa remaja tanpa harus bersusah payah memikirkan rupiah, hanya menjulurkan tangan pada orang tua, lembar demi lembar rupiah sudah masuk dalam sakunya. Menghabiskan waktu berkumpul bersama teman-teman, bercanda bersama, sambil membahas kegiatan apa yang akan dilakukan. Sepulangnya di rumah, nasi sudah tergeletak, lengkap dengan sayur dan lauk pauk.  Tapi aku juga sadar kalau saat itu aku hanya berhayal, dan memang itu semua sekedar hayalan pelepas lelahku. Mungkin semua ini berawal dari keputusan yang salah.
Keputusan adalah rencana, gagal merencanakan sesuatu, berarti merencanakan sesuatu yang gagal. Kata ‘kegagalan’ yang membuatku selalu merasa takut untuk melawan rasa ketakutan yang aku takuti. Dan rasa ketakutan itu adalah sebuah kegagalan. Sebagai orang yang telah gagal(dalam pandangan mataku) aku berusah untuk tidak mengulangi kegagalan. Meski terkadang aku tak tahu bagaimana kedepannya, dan memang kita tak bisa meramalkan masa depan. Hingga tak pernah terfikir olehku untuk menjadi apa dan siapa?
Belasan tahun yang aku jalani, hanya demi rupiah, rupiah dan rupiah. Tapi apa yang kudapati hanya lipatan kecil yang tak sebanding dengan derasnya keringat yang telah mengucur. Demi sebuah hoby yang menggila, Mancing,  Sabung Ayam, yang setelah aku sadari semua itu hanya perjudian dan pemuas nafsu. Aku berada dalam lingkaran setan saat itu. Bahkan aku tenggelam dalam aroma Alkohol yang membuatku terjatuh dan sisakan luka. (pada paragraf ini, aku tak bisa membendung airmata)
            Apakah kau masih menganggapku seorang yang terbaik untuk kau jadikan imam? Bahkan aku tak ingin seorang makmumpun berdiri di belakangku yang selalu kalah dengan ambisi brutal yang menjurus liar. Aku telah kehilangan kepercayaan diri, aku telah kehilangan masa depan, aku telah kehilangan semua yang pernah aku impikan! Apakah kau masih berfikir aku orang baik? Dan pantaskah aku menyandang gelar   orang baik-baik.?
            Selama ini aku tak banyak bercerita pada sepasang telinga, pada mata, atau pada hati yang sudi membagi hati. Yang aku lakukan hanya tersudut di dalam kamar,  bersahabat dengan pena dan lembaran-lembaran putih. Pada diri sendiripun aku tak percaya, bagaimana dengan orang lain. Yah, orang lain. Aku selalu mengganggap mereka orang lain, selain deary. Bukannya aku tak pernah percaya  pada hati orang lain, sering aku berbagi pada hati. Semua itu justru membuatku harus berhati-hati untuk bercerita. Karena semua orang tak ingin tahu, meski banyak yang ingin tahu hanya untuk sekedar tahu dan memberi tahu pada yang belum tahu,  apakah aku harus percaya pada orang-orang sperti itu?
            Hingga aku berpasrah pada sang maha mengetahui, berulang kali aku bercerita pada-NYA. Bukan mengeluh, tapi sekedar bercerita untuk melepas sesak yang memadati rongga dada, bahkan menendang-nendang dalam rahim otakku. Aku terus mendekatkan diri pada-NYA. Dengan menyibukan diri untuk berkumpul bersama orang-orang yang peduli dengan orang lain. Aku mencoba membiasakan diri dengan tidak menyukai kesendirian, kesepian dan keterasingan. banyak hal yang aku lakukan, yang semuanya itu kusebut sebagai proses.
            Proses pengembalian kepercayaan diri dan proses menuju ambisi yang tak muluk-muluk tentunya. Saat ini aku hanya ingin menjadi orang yang berguna bagi orang lain, dan diri sendiri. Terserah orang mau menilai diriku baik atau tidak, yang pasti aku akan melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan. Semua proses tak akan berarti tanpa dukungan, dan aku sangat berharap sekali dukungan orang-orang yang aku percaya mendukungku. Selama ini tak ada kebanggan yang aku suguhkan untuk orang tercinta, terutama orang yang telah kulangkahi keputusannya, orang tua.
            Saat ini yang aku fikirkan hanya orang tua, aku ingin sekali membalas kekecewaan yang pernah aku putuskan. Meskipun aku tahu, mendengar diriku yang berprilaku positif saja, orang tuaku sudah bangga. Tapi aku berharap dapat membanggakan mereka lebih, tapi aku sadari dengan keterbatasan yang aku miliki, dan aku juga tak ingin berhenti dengan keterbatasan yang justru menyempitkanku. Aku akan berjuang melawan kegagalan dan takut untuk menjadi apa dan siapa?
Untukmu, maaf jika selama ini aku tak memperhatikanmu, aku hanya ingin fokus pada kebanggan yang akan kusuguhkan pada orang tuaku. Dan aku bermimpi untuk menjadi seorang yang bisa  di banggakan walau pekerjaanku saat ini hanya seorang kuli yang dibayar dengan hitungan pundak. Tentang aku, sedkit banyak kau akan mengerti lewat kalimat demi kalimat yang telah kau baca ini. Tentang kesimpulanmu, itu hak mu untuk memlih. Walau terkadang tak memilihpun suatu pilihan. Tentang ambisiku saat ini, biarlah aku berjalan bersama keegoisan yang sedang aku laukukan. Untuk sebuah keputusan, yah.. ini sebuah keputusan. Dan biarlah aku menumpahkan masa laluku yang selalu di landa kegagalan, yang selalu kusembunyikan pada rahim ingatan. Untuk kali ini saja, coba fikirkan dengan baik-baik keputusanmu. Silahkan kau nilai bagaimana aku, karena itu hakmu. Dan hidup itu sebuah keputusan yang harus terencana. Aku harap kau dapat mengerti, walau kalimatku sulit kau fahami.

Sekilas info, Rute Serang-Tanggamus



            Tanah Serang masih basah, hujan yang turun hampir semalam penuh, tak menyurutkan niatku untuk kembali ke tanah kelahiran. Di musim hujan memang kurang tepat untuk berpergian, apalagi menggunakan sepeda motor.
            Selasa (4/2), matahari masih malu untuk pancarkan sinar keperkasaannya. Langit nampak murung dengan warna hitam yang mendominasi wajahnya. Dengan kalimat BISMILLAH,  kumulai perjalanan ini.
            Mio hitam telah kunyalakan. Di punggungku, ransel berwarna coklat telah menempel. Sekira pukul 09:00 WIB, aku berangkat dari Kampung Katulisan, Kecamatan Kasemen, Serang Banten. Jarum penunjuk isi bensin sudah menunjuk pada garis merah hampir ke huruf  E, dengan segera aku meluncur untuk mengisi bahan bakar di POM yang berada diantara lampu merah Lontar-Kepandean. Setelah mengisi penuh, aku langsung tancap gas.
            Jalur Serang-Merak memang tak terlalu lebar, padahal ini adalah jalur utama yang biasa di lewati kendaraan berroda. Dengan santai aku menarik gas, melewati jalan lurus yang di rayapi para pengguna jalan. Kramat Watu, Cilegon dan akhirnya sampai juga di Merak sekitar pukul 10:00 WIB.
            Di pintu masuk pelabuhan, aku membayar sejumlah 39.000 rupiah untuk mendapatkan tiket kapal.  Seorang petugas mengarahkanku untuk menuju dermaga II. Menunggu adalah hal yang sedikit membosankan, bagaimana tidak? Kapal yang akan aku naiki masih dalam proses sandar, dan belum memuntahkan penumpang yang berada didalamnya.  Setelah memakan waktu cukup lama, akhirnya tiba giliranku untuk masuk ke dalam kapal. 
            Pelabuhan Merak-Bakauheni, berjarak lebih kurang 22,5 KM. Terhitung sejak berangkat sampai sandar,  membutuhkan waktu 2 sampai 3 jam. Untuk mnghilangkan rasa jenuh, biasanya aku berjalan-jalan keliling kapal atau berdiri di pinggir pagar untuk memandangi laut dan sekelilingnya. Tapi, langit tak mengizinkan kebiasaanku, dengan hujan yang ia tumpahkan pada permukaan laut.
            Di dalam kapal ferry Duta Banten, aku duduk di ruangan kelas 3, kursi plastik di deretan tengah. Meskipun bukan hari libur, penumpang cukup ramai. Dari sekian banyak orang, tak ada satu pun yang aku kenal. Untuk membuang rasa jenuh, kusapa seorang gadis berkerudung merah yang duduk tepat di samping kananku.
            Khoirul Badriyah namanya, seorang mahasiswi di salah satu Universitas di Jakarta. Meski baru pertama kali bertemu, gadis yang berdomisili di Jabung (Lampung Timur), tampak akrab denganku. Bercerita panjang lebar seputar  perjalanan, pendidikan, dunia anak-anak, dan banyak hal yang kami perbincangkan saat itu. Saking asyiknya bercerita, kami lupa jika saat itu gelombang sedang besar dan banyak penumpang yang mabuk perjalanan. Tak terasa, sudah hampir 3,5 jam kami bercengkrama, kapal sudah hampir bersandar  di Pelabuhan Bakauheni.
            Meski sepeda motor sudah keluar dari mulut kapal, hujan masih tak reda. Tentu saja harus ada keputusan yang  aku pilih, meneruskan perjalanan tanpa jas hujan atau berteduh di pinggir jalan. Setelah menentukan, akhirnya aku terus berjalan menembus rinai hujan. Dingin sudah pasti, tapi ada sensasi berbeda ketika mengendarai motor di tengah derasnya air hujan. Harus jeli melihat air yang menggenangi punggung aspal, karena banyak lubang yang seharusnya dihindari.  Berulang kali aku terjebak dan masuk ke dalamnya, tapi cukup seru dan membuatku menertawai diri sendiri.
            Terhitung sejak turun dari kapal, hingga melewati beberapa kecamatan di kabupaten Lampung Selatan. Penengahan, Kalianda, Sidomulyo, Ketibung dan Tarahan. Dengan kondisi jalan yang sedikit rusak, di tambah dengan curah hujan yang begitu lebat, membuatku tak bebas untuk memutar tali gas. Dalam gigil dan wajah yang seperti di tusuk jarum-jarum  air, aku tetap bersemangat untuk meneruskan perjalanan yang sudah berlangsung sekira 1,5 Jam.
            Sesampainya di daerah Panjang, tepatnya di daerah Pulau Pasir dan Pasir Putih, hujan pun berhenti. Motorku terus melaju, zig-zag diantara mobil-mobil besar, fuso, container, dan Truck. Semburan asap hitam yang keluar dari bibir knalpot sedikit mengaburkan pandanganku, sehingga aku harus lebih hati-hati dan berkonsentrasi.
            Banyak jalan untuk menuju Tanggamus, belok kiri di pertigaan Panjang yang nantinya akan melewati pinggiran kota, pelabuhan peti kemas Panjang -Teluk Betung - Kemiling. Jalur ini terdapat banyak persimpangan dan perempatan yang akan membingungkan karena minimnya penunjuk jalan.
            Alternative ke Dua adalah perempatan Panjang belok kiri, jalur menuju pusat Kota Bandar Lampung. Tanjung Karang - Pasar Bambu Kuning – Kemiling. Di jalur ini juga cukup rumit bagi pendatang baru. Untuk tujuan wisata kota, jalur ini yang lebih mudah, dengan catatan harus banyak bertanya dan celingak-celinguk melihat petunujuk arah.
            Aku memilih jalan lurus, selain jalannya lebar dan dua jalur, juga jarang macet. Akhirnya dengan kecepatan penuh, motorku melaju di jalur yang hampir serupa dengan jalan tol ini. Sedang asyik-asyiknya ngebut di jalanan, dengan terpaksa aku menekan handle rem hingga motor berhenti di barisan Pak Polisi. Dengan salam hormat, seorang aparat berkumis tebal memintaku menunjukan surat-surat kendaraan. Semua lengkap, hanya saja lampu utama tidak kunyalakan. Pak Polisi menilangku dengan pasal 258 denda 250.000 rupiah. Setalah terjadi perdamaian dan tawar menawar harga yang jatuh pada angka 70.000 rupiah. Aku putar gas meneruskan perjalanan dengan hati yang sedikit dongkol. Memang ini salahku, tapi segampang itukah mencari uang? buatku uang segitu bisa buat makan Lima hari, dan mendapatkannya pun butuh waktu Dua hari, dengan keringat bercucuran sampai ke ketiak. Tapi ya sudahlah, ikhlas nggak ikhlas sih! Tapi memang aku yang salah.
            Dingin membuatku menggigil, tangan semakin mengeriput dan butuh istirahat sejenak untuk menghangatkan diri. Tak jauh dari perempatan Kali Balok, aku berhenti di sebuah warung dan langsung memesan kopi. Setelah badan terasa sedikit hangat, aku kembali menyusuri jalan. Di perempatan Way Halim yang sudah memiliki play over, aku belokkan motor ke arah kiri. Terus berjalan melewati rel dan mentok dipertigaan yang serupa huruf T. di sini juga ada dua alternative, belok ke kanan untuk melewati Raja Basa-Pramuka, belok kiri- Kemiling, belok kanan. Atau alternative ke Dua, belok kiri sedikit untuk mencari putaran ke arah kanan, setelah berada di jalur kanan, sekitar 300 meter terdapat Plang di sebelah kiri jalan bertuliskan Sentra Keripik. Jalur ini di sebut Gang Bakti atau Gang P.U. jalan terus hingga bertemu dengan pertigaan yang sama dengan huruf T, lalu motor kubelokkan ke arah kanan.
             Kurang lebih Dua jam lagi untuk sampai ke kampungku, Sinar Banten, Kec. Talangpadang. Di karenakan perjalanan masih lumayan jauh, bensinpun sudah menunjuk garis merah. Di SPBU  Kurungan Nyawa yang berada di samping Rumah Sakit Jiwa, Negri Sakti. Aku mengisi bensin hingga tak ada ruang lagi dalam tangki motorku.
Guntur menggelegar,  hujan kembali turun di sekitar Negeri Sakti, Pesawaran. Sebuah kabupaten baru, pemekeran dari Kab. Tanggamus. Dengan pakaian yang memang sudah basah  kuyup sedari tadi, aku tidak menghiraukan hujan yang turun lebih deras itu. Sambil memutar gas dengan tangan kanan, tangan kiripun tak kalah aktif untuk menyeka air hujan yang mengganggu wajahku. Walaupun menggunakan helm, tapi kubiarkan kacanya terbuka.
Di sebuah Tugu bambu yang menjadi perbatasan dan  simbol kabupaten yang di dominasi oleh penduduk berdarah jawa, menyapaku dengan kata sambutan yang ramah “Selamat Datang di Pringsewu”.  Di sini, hamparan sawah yang luas tersaji dan memanjakan  mata. Dengan konsentrasi penuh aku terus melaju dan melupakan keindahan yang seharusnya bisa kunikmati, dengan jajanan serupa Angkringan, hanya saja duduk melingkar di atas kursi plastik.  Perjalanan kurang dari Satu jam lagi, hanya tinggal melewati Kecamatan  Pagelaran dan Pugung, hingga sampai di kecamatan Talang  Padang sekitar pukul 17:00 Wib.
Setibanya dirumah, aku langsung menuju kamar mandi untuk mengguyur badanku. Setelah mandi dan mengganti baju, hangatnya kopi  hitam yang diracik dengan tangan yang selalu menjanjikan surga di telapak kakinya, membuatku melupakan semua gigil, dan lelah yang kurasa terbayar sudah dengan kerinduanku pada orang tua.
Banyak pelajaran yang bisa kupetik dari sebuah perjalanan, di mana banyak keputusan yang harus di pilih, butuh  persiapan yang matang, tak membiarkan kendala sekecil apapun menghambat atau merugikan, dan yang pasti berjalanalah karena hidup itu sebuah perjalanan.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Sekedar informasi tambahan, untuk anda yang berasal dari pulau jawa, atau daerah Bandar Lampung, dan ingin menuju Wono Sobo,Kota Agung, Gisting, Gunung Alip, Gunung Batu, dan Sumberejo. bisa mengikuti rute perjalanan di atas.
Atau bagi anda yang ingin menuju Pulau Panggung, Batu Tegi, Air Naningan, Lebuay, dan Ulu Belu, rute tetap sama. Setelah menemui pasar Talang Padang, belok kanan dan lurus terus hingga menemui persimpangan Tekad. Untuk anda yang ingin ke Ulu Belu lurus terus, sedangkan tujuan lain belok kanan.  

Valentine itu, di pertanyakan?



                Sejak kemarin malam, aku menggapai imajinasi untuk menuliskan tentang hari valentine. Tapi tak kudapati, kubiarkan jemariku berada di atas keyboard tanpa menari, menatap layar biru dan putih Microsoft world. Garis hitam pada layar putih berkedip bagai kunang-kunang yang tak bergeser dari paragraf awal.
                Entah apa yang membuatku tak bisa menuliskan tentang hari kasih sayang yang selalu di warnai dengan warna merah muda, di lambangkan oleh bunga dan coklat, serta  dihiasi aroma keromantisan. Terkadang aku bertanya, apakah kasih sayang itu harus dirayakan pada suatu tanggal atau bulan yang menjelma hari? Atau memang itu hanya pertanyaan sederhana yang tak bisa aku jawab sendiri. Tapi entahlah, aku rasa semua kepala pasti memiliki jawaban masing-masing untuk menyikapi suatu pertanyaan yang memang tak ada kejelasan di dalamnya. Atau sekedar ikut-ikut meramaikan tanpa memikirkan  jawabannya.
                Kasih sayang yang diungkapkan lewat warna merah muda, simbol dari keceriaan.  Dalam dunia yang penuh dengan warna, aku mencari warna arti cintaku yang masih dibaluti dengan segudang pertanyaan yang membuatku terkurung didalamnya. Apakah cinta itu sebuah warna? Atau memang cinta itu harus berwarna? Dalam hitam dan suram pandanganku akan arti cinta dan kasih sayang, aku coba menyusuri jalan panjang yang berliku, terjal, hinggap di rerumputan dan terjerambab dalam jurang kenistaan. Apakah itu warna cinta yang kelam? Ah, entahlah. Aku rasa cinta itu sebuah rasa bukan tentang warna.
                Kasih sayang itu manis seperti coklat. Cinta memang rasa yang dirasakan, bukan dikecap apalagi dikecup. Haruskah Ia selalu manis? Atau memang harus melupakan jika ia berakhir pahit. Bukankah rasa itu

gara-gara Kak Is



Langit masih menangis bersama rintik-rintik hujan yang turun sejak kemarin. Orang-orang yang dulu menertawai, berbalik mengasihani dan bersuka rela mencari keberadaan ibu. Rumahku yang berdinding bilik bambu dan berlantai tanah merah, untuk pertama kalinya di singgahi orang-orang terhormat seperti Pak Camat, pemerintah desa, juga kepolisian.
Sejak selepas Ashar kemarin sampai hari ini, sudah hampir Dua Puluh Empat jam ibu tidak ditemukan, kabar yang tersiar seputar penemuan ibu masih sebatas ‘katanya’ yang tiada kejelasan. Tak ada yang bisa kulakukan selain berdoa pada Tuhan, agar ibu segera diketemukan.
 Di sudut dapur  ayah masih tertunduk lesu, sejak semalam ia tak tidur. Sebagai seorang pemimpin yang selalu tabah menahan semua cobaan, ayah berusaha menahan air mata. Sekuat dan setabah apapun ia menahan, akhirnya benteng pertahanan itu runtuh juga.