“Ya Tuhan,
ampunilah dosaku. Dosa ayah dan ibuku. Dan sayangilah mereka, sebagaimana
mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil.. Amiin.”
Aku tak mampu
menahan laju cairan bening yang sempat terbendung di sudut mata, tatkala sebuah
do’a kupanjatkan kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Setiap waktu, saat
kewajibanku sebagai seorang hamba telah tertunai. Kembali, aku dipertemukan dengan
kata rindu pada pertemuan yang hingga kini belum kutemui.
Sungguh, aku ingin sekali bertemu denganmu, Bu. Merasakan hangatnya
pelukmu, mencium kening dan membelai rambutmu yang mungkin telah berubah warna. Atau, sekedar melihat
wajahmu. Agar kutahu, bahwa engkau masih ada di dunia ini.
Di belahan bumi yang mana aku harus mencarimu? Kepada siapa lagi aku
harus bertanya tentang keberadaanmu. Setiap orang yang kujumpai, semuanya hanya
membisu dan menggoyangkan kepala. Di mana sesunguhnya dirimu, Bu?. Aku yakin
engkau masih berada di muka bumi ini. Aku
juga percaya, engkaupun merindukan aku, sama sepertiku yang merindukanmu.
Semua tentangmu aku tak peduli. Seperti apapun rupa dan kelakuanmu,
engkau tetaplah ibuku. Seorang wanita yang telah bersusah payah mengandung dan
melahirkan aku. Apapun yang telah dan akan terjadi, surgaku tetap berada di bawah telapak
kakimu.
Datanglah ke sini, Bu. Akan kuceritakan kepadamu, ketika
teman-teman sewaktu aku masih kecil, memanggilku dengan julukan
“Anak Sapi”. Tentu saja aku tak terima, meski pada kenyataanya setetes air
susumu pun tak pernah melintas pada tenggorokanku. Pada saat itu, aku marah. Aku
memukul mereka hingga menangis, bahkan ada yang mengucurkan darah. Setelah itu,
ibu mereka menyatroni dan memukulku
dengan kayu. Aku menangis. Tapi, kepada siapa aku mengadu? Di mana dirimu waktu
itu, Bu?
Jika suatu saat nanti aku bertemu denganmu, akan kuceritakan banyak
hal yang menarik untuk dapat kau dengar. Semua tentang nenek. Nenek yang telah
melahirkan ayah. Bekas mertuamu.
Kau tahu, Bu. Nenek yang telah memberikan nama kepadaku, nama itu
diberikan ketika aku masih berwujud bayi merah dan mungil, saat itu aku baru
berumur Tujuh hari. Atau, Tujuh hari setelah engkau tinggalkan aku di rumah seorang
dukun beranak yang berada di samping rel kota ini. Aku juga tak tahu persis,
cerita ini sering kudengar dari nenek setiap malam.
Oh iya! aku lupa
memperkenalkan diri. Namaku Lutfi. Nama yang bagus bukan? Kata nenek, nama
adalah do’a. Dan, nenek berdo’a agar aku senantiasa menjadi anak yang baik dan halus budi
pekertinya. Sebuah nama yang penuh makna. Bagaimana menurutmu, Bu? Engkau tentu
setuju dengan nenek dan juga aku. Tapi, ayah tak begitu. Sejak kecil, dia memanggilku
dengan nama Buang. Entah kenapa, apakah ini do’a ayah padaku?
Aku pernah bertanya kepada nenek tentang dirimu, Bu. Jawabannya selalu
saja sama, “Nenek juga belum pernah
ketemu ibumu” begitulah, setiap kali aku menanyakannya. Apakah benar, ibu belum
pernah bertemu dengan nenek? Lalu, bagaimana ketika ayah dan ibu menikah, apakah
nenek tidak ada disamping kalian? Harusnya semua ini aku tanyakan langsung
kepada nenek. Tapi sayang, sebelum semua pertanyaan ini terjawab, beliau telah
menutup mulut untuk selamanya. Dan kau tahu, Bu. Saat itu, aku baru saja menerima
ijazah SMP dengan nilai terbaik di sekolahku.
Sejak kepergian nenek, aku seperti tinggal di sebuah pulau tak
berpenghuni. Sepi, hening, sunyi dan tak
ada tempat untuk berbagi. Kecuali pada Tuhan. Yah!! hanya do’a yang membuatku
selalu berusaha tabah dan sabar menjalani hidup. Sebisa mungkin aku melawan segala
ketiadaan, berjuang untuk tetap bertahan hidup dan menyambung nyawa. Terkadang,
aku bekerja sebagai kuli bangunan, pemulung barang-barang bekas dan kuli pasar.
Apapun akan kulakukan, untuk mencukupi semua kebutuhanku. Walaupun ayah telah
menjadi orang terkaya di kampung ini.
Ayah telah menjual semua tanah warisan dari
nenek. Empang, sawah dan kebun. Dengan uang yang berlimpah, ayah semakin
sombong dan angkuh. Setiap hari, ayah selalu pulang larut malam. Jalannya
sempoyongan dan bau mulutnya begitu menyengat hidung. Dia tak mampu berjalan
sendiri, selalu saja ada seorang wanita yang menemaninya, bahkan sampai
ketempat tidur.
Aku pernah menegurnya, Bu. Memang aku telah bersikap lancang,
berani mencampuri urusan orang tua. Tapi, apakah aku salah jika ini demi
kebaikan ayah? Karena ulahku yang seakan
menggurui, aku sempat dihadiahi tinju oleh ayah. Hingga aku tersungkur ke
lantai.
“Sampai kapan ayah akan
terus begini” aku berusaha bangkit, sambari mengusap darah segar yang mengalir disudut
bibirku dengan pangkal ibu jari.
“Ini bukan urusanmu” Jawabnya setengah menghina.
“Apakah ayah sudah tak punya rasa malu?”
“Jaga mulutmu.”
“Ayah yang seharusnya menjaga tingkah laku.”
“Mulai sekarang, jangan lagi memanggilku, Ayah!”
“Kenapa, bukankah engkau adalah ayahku?”
“Tanyakan saja pada ibumu?
“Di mana ibu sekarang, Yah?”
“Neraka.”
Kata ‘neraka’ yang keluar dari mulut ayah. Seolah menjelma semburan api besar yang
membakar hutan yang kering di musim kemarau. Seluruh tubuhku sepert di jalari
entah oleh apa, Panas, semua terasa gelap, hingga menghanguskan pohon kesabaranku.