Jumat, 09 Mei 2014

Buang yang dibuang.


            “Ya Tuhan, ampunilah dosaku. Dosa ayah dan ibuku. Dan sayangilah mereka, sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil.. Amiin.”
            Aku tak mampu menahan laju cairan bening yang sempat terbendung di sudut mata, tatkala sebuah do’a kupanjatkan kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Setiap waktu, saat kewajibanku sebagai seorang hamba telah tertunai. Kembali, aku dipertemukan dengan kata rindu pada pertemuan yang hingga kini belum kutemui.
Sungguh, aku ingin sekali bertemu denganmu, Bu. Merasakan hangatnya pelukmu, mencium kening dan membelai rambutmu yang mungkin  telah berubah warna. Atau, sekedar melihat wajahmu. Agar kutahu, bahwa engkau masih ada di dunia ini.
Di belahan bumi yang mana aku harus mencarimu? Kepada siapa lagi aku harus bertanya tentang keberadaanmu. Setiap orang yang kujumpai, semuanya hanya membisu dan menggoyangkan kepala. Di mana sesunguhnya dirimu, Bu?. Aku yakin engkau masih berada di muka bumi ini.  Aku juga percaya, engkaupun merindukan aku, sama sepertiku yang merindukanmu.
Semua tentangmu aku tak peduli. Seperti apapun rupa dan kelakuanmu, engkau tetaplah ibuku. Seorang wanita yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkan aku. Apapun yang telah dan akan  terjadi, surgaku tetap berada di bawah telapak kakimu.
Datanglah ke sini, Bu. Akan kuceritakan kepadamu, ketika teman-teman sewaktu aku masih kecil, memanggilku  dengan  julukan “Anak Sapi”. Tentu saja aku tak terima, meski pada kenyataanya setetes air susumu pun tak pernah melintas pada tenggorokanku. Pada saat itu, aku marah. Aku memukul mereka hingga menangis, bahkan ada yang mengucurkan darah. Setelah itu, ibu mereka  menyatroni dan memukulku dengan kayu. Aku menangis. Tapi, kepada siapa aku mengadu? Di mana dirimu waktu itu, Bu?
Jika suatu saat nanti aku bertemu denganmu, akan kuceritakan banyak hal yang menarik untuk dapat kau dengar. Semua tentang nenek. Nenek yang telah melahirkan ayah. Bekas mertuamu.
Kau tahu, Bu. Nenek yang telah memberikan nama kepadaku, nama itu diberikan ketika aku masih berwujud bayi merah dan mungil, saat itu aku baru berumur Tujuh hari. Atau, Tujuh hari setelah engkau tinggalkan aku di rumah seorang dukun beranak yang berada di samping rel kota ini. Aku juga tak tahu persis, cerita ini sering kudengar dari nenek setiap malam.
 Oh iya! aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Lutfi. Nama yang bagus bukan? Kata nenek, nama adalah do’a. Dan, nenek berdo’a agar aku senantiasa  menjadi anak yang baik dan halus budi pekertinya. Sebuah nama yang penuh makna. Bagaimana menurutmu, Bu? Engkau tentu setuju dengan nenek dan juga aku. Tapi, ayah tak begitu. Sejak kecil, dia memanggilku dengan nama Buang. Entah kenapa, apakah ini do’a ayah padaku?
Aku pernah bertanya kepada nenek tentang dirimu, Bu. Jawabannya selalu saja  sama, “Nenek juga belum pernah ketemu ibumu” begitulah, setiap kali aku menanyakannya. Apakah benar, ibu belum pernah bertemu dengan nenek? Lalu, bagaimana ketika ayah dan ibu menikah, apakah nenek tidak ada disamping kalian? Harusnya semua ini aku tanyakan langsung kepada nenek. Tapi sayang, sebelum semua pertanyaan ini terjawab, beliau telah menutup mulut untuk selamanya. Dan kau tahu, Bu. Saat itu, aku baru saja menerima ijazah  SMP dengan nilai terbaik  di sekolahku.
Sejak kepergian nenek, aku seperti tinggal di sebuah pulau tak berpenghuni. Sepi, hening,  sunyi dan tak ada tempat untuk berbagi. Kecuali pada Tuhan. Yah!! hanya do’a yang membuatku selalu berusaha tabah dan sabar menjalani hidup. Sebisa mungkin aku melawan segala ketiadaan, berjuang untuk tetap bertahan hidup dan menyambung nyawa. Terkadang, aku bekerja sebagai kuli bangunan, pemulung barang-barang bekas dan kuli pasar. Apapun akan kulakukan, untuk mencukupi semua kebutuhanku. Walaupun ayah telah menjadi orang terkaya di kampung ini.
  Ayah telah menjual semua tanah warisan dari nenek. Empang, sawah dan kebun. Dengan uang yang berlimpah, ayah semakin sombong dan angkuh. Setiap hari, ayah selalu pulang larut malam. Jalannya sempoyongan dan bau mulutnya begitu menyengat hidung. Dia tak mampu berjalan sendiri, selalu saja ada seorang wanita yang menemaninya, bahkan sampai ketempat tidur.  

Aku pernah menegurnya, Bu. Memang aku telah bersikap lancang, berani mencampuri urusan orang tua. Tapi, apakah aku salah jika ini demi kebaikan ayah?  Karena ulahku yang seakan menggurui, aku sempat dihadiahi tinju oleh ayah. Hingga aku tersungkur ke lantai.
 “Sampai kapan ayah akan terus begini” aku berusaha bangkit,  sambari mengusap darah segar yang mengalir disudut bibirku dengan pangkal ibu jari.
“Ini bukan urusanmu” Jawabnya setengah menghina.
“Apakah ayah sudah tak punya rasa malu?”
“Jaga mulutmu.”
“Ayah yang seharusnya menjaga tingkah laku.”
“Mulai sekarang, jangan lagi memanggilku, Ayah!”
“Kenapa, bukankah engkau adalah ayahku?”
“Tanyakan saja pada ibumu?
“Di mana ibu sekarang, Yah?”
“Neraka.”
             Kata ‘neraka’ yang keluar dari mulut  ayah. Seolah menjelma semburan api besar yang membakar hutan yang kering di musim kemarau. Seluruh tubuhku sepert di jalari entah oleh apa, Panas, semua terasa  gelap, hingga menghanguskan pohon kesabaranku.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar