Pantai
Terbaya yang eksotis. Suasana lebaran masih terasa kental. Banyak dari penduduk
Tanggamus, menjadikan pantai sebagai tujuan wisata. Untuk sekedar berlibur
bersama keluarga, bahkan ada yang menjadikannya sebagai tempat pacaran yang
murah meriah.
Deburan ombak dengan hamparan pasir
yang luas. Nyiur melambai. Membuat wajah-wajah pribumi yang mengadu nasib di
pulau sebrang, hingga ke luar negri. Selalu merindukan hijau Tanggamus dan biru
pantainya.
Pau menenggelamkan kaki di pasir
yang putih. Matanya berputar-putar mengamati sekeliling. Di bawah pohon kelapa,
pandangannya terhenti. Tepat di sebuah bangku kayu. Fikirannya melayang jauh,
seakan kembali pada masa putih abu-abu. Dimana hanya ada dirinya, dan Warsih.
Angin membelai paksa tubuh Pau.
Rambutnya yang mirip ayam jago di biarkan menari liar. Slayer yang melingkar di
lehernya, berkibar bagai umbul-umbul. Hingga akhirnya terlepas dan terbang
bebas. Lamunan Pau, terhenti. Dikejarnya Slayer berwarna biru itu.
“Ini milikmu?”
“Ya,!Terima Kasih” Ucap Pau pada
seorang gadis berambut pirang.
“Anu..,
anu.., Namaku, Pau. Kamu?” Lanjutnya sambil menyodorkan tangan kanan.
“Piska”
Gayung
pun bersambut. Perkenalan pertama yang membuat hati Pau langsung berdetak
kencang. Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala, walau tak gatal. Gadis yang ada
di hadapannya tersenyum geli, melihat tingkah lelaki yang terkesan kaku itu.
“Kamu
sendirian?”
“Berdua!”
jawab Piska, datar.
“Satu
lagi, mana?”
“Kamu!”
haha.. larut dalam tawa.
Pau
nyengir kuda. Tanpa disadari, tangan mereka masih berjabatan. Pau pura-pura
lupa saja, padahal sedang menikmati lembutnya tangan gadis yang asli berdarah
Lampung. Kulitnya putih, mata sipit, mirip orang china.
“Lepasin,
weh.” Piska menarik tangannya cepat.
Matahari,
tepat berada di atas ubun-ubun. Kini, mereka sudah berada di bawah pohon nyiur,
di atas bangku kayu. Pandangannya lurus ke arah laut. Terkadang, terhalang lalu
lalang pengunjung yang ramai padat. Ombak terus bekejaran. Pau berfikir untuk
menyusun strategi, pertanyaan apalagi yang harus di ajukan.
“Boleh
minta nomor HP?” Pau menyodorkan pena dan buku agenda berwarna hitam.
“Boleh,
tapi jangan iseng ya!”
Piska
membuka lembar demi lembar buku agenda yang hampir dipenuhi dengan
tulisan-tulisan. Pada bagian terakhir, didapatinya
poto seorang gadis dengan lesung pipi di sebelah kiri.
“Ini
poto pacarmu?”
Pau
hanya menggeleng pelan. Senyum yang sejak tadi mengembang, mulai mengatup.
Dirogohnya bungkus rokok surya yang berada di saku kanan celana cargo miliknya.
Di sulut dengan korek api kayu. Nikmat sekali nampaknya.
“Lelaki,
selalu saja begitu” Piska menutup hidungnya dengan jari.
“Aku
tak mau berdebat tentang ini!”
Pau
mengangkat kaki kanannya ke atas bangku. Tubuhnya yang tegap bersandar pada
pohon. Kepalanya mendongah menatap langit. Rokok yang terselip di antara
jemari, di putar-putar.
“Sial..”
Pau menjerit dan mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Panas. Terang saja,
karena, api yang singgah di bibir.
Seorang perokok memang
tempramental, jika disinggung kebiasaanya yang dianggap buruk oleh sebagian
orang. Begitupun lelaki yang sejak SMP,
sudah bersahabat dengan batangan penghangus paru-paru.
“Aku tak bisa berhenti.”
“Tak
mau!”
“Tak
bisa berhenti.” Pau mengulang ucapanya lebih keras.
“Tak
mau mengehentikannya!”
Hening
sejenak.
“Kau seperti ayahku!” Piska menunduk.
Pau menatapnya tajam. Ada sesuatu yang berbeda ketika
bibir yang merah merekah menyamakan dirinya dengan sosok ayahnya?. Rasa ingin
tahu yang besar menendang dalam dada. Sebenarnya
apa yang membuat gadis beralis tebal dan berbulu mata lentik itu harus
tertunduk lesu. seakan ada sesuatu kenangan yang keluar dari rahim ingatannya,
tapi apa?
Anak-anak telanjang kaki, telanjang dada. Bermain
bola. Mengeruk pasir dan membuatnya menjadi sesuatu. Ada yang membuat ular,
membangun istana, adapula yang tertidur dan mengubur dirinya sebatas leher.
Riang teriring tawa. Jemari Pau, mampir ke pangkal ibu jari Piska. Dielusnya
berulang kali.
“Kau tahu, kenapa aku memilih menjadi TKW?” suaranya
lirih.
“Belum tahu.” Pau mengangkat dagu piska.
Saling bertatap mata. Pau berbalik tertunduk. Dia tak
kuasa melihat mata yang berkaca-kaca, apalagi seorang wanita. Baginya, airmata
adalah penderitaan. Seperti hidupnya dulu,
selalu dihujani dengan segala macam kesedihan.
“Ayah tak pernah menginginkan hadirku.”
“Kenapa?”
“Ayah ingin anak laki-laki.”
“Bukankah seorang anak, titipan dari Allah!”
“Tapi, ayah tak begitu”
Piska menggulung kaos lengan panjangnya hingga
pangkal. Lengannya yang putih dan berbulu halus, bagai semut dilayar televisi
yang menyala. Ada yang berbeda ketika lengan itu di sejajarkan.
“Aku dilempar dari rumah, ketika aku baru mulai
belajar merangkak.”
Kejam sekali, Pau hanya bergumam. Dia tak berani
berkomentar banyak. Hanya membayangkan saja, bagaimana ketika seorang anak di
lempar dari atas rumah adat, Nuwo Sessat. Masyarakat asli Lampung, masih
banyak yang mempertahankan rumah adat mereka. Bertiang dan berbahan kayu,
menyerupai panggung. Ukiran yang khas, mengelilingi di bagian depan, menyatu
dengan anak tangga. Meskipun kini, sudah bercampur dengan bangunan yang lebih
modern. Tapi, tak meninggalkan ornament khas di setiap sudutnya.
“Lalu?”
“Ayah.., ayah.., ayah” Piska menggelengkan kepalanya
dengan cepat. Wajahnya semakin menjorok kedepan, hingga berlabuh ke dada
Pau.
Suara ombak yang menampar-nampar bibir pantai, riang
anak- anak yang bermain pasir, tenggelam bersama kesunyian. Tak ada suara. Belaian tangan Pau, naik-turun
membelai rambut si pirang yang panjang dan halus.
“Ayah, menceraikan ibu” lanjutnya.