Minggu, 11 Mei 2014

Siapa aku?



           
            Aku tak tahu harus bagaimana lagi melepas semua  belenggu bathin  ini, Aku  semakin terpenjara dalam keterasingan sepi. Yang ada hanyalah kesunyian panjang yang membuatku semakin tersedot ke dalam lumpur hidup. Tenggelam, aku mulai kehilangan kepercayaan diri yang susah payah kubangun. Bangunan yang tak lebih dari sebentuk istana pasir, atau sulaman  jaring laba-laba.
 Apakah ini semua awal dari sebuah akhir? Atau, akhir dari sebuah proses yang  akhirnya akan benar-benar berakhir.  Entahlah.  Yang aku tahu, hati memang  selalu berubah-ubah sebelum berbuah, mungkin juga sesudahnya. Terkadang ia menjelma hakim yang bijak, terkadang serupa pengacara dan jaksa yang selalu menuntut. Atau, hanya menjadi hati itu sendiri.
Hati dan pikiranku masih terus berdiskusi. Saling mengkritik, membangun dan menjatuhkan. Pertikaian  akan terus terjadi, sebelum ada kata sepakat yang menghasilkan keputusan.  Yah! sebuah keputusan yang nantinya akan menentukan. Pada semuanya, biarlah waktu yang berbicara dengan caranya sendiri.
Karena tak semua orang  ingin tahu, kupersilahkan sadarku menjilati ke galauan ini. Karena tak semua orang mau tahu, kuizinkan kerapuhan menelanjangi rasaku.  Karena sebagian  orang hanya ingin tahu, biarkan saja  aku tenggelam dalam kepedulianku.  
Apa yang kalian tahu tentangku?  Nyatakan saja padaku.  Apa yang kalian ingin tahu dariku? Tanyakan padaku saja,  jangan tanyakan pada mereka.  Apa yang mereka nyatakan  mungkin hanya mereka-reka.
 Sesungguhnya, akupun tak tahu siapa diriku. Lalu, pada siapa aku akan bertanya tentang diriku?  Kalian? atau, mereka?  Bukankah kalian dan aku adalah mereka? Entahlah,  aku bingung untuk menjawabnya. Apakah ini sebuah pernyataan ataukah  pertanyaan?

Jumat, 09 Mei 2014

Buang yang dibuang.


            “Ya Tuhan, ampunilah dosaku. Dosa ayah dan ibuku. Dan sayangilah mereka, sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil.. Amiin.”
            Aku tak mampu menahan laju cairan bening yang sempat terbendung di sudut mata, tatkala sebuah do’a kupanjatkan kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Setiap waktu, saat kewajibanku sebagai seorang hamba telah tertunai. Kembali, aku dipertemukan dengan kata rindu pada pertemuan yang hingga kini belum kutemui.
Sungguh, aku ingin sekali bertemu denganmu, Bu. Merasakan hangatnya pelukmu, mencium kening dan membelai rambutmu yang mungkin  telah berubah warna. Atau, sekedar melihat wajahmu. Agar kutahu, bahwa engkau masih ada di dunia ini.
Di belahan bumi yang mana aku harus mencarimu? Kepada siapa lagi aku harus bertanya tentang keberadaanmu. Setiap orang yang kujumpai, semuanya hanya membisu dan menggoyangkan kepala. Di mana sesunguhnya dirimu, Bu?. Aku yakin engkau masih berada di muka bumi ini.  Aku juga percaya, engkaupun merindukan aku, sama sepertiku yang merindukanmu.
Semua tentangmu aku tak peduli. Seperti apapun rupa dan kelakuanmu, engkau tetaplah ibuku. Seorang wanita yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkan aku. Apapun yang telah dan akan  terjadi, surgaku tetap berada di bawah telapak kakimu.
Datanglah ke sini, Bu. Akan kuceritakan kepadamu, ketika teman-teman sewaktu aku masih kecil, memanggilku  dengan  julukan “Anak Sapi”. Tentu saja aku tak terima, meski pada kenyataanya setetes air susumu pun tak pernah melintas pada tenggorokanku. Pada saat itu, aku marah. Aku memukul mereka hingga menangis, bahkan ada yang mengucurkan darah. Setelah itu, ibu mereka  menyatroni dan memukulku dengan kayu. Aku menangis. Tapi, kepada siapa aku mengadu? Di mana dirimu waktu itu, Bu?
Jika suatu saat nanti aku bertemu denganmu, akan kuceritakan banyak hal yang menarik untuk dapat kau dengar. Semua tentang nenek. Nenek yang telah melahirkan ayah. Bekas mertuamu.
Kau tahu, Bu. Nenek yang telah memberikan nama kepadaku, nama itu diberikan ketika aku masih berwujud bayi merah dan mungil, saat itu aku baru berumur Tujuh hari. Atau, Tujuh hari setelah engkau tinggalkan aku di rumah seorang dukun beranak yang berada di samping rel kota ini. Aku juga tak tahu persis, cerita ini sering kudengar dari nenek setiap malam.
 Oh iya! aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Lutfi. Nama yang bagus bukan? Kata nenek, nama adalah do’a. Dan, nenek berdo’a agar aku senantiasa  menjadi anak yang baik dan halus budi pekertinya. Sebuah nama yang penuh makna. Bagaimana menurutmu, Bu? Engkau tentu setuju dengan nenek dan juga aku. Tapi, ayah tak begitu. Sejak kecil, dia memanggilku dengan nama Buang. Entah kenapa, apakah ini do’a ayah padaku?
Aku pernah bertanya kepada nenek tentang dirimu, Bu. Jawabannya selalu saja  sama, “Nenek juga belum pernah ketemu ibumu” begitulah, setiap kali aku menanyakannya. Apakah benar, ibu belum pernah bertemu dengan nenek? Lalu, bagaimana ketika ayah dan ibu menikah, apakah nenek tidak ada disamping kalian? Harusnya semua ini aku tanyakan langsung kepada nenek. Tapi sayang, sebelum semua pertanyaan ini terjawab, beliau telah menutup mulut untuk selamanya. Dan kau tahu, Bu. Saat itu, aku baru saja menerima ijazah  SMP dengan nilai terbaik  di sekolahku.
Sejak kepergian nenek, aku seperti tinggal di sebuah pulau tak berpenghuni. Sepi, hening,  sunyi dan tak ada tempat untuk berbagi. Kecuali pada Tuhan. Yah!! hanya do’a yang membuatku selalu berusaha tabah dan sabar menjalani hidup. Sebisa mungkin aku melawan segala ketiadaan, berjuang untuk tetap bertahan hidup dan menyambung nyawa. Terkadang, aku bekerja sebagai kuli bangunan, pemulung barang-barang bekas dan kuli pasar. Apapun akan kulakukan, untuk mencukupi semua kebutuhanku. Walaupun ayah telah menjadi orang terkaya di kampung ini.
  Ayah telah menjual semua tanah warisan dari nenek. Empang, sawah dan kebun. Dengan uang yang berlimpah, ayah semakin sombong dan angkuh. Setiap hari, ayah selalu pulang larut malam. Jalannya sempoyongan dan bau mulutnya begitu menyengat hidung. Dia tak mampu berjalan sendiri, selalu saja ada seorang wanita yang menemaninya, bahkan sampai ketempat tidur.  

Aku pernah menegurnya, Bu. Memang aku telah bersikap lancang, berani mencampuri urusan orang tua. Tapi, apakah aku salah jika ini demi kebaikan ayah?  Karena ulahku yang seakan menggurui, aku sempat dihadiahi tinju oleh ayah. Hingga aku tersungkur ke lantai.
 “Sampai kapan ayah akan terus begini” aku berusaha bangkit,  sambari mengusap darah segar yang mengalir disudut bibirku dengan pangkal ibu jari.
“Ini bukan urusanmu” Jawabnya setengah menghina.
“Apakah ayah sudah tak punya rasa malu?”
“Jaga mulutmu.”
“Ayah yang seharusnya menjaga tingkah laku.”
“Mulai sekarang, jangan lagi memanggilku, Ayah!”
“Kenapa, bukankah engkau adalah ayahku?”
“Tanyakan saja pada ibumu?
“Di mana ibu sekarang, Yah?”
“Neraka.”
             Kata ‘neraka’ yang keluar dari mulut  ayah. Seolah menjelma semburan api besar yang membakar hutan yang kering di musim kemarau. Seluruh tubuhku sepert di jalari entah oleh apa, Panas, semua terasa  gelap, hingga menghanguskan pohon kesabaranku.
           

Kehilangan




            Selepas aku bergabung dengan Group Cerpenmu-Cerpenku di akun Facebook beberapa bulan yang lalu. Di sana aku mengenal seorang admin yang bernama Fanny J Poyk. Kemudian aku memanggilnya dengan sebutan Bunda Fany. Bunda adalah seorang penulis ternama dan juga seorang editor. Begitulah, informasi yang kubaca dari profil facebook miliknya.

Jumat, 25 April 2014

Surat Untuk Somad

               Apa kabar, Mad? Semoga dirimu selalu dalam lindungan Tuhan. Maaf jika selama ini aku tidak berkabar.  Sudah lama kita tidak berbincang-bincang sambil membaca buku, Membahas rumus-rumus, dan menyelesaikan tugas dari sekolah. Tentu kamu masih ingat, setiap malam selepas mengaji, kita selalu belajar bersama. Dengan penerangan seadanya, lampu minyak. Haha.. aku selalu ingat itu Mad, ketika hidungmu menjadi hitam karena jelaga. Atau, ketika ujung rambutmu sedikit terbakar.
                Datanglah kesini, Mad. Kita lanjutkan lagi perbincangan dahulu, yang hingga kini belum terwujud. Mimpi kita untuk kuliyah bersama, di kampus yang sama, dengan jurusan yang sama pula. Kita adalah sahabat yang takkan terpisahkan, sampai kapanpun. Dan, apapun yang terjadi kita adalah sahabat, itu katamu.
                Bila kau datang, melihat segala perubahan yang terjadi pada diriku. Kuharap kamu tidak menertawaiku.  Kamu harus janji ya! Jangan mengejek warna kulitku, yah,, kulitku.  Kamu tidak bisa lagi mengatai aku anak china. Karena sekarang, aku hitam legam.  Sehitam dan sekelam Nasibku.
                Sekarang, aku bukan lagi orang yang bisa dibanggakan, Mad. Tidak ada prestasi, bahkan orang-orang di sini hanya memandangku dengan memicingkan sebelah matanya. Aku hanya menjadi kuli pasar, dengan upah yang di ukur dengan lelah pundak. Kamu bisa bayangkan sendiri berapa penghasilanku. Tapi, ini sebuah pilihan, Mad. Caraku untuk terus bisa bertahan hidup.
                Nanti, jika kamu sudah lihat sendiri keadaanku. Tentu kamu tidak akan bertanya lagi, kenapa aku tidak bisa menjadi mahasisiwa sampai sekarang. Dan kamu benar, Mad. Ambisiku Belasan tahun lalu, terlalu besar. Ketika aku memutuskan untuk berhenti sekolah, dan bermimpi menjadi pahlawan untuk keluargaku yang serba keterbatasan.  Aku gagal, Mad.
                Cepat datang kesini, Mad. Banyak sekali kegagalan yang akan aku ceritakan nantinya. Dan semuanya itu, membuatku tak lagi berani bermimpi untuk menjadi apa dan siapa! bagaimana dengan dirimu di sana? Apakah orang hebat seperti kamu, yang selalu menjadi juara kelas, bahkan juara umum di setiap pembagian raport, dan menjadi kebanggaa sekolah. Saat itu, tak ada yang berani berkomentar, ketika dirimu mendapat gelar anak jenius.
                  Kuharap, apa yang pernah kudengar tentangmu, adalah sebuah kesalahan. Apakah benar, sekarang kamu menjadi tukang ojek? Aku tak percaya, Mad. Paling tidak, kamu harusnya menjadi guru fisika, atau matematika yang sudah menyandang gelar sarjana.
                Demi persahabatan kita, datanglah kemari, Mad. Mengulas kembali mimpi-mimpi yang dulu pernah kita sepakati. Atau, kita kubur bersama, mimpi-mimpi yang pernah ada. Dan akhirnya kita berdua mengaku kalah pada keadaan. 

Minggu, 09 Maret 2014

Penggalan cerita. (masih bahan)



                Pantai Terbaya yang eksotis. Suasana lebaran masih terasa kental. Banyak dari penduduk Tanggamus, menjadikan pantai sebagai tujuan wisata. Untuk sekedar berlibur bersama keluarga, bahkan ada yang menjadikannya sebagai tempat pacaran yang murah meriah.
Deburan ombak dengan hamparan pasir yang luas. Nyiur melambai. Membuat wajah-wajah pribumi yang mengadu nasib di pulau sebrang, hingga ke luar negri. Selalu merindukan hijau Tanggamus dan biru pantainya.
Pau menenggelamkan kaki di pasir yang putih. Matanya berputar-putar mengamati sekeliling. Di bawah pohon kelapa, pandangannya terhenti. Tepat di sebuah bangku kayu. Fikirannya melayang jauh, seakan kembali pada masa putih abu-abu. Dimana hanya ada dirinya, dan  Warsih.
Angin membelai paksa tubuh Pau. Rambutnya yang mirip ayam jago di biarkan menari liar. Slayer yang melingkar di lehernya, berkibar bagai umbul-umbul. Hingga akhirnya terlepas dan terbang bebas. Lamunan Pau, terhenti. Dikejarnya Slayer berwarna biru itu. 
                “Ini milikmu?”
“Ya,!Terima Kasih” Ucap Pau pada seorang gadis berambut pirang.
                “Anu.., anu.., Namaku, Pau. Kamu?” Lanjutnya sambil menyodorkan tangan kanan.
                “Piska”
                Gayung pun bersambut. Perkenalan pertama yang membuat hati Pau langsung berdetak kencang. Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala, walau tak gatal. Gadis yang ada di hadapannya tersenyum geli, melihat tingkah lelaki yang terkesan kaku itu.
                “Kamu sendirian?”
                “Berdua!” jawab Piska, datar.
                “Satu lagi, mana?”
                “Kamu!” haha.. larut dalam tawa.
                Pau nyengir kuda. Tanpa disadari, tangan mereka masih berjabatan. Pau pura-pura lupa saja, padahal sedang menikmati lembutnya tangan gadis yang asli berdarah Lampung. Kulitnya putih, mata sipit, mirip orang china.
                “Lepasin, weh.” Piska menarik tangannya cepat.
                Matahari, tepat berada di atas ubun-ubun. Kini, mereka sudah berada di bawah pohon nyiur, di atas bangku kayu. Pandangannya lurus ke arah laut. Terkadang, terhalang lalu lalang pengunjung yang ramai padat. Ombak terus bekejaran. Pau berfikir untuk menyusun strategi, pertanyaan apalagi yang harus di ajukan.
                “Boleh minta nomor HP?” Pau menyodorkan pena dan buku agenda berwarna hitam.
                “Boleh, tapi jangan iseng ya!” 
                Piska membuka lembar demi lembar buku agenda yang hampir dipenuhi dengan tulisan-tulisan. Pada bagian terakhir,  didapatinya poto seorang gadis dengan lesung pipi di sebelah kiri.
                “Ini poto pacarmu?”
                Pau hanya menggeleng pelan. Senyum yang sejak tadi mengembang, mulai mengatup. Dirogohnya bungkus rokok surya yang berada di saku kanan celana cargo miliknya. Di sulut dengan korek api kayu. Nikmat sekali nampaknya.
                “Lelaki, selalu saja begitu” Piska menutup hidungnya dengan jari.
                “Aku tak mau berdebat tentang ini!”
                Pau mengangkat kaki kanannya ke atas bangku. Tubuhnya yang tegap bersandar pada pohon. Kepalanya mendongah menatap langit. Rokok yang terselip di antara jemari, di putar-putar.
                “Sial..” Pau menjerit dan mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Panas. Terang saja, karena, api yang singgah di bibir.
Seorang perokok memang tempramental, jika disinggung kebiasaanya yang dianggap buruk oleh sebagian orang.  Begitupun lelaki yang sejak SMP, sudah bersahabat dengan batangan penghangus paru-paru.
“Aku tak bisa berhenti.”
                “Tak mau!”
                “Tak bisa berhenti.” Pau mengulang ucapanya lebih keras.
                “Tak mau mengehentikannya!”
                Hening sejenak.
                “Kau seperti ayahku!” Piska menunduk.
                Pau menatapnya tajam. Ada sesuatu yang berbeda ketika bibir yang merah merekah menyamakan dirinya dengan sosok ayahnya?. Rasa ingin tahu yang besar menendang dalam dada.  Sebenarnya apa yang membuat gadis beralis tebal dan berbulu mata lentik itu harus tertunduk lesu. seakan ada sesuatu kenangan yang keluar dari rahim ingatannya, tapi apa?
                Anak-anak telanjang kaki, telanjang dada. Bermain bola. Mengeruk pasir dan membuatnya menjadi sesuatu. Ada yang membuat ular, membangun istana, adapula yang tertidur dan mengubur dirinya sebatas leher. Riang teriring tawa. Jemari Pau, mampir ke pangkal ibu jari Piska. Dielusnya berulang kali.
                “Kau tahu, kenapa aku memilih menjadi TKW?” suaranya lirih.
                “Belum tahu.” Pau mengangkat dagu piska.
                Saling bertatap mata. Pau berbalik tertunduk. Dia tak kuasa melihat mata yang berkaca-kaca, apalagi seorang wanita. Baginya, airmata adalah penderitaan. Seperti hidupnya dulu,  selalu dihujani dengan segala macam kesedihan.
                “Ayah tak pernah menginginkan hadirku.”
                “Kenapa?”
                “Ayah ingin anak laki-laki.”
                “Bukankah seorang anak, titipan dari Allah!”
                “Tapi, ayah tak begitu”
                Piska menggulung kaos lengan panjangnya hingga pangkal. Lengannya yang putih dan berbulu halus, bagai semut dilayar televisi yang menyala. Ada yang berbeda ketika lengan itu di sejajarkan.
                “Aku dilempar dari rumah, ketika aku baru mulai belajar merangkak.”
                Kejam sekali, Pau hanya bergumam. Dia tak berani berkomentar banyak. Hanya membayangkan saja, bagaimana ketika seorang anak di lempar dari atas rumah adat, Nuwo Sessat. Masyarakat asli Lampung, masih banyak yang mempertahankan rumah adat mereka. Bertiang dan berbahan kayu, menyerupai panggung. Ukiran yang khas, mengelilingi di bagian depan, menyatu dengan anak tangga. Meskipun kini, sudah bercampur dengan bangunan yang lebih modern. Tapi, tak meninggalkan ornament khas di setiap sudutnya.
                “Lalu?”
                “Ayah.., ayah.., ayah” Piska menggelengkan kepalanya dengan cepat. Wajahnya semakin menjorok kedepan, hingga berlabuh ke dada Pau. 
                Suara ombak yang menampar-nampar bibir pantai, riang anak- anak yang bermain pasir, tenggelam bersama kesunyian.  Tak ada suara. Belaian tangan Pau, naik-turun membelai rambut si pirang yang panjang dan halus.
                “Ayah, menceraikan ibu” lanjutnya.

Jumat, 14 Februari 2014

EMAIL UNTUK MULI CEKHIWIIT



            Selama ini kau hanya melihatku dari kacamata yang kau sebut kebaikan. Selama kau  mengannggapku orang baik, selama itu pula kau tak pernah tahu keburukan yang telah terjadi. Terlebih ketika aku megalami masa-masa kelam tentang perjalanan hidupku yang suram. Tentu kau masih ingat ketika aku berkata “Lebih baik bekas orang jahat, ketimbang bekas orang baik” pada kalimat itu sesungguhnya aku sedang menghakimi diriku sendiri, aku ingin mengatakan, aku hanya orang yang pernah melakukan kebaikan, setelah itu berfikirlah, sesungguhnya aku telah berubah menjadi sosok yang menyeramkan.
            Terhitung sejak cita-citaku menjadi seorang guru, harus terampas dengan keadaan sulit dalam ekonomi keluarga yang berpayung keterbatasan. Saat itu pula, ambisiku berkecamuk dengan emosi remaja yang tak pernah memikirkan akhirnya. Dalam keputusan yang tak seharusnya, tanpa restu dan tanpa persetujuan orang tua, aku telah mengedapankan ambisiku untuk berhenti menikmati pendidikan pada kelas 2 SMA. Memang hidup itu sebuah keputusan. Gagal memutuskan suatu masalah, sudah pasti suatu masalah lain akan gagal diputuskan.
            Dengan kondisi yang masih labil, aku beranjak dari ketiak orang tua, menantang hidup dengan tangan mungil yang tak senada dengan ambisi yang besar. Sebuah ambisi untuk membuktikan aku mampu dan aku bisa mengubah keadaan dengan tangan mungilku. Tanpa aku sadari saat itu aku hanya mimpi, mimpi yang tak sebanding dengan kemampuan. 
Belasan tahun aku menjalani hidup di tanah rantau, bergumul dengan waktu, mengais-ngais rejeki dengan perasan keringat. Terpanggang matahari, tersiram hujan. Bahkan rasa malu tak sedikitpun aku hiraukan, lelahpun tak kurasakan. Aku tak peduli dengan siapapun, yang aku tahu saat itu aku lapar dan butuh pengganjal perut. Dengan keterbatasan keterampilan dan bahkan tak ada satupun yang aku kuasai selain aku hanya memiliki tenaga. Apa yang menjadi ambisiku hanya sebuah istana pasir yang tak pernah menjelma bangunan utuh.
            Berbekal tenaga, aku berjalan ditengah-tengah semrawutnya pasar, bagai semut yang tertimpah remah-remah gula. Berbaris menumpuk dan mengosongkan remah-remah,  bersama orang-orang yang bekerja layaknya kuda yang dicambuk dan didera, demi sebuah upah yang dihitung dengan lelah pundak. Jauh sekali dari cita-cita dan ambisiku.
Terkadang aku berhayal menjadi seperti mereka, menikmati masa remaja tanpa harus bersusah payah memikirkan rupiah, hanya menjulurkan tangan pada orang tua, lembar demi lembar rupiah sudah masuk dalam sakunya. Menghabiskan waktu berkumpul bersama teman-teman, bercanda bersama, sambil membahas kegiatan apa yang akan dilakukan. Sepulangnya di rumah, nasi sudah tergeletak, lengkap dengan sayur dan lauk pauk.  Tapi aku juga sadar kalau saat itu aku hanya berhayal, dan memang itu semua sekedar hayalan pelepas lelahku. Mungkin semua ini berawal dari keputusan yang salah.
Keputusan adalah rencana, gagal merencanakan sesuatu, berarti merencanakan sesuatu yang gagal. Kata ‘kegagalan’ yang membuatku selalu merasa takut untuk melawan rasa ketakutan yang aku takuti. Dan rasa ketakutan itu adalah sebuah kegagalan. Sebagai orang yang telah gagal(dalam pandangan mataku) aku berusah untuk tidak mengulangi kegagalan. Meski terkadang aku tak tahu bagaimana kedepannya, dan memang kita tak bisa meramalkan masa depan. Hingga tak pernah terfikir olehku untuk menjadi apa dan siapa?
Belasan tahun yang aku jalani, hanya demi rupiah, rupiah dan rupiah. Tapi apa yang kudapati hanya lipatan kecil yang tak sebanding dengan derasnya keringat yang telah mengucur. Demi sebuah hoby yang menggila, Mancing,  Sabung Ayam, yang setelah aku sadari semua itu hanya perjudian dan pemuas nafsu. Aku berada dalam lingkaran setan saat itu. Bahkan aku tenggelam dalam aroma Alkohol yang membuatku terjatuh dan sisakan luka. (pada paragraf ini, aku tak bisa membendung airmata)
            Apakah kau masih menganggapku seorang yang terbaik untuk kau jadikan imam? Bahkan aku tak ingin seorang makmumpun berdiri di belakangku yang selalu kalah dengan ambisi brutal yang menjurus liar. Aku telah kehilangan kepercayaan diri, aku telah kehilangan masa depan, aku telah kehilangan semua yang pernah aku impikan! Apakah kau masih berfikir aku orang baik? Dan pantaskah aku menyandang gelar   orang baik-baik.?
            Selama ini aku tak banyak bercerita pada sepasang telinga, pada mata, atau pada hati yang sudi membagi hati. Yang aku lakukan hanya tersudut di dalam kamar,  bersahabat dengan pena dan lembaran-lembaran putih. Pada diri sendiripun aku tak percaya, bagaimana dengan orang lain. Yah, orang lain. Aku selalu mengganggap mereka orang lain, selain deary. Bukannya aku tak pernah percaya  pada hati orang lain, sering aku berbagi pada hati. Semua itu justru membuatku harus berhati-hati untuk bercerita. Karena semua orang tak ingin tahu, meski banyak yang ingin tahu hanya untuk sekedar tahu dan memberi tahu pada yang belum tahu,  apakah aku harus percaya pada orang-orang sperti itu?
            Hingga aku berpasrah pada sang maha mengetahui, berulang kali aku bercerita pada-NYA. Bukan mengeluh, tapi sekedar bercerita untuk melepas sesak yang memadati rongga dada, bahkan menendang-nendang dalam rahim otakku. Aku terus mendekatkan diri pada-NYA. Dengan menyibukan diri untuk berkumpul bersama orang-orang yang peduli dengan orang lain. Aku mencoba membiasakan diri dengan tidak menyukai kesendirian, kesepian dan keterasingan. banyak hal yang aku lakukan, yang semuanya itu kusebut sebagai proses.
            Proses pengembalian kepercayaan diri dan proses menuju ambisi yang tak muluk-muluk tentunya. Saat ini aku hanya ingin menjadi orang yang berguna bagi orang lain, dan diri sendiri. Terserah orang mau menilai diriku baik atau tidak, yang pasti aku akan melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan. Semua proses tak akan berarti tanpa dukungan, dan aku sangat berharap sekali dukungan orang-orang yang aku percaya mendukungku. Selama ini tak ada kebanggan yang aku suguhkan untuk orang tercinta, terutama orang yang telah kulangkahi keputusannya, orang tua.
            Saat ini yang aku fikirkan hanya orang tua, aku ingin sekali membalas kekecewaan yang pernah aku putuskan. Meskipun aku tahu, mendengar diriku yang berprilaku positif saja, orang tuaku sudah bangga. Tapi aku berharap dapat membanggakan mereka lebih, tapi aku sadari dengan keterbatasan yang aku miliki, dan aku juga tak ingin berhenti dengan keterbatasan yang justru menyempitkanku. Aku akan berjuang melawan kegagalan dan takut untuk menjadi apa dan siapa?
Untukmu, maaf jika selama ini aku tak memperhatikanmu, aku hanya ingin fokus pada kebanggan yang akan kusuguhkan pada orang tuaku. Dan aku bermimpi untuk menjadi seorang yang bisa  di banggakan walau pekerjaanku saat ini hanya seorang kuli yang dibayar dengan hitungan pundak. Tentang aku, sedkit banyak kau akan mengerti lewat kalimat demi kalimat yang telah kau baca ini. Tentang kesimpulanmu, itu hak mu untuk memlih. Walau terkadang tak memilihpun suatu pilihan. Tentang ambisiku saat ini, biarlah aku berjalan bersama keegoisan yang sedang aku laukukan. Untuk sebuah keputusan, yah.. ini sebuah keputusan. Dan biarlah aku menumpahkan masa laluku yang selalu di landa kegagalan, yang selalu kusembunyikan pada rahim ingatan. Untuk kali ini saja, coba fikirkan dengan baik-baik keputusanmu. Silahkan kau nilai bagaimana aku, karena itu hakmu. Dan hidup itu sebuah keputusan yang harus terencana. Aku harap kau dapat mengerti, walau kalimatku sulit kau fahami.