Minggu, 09 Maret 2014

Penggalan cerita. (masih bahan)



                Pantai Terbaya yang eksotis. Suasana lebaran masih terasa kental. Banyak dari penduduk Tanggamus, menjadikan pantai sebagai tujuan wisata. Untuk sekedar berlibur bersama keluarga, bahkan ada yang menjadikannya sebagai tempat pacaran yang murah meriah.
Deburan ombak dengan hamparan pasir yang luas. Nyiur melambai. Membuat wajah-wajah pribumi yang mengadu nasib di pulau sebrang, hingga ke luar negri. Selalu merindukan hijau Tanggamus dan biru pantainya.
Pau menenggelamkan kaki di pasir yang putih. Matanya berputar-putar mengamati sekeliling. Di bawah pohon kelapa, pandangannya terhenti. Tepat di sebuah bangku kayu. Fikirannya melayang jauh, seakan kembali pada masa putih abu-abu. Dimana hanya ada dirinya, dan  Warsih.
Angin membelai paksa tubuh Pau. Rambutnya yang mirip ayam jago di biarkan menari liar. Slayer yang melingkar di lehernya, berkibar bagai umbul-umbul. Hingga akhirnya terlepas dan terbang bebas. Lamunan Pau, terhenti. Dikejarnya Slayer berwarna biru itu. 
                “Ini milikmu?”
“Ya,!Terima Kasih” Ucap Pau pada seorang gadis berambut pirang.
                “Anu.., anu.., Namaku, Pau. Kamu?” Lanjutnya sambil menyodorkan tangan kanan.
                “Piska”
                Gayung pun bersambut. Perkenalan pertama yang membuat hati Pau langsung berdetak kencang. Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala, walau tak gatal. Gadis yang ada di hadapannya tersenyum geli, melihat tingkah lelaki yang terkesan kaku itu.
                “Kamu sendirian?”
                “Berdua!” jawab Piska, datar.
                “Satu lagi, mana?”
                “Kamu!” haha.. larut dalam tawa.
                Pau nyengir kuda. Tanpa disadari, tangan mereka masih berjabatan. Pau pura-pura lupa saja, padahal sedang menikmati lembutnya tangan gadis yang asli berdarah Lampung. Kulitnya putih, mata sipit, mirip orang china.
                “Lepasin, weh.” Piska menarik tangannya cepat.
                Matahari, tepat berada di atas ubun-ubun. Kini, mereka sudah berada di bawah pohon nyiur, di atas bangku kayu. Pandangannya lurus ke arah laut. Terkadang, terhalang lalu lalang pengunjung yang ramai padat. Ombak terus bekejaran. Pau berfikir untuk menyusun strategi, pertanyaan apalagi yang harus di ajukan.
                “Boleh minta nomor HP?” Pau menyodorkan pena dan buku agenda berwarna hitam.
                “Boleh, tapi jangan iseng ya!” 
                Piska membuka lembar demi lembar buku agenda yang hampir dipenuhi dengan tulisan-tulisan. Pada bagian terakhir,  didapatinya poto seorang gadis dengan lesung pipi di sebelah kiri.
                “Ini poto pacarmu?”
                Pau hanya menggeleng pelan. Senyum yang sejak tadi mengembang, mulai mengatup. Dirogohnya bungkus rokok surya yang berada di saku kanan celana cargo miliknya. Di sulut dengan korek api kayu. Nikmat sekali nampaknya.
                “Lelaki, selalu saja begitu” Piska menutup hidungnya dengan jari.
                “Aku tak mau berdebat tentang ini!”
                Pau mengangkat kaki kanannya ke atas bangku. Tubuhnya yang tegap bersandar pada pohon. Kepalanya mendongah menatap langit. Rokok yang terselip di antara jemari, di putar-putar.
                “Sial..” Pau menjerit dan mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Panas. Terang saja, karena, api yang singgah di bibir.
Seorang perokok memang tempramental, jika disinggung kebiasaanya yang dianggap buruk oleh sebagian orang.  Begitupun lelaki yang sejak SMP, sudah bersahabat dengan batangan penghangus paru-paru.
“Aku tak bisa berhenti.”
                “Tak mau!”
                “Tak bisa berhenti.” Pau mengulang ucapanya lebih keras.
                “Tak mau mengehentikannya!”
                Hening sejenak.
                “Kau seperti ayahku!” Piska menunduk.
                Pau menatapnya tajam. Ada sesuatu yang berbeda ketika bibir yang merah merekah menyamakan dirinya dengan sosok ayahnya?. Rasa ingin tahu yang besar menendang dalam dada.  Sebenarnya apa yang membuat gadis beralis tebal dan berbulu mata lentik itu harus tertunduk lesu. seakan ada sesuatu kenangan yang keluar dari rahim ingatannya, tapi apa?
                Anak-anak telanjang kaki, telanjang dada. Bermain bola. Mengeruk pasir dan membuatnya menjadi sesuatu. Ada yang membuat ular, membangun istana, adapula yang tertidur dan mengubur dirinya sebatas leher. Riang teriring tawa. Jemari Pau, mampir ke pangkal ibu jari Piska. Dielusnya berulang kali.
                “Kau tahu, kenapa aku memilih menjadi TKW?” suaranya lirih.
                “Belum tahu.” Pau mengangkat dagu piska.
                Saling bertatap mata. Pau berbalik tertunduk. Dia tak kuasa melihat mata yang berkaca-kaca, apalagi seorang wanita. Baginya, airmata adalah penderitaan. Seperti hidupnya dulu,  selalu dihujani dengan segala macam kesedihan.
                “Ayah tak pernah menginginkan hadirku.”
                “Kenapa?”
                “Ayah ingin anak laki-laki.”
                “Bukankah seorang anak, titipan dari Allah!”
                “Tapi, ayah tak begitu”
                Piska menggulung kaos lengan panjangnya hingga pangkal. Lengannya yang putih dan berbulu halus, bagai semut dilayar televisi yang menyala. Ada yang berbeda ketika lengan itu di sejajarkan.
                “Aku dilempar dari rumah, ketika aku baru mulai belajar merangkak.”
                Kejam sekali, Pau hanya bergumam. Dia tak berani berkomentar banyak. Hanya membayangkan saja, bagaimana ketika seorang anak di lempar dari atas rumah adat, Nuwo Sessat. Masyarakat asli Lampung, masih banyak yang mempertahankan rumah adat mereka. Bertiang dan berbahan kayu, menyerupai panggung. Ukiran yang khas, mengelilingi di bagian depan, menyatu dengan anak tangga. Meskipun kini, sudah bercampur dengan bangunan yang lebih modern. Tapi, tak meninggalkan ornament khas di setiap sudutnya.
                “Lalu?”
                “Ayah.., ayah.., ayah” Piska menggelengkan kepalanya dengan cepat. Wajahnya semakin menjorok kedepan, hingga berlabuh ke dada Pau. 
                Suara ombak yang menampar-nampar bibir pantai, riang anak- anak yang bermain pasir, tenggelam bersama kesunyian.  Tak ada suara. Belaian tangan Pau, naik-turun membelai rambut si pirang yang panjang dan halus.
                “Ayah, menceraikan ibu” lanjutnya.

                Kata cerai yang terucap, seperti semburan api raksasa yang menghantam gunung es. Luruh dalam hitungan detik. Gunung itu mencair, menerjang apa saja sesukanya. Semakin mengalir deras, hingga menerjang dada Pau. Semakin dalam, bahkan dinginnya tembus kedalam hati.
                “Sabar, dan ambil hikmahnya.” Pau, menasehati.    
                Keduanya larut dalam suasana. Pertemuan pertama yang membuat mereka begitu merasa nyaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar