Langit
menghitam, sembunyikan purnama yang
seharusnya sempurna. Malam nampak begitu
larut meski jarum jam baru menunjuk ke angka Delapan. Hanya beberapa
pengunjung saja yang singgah di alun-alun kota, tak seperti biasanya memang. Aku
dan Kisam duduk di emperan trotoar
jalan, tengah asik menikmati hangatnya
nasi goreng.
“Aku benci hujan.” Ucapnya sambil
membuang secuil telur dadar yang terselip di selah-selah gigi yang rata.
“Kenapa?” aku mendadak tersentak.
Entah apa yang ada dalam hati Kisam,
matanya berubah memerah dan menatap tajam ke arahku. Seakan ada sesuatu yang ingin disampaikannya, tapi tertahan di
dalam rongga mulut. Aku terdiam dan mencoba menerka isyarat yang ia sampaikan
lewat mata. Dalam diam aku menemukan banyak kemungkinan yang terjadi, tapi aku
tak berani memasuki ruang pribadi yang masih ia tutupi.
“Ini tentang Bahtera Cinta.”
Lirihnya sambil memainkan ujung sendok.
“Apa maksudmu, Kis?”
Piring kotor telah bertumpuk di
hadapan kami, rasa lapar pun telah terusir jauh. Wajah itu tetap tertunduk, fikirannya
melayang entah kemana. Aku masih bingung dengan sepenggal kalimat yang
membuatku terjebak dalam simbol, dan terus diburu rasa penasaran. Dalam
kebisuan, kucabut batangan Gudang Garam yang masih terisi penuh. Kubakar lalu
kuhisap dengan penuh perasaan nikmat , membuatku semakin merasakan betapa
indahnya hidup.
“Apa yang kau temui dari tiap
hisapan penghangus paru-paru itu?”
“Kenikmatan!”
“Lalu??”
Aku mulai berreaksi ketika menatap
matanya yang menyala. Emosiku tersulut
percikan kata yang membuatku terusik dalam kenikmatan. Hingga akhirnya
mengerucut pada pertengkaran.
“Hujan itu tentang bapak”
“Kenapa dengan bapak?”
“Bapak seorang pecandu, sepertimu!”
“Apa peduliku”
“Kamu egois, Bang!”
“Apa urusanmu”
Kisam bergeming dalam tatapan yang kosong, perubahan ekspresi wajahnya memaksaku meredam api
kemarahan. Aku memandang gadis mungil yang berada di depanku tanpa berkedip, di
sana aku mendapati sesuatu yang berbeda. Tiba-tiba saja aku teringat adik
wanitaku yang begitu kucintai. Aku teringat Syifa, yang selalu membenciku
karena kebiasaanku yang tak pernah lepas dari gulunngan tembakau.
“Maafkan aku,
Kis.”
Kisam tak
menyahuti ucapanku, hanya senyum tipis yang ia suguhkan. Aku mulai menemukan
senyum yang sejak tadi tak kudapati dari teman yang belum lama aku kenal ini.
Senyum itu membuat ketegangan mencair, bagai mentega yang terpanggang di atas
pijar bara . Walau tak menjawab, aku yakin ia memaafkan keegoisaanku.
“Cinta selalu punya kisahnya sendiri
untuk diingat sejarahnya, begitu juga lagu bahtera cinta itu, Bang.”
“Itu cerita cintamu?”
“Bukan, Bang. Itu cerita bapak dan
ibu”
“Maafkan aku, yang telah
membangunkan kenanganmu, Kis.”
“Abang tahu rasanya kehilangan?”
“Aku tahu, aku pernah kehilangan mimpiku, Kis”
Aku tak lagi memperdulikan langit
yang telah memberi kabar pada gemuruh. Aku semakin dalam memasuki kehidupan
Kisam yang mulai sedikit terbuka.
“Dari cerita ibu, lagu
inilah yang mengawali kisah pertemuannya dengan bapak, hingga menghantar mereka
ke pelaminan.“
“Lalu apa yang terjadi, Kis?”
“Tapi sayang, Bang. Ikatan
itu tak kuat menerjang badai di lautan. Sehingga ketika berlayar di tengahnya
iapun tenggelam.”
“Apa yang kau lakukan, untuk menyelamatkan mereka”
“Sudah terlambat, Bang, Di saat bapak bisa kembali kedaratan mencari
cintanya yang hilang. Ibu telah menyelam selamanya. Aku hanya memeluk kenangan itu dengan rasa kesakitan dan
kesunyian yang paling dingin.”
Aku terhanyut dalam cerita yang membuatku tak bisa menghentikan
laju airmata. Aku tak pernah menyangka, dibalik senyum ia sembunyikan kenangan
yang begitu dalam.
“Bapak frustasi dan terus menghukum diri dengan lintingan
penghangus paru-paru, meski batuknya semakin parah ia tetap tak mau menjauhi”
“Setelah ibu meninggal, bapak
hidup sendiri dalam keegoisan.” lanjutnya
Dalam hitungan waktu, keangkuhanku padam bagai gunung api yang tersiram hujan yang begitu deras. Cerita
itu langsung membuatku malu untuk bertanya
lagi. Rasa pedih yang menjurang, kurasakan hingga lubuk hati yang
paling dalam. Sesungguhnya aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, kenangannya
membuatku merasa tersudut dalam dua pilihan yang tak seimbang. Terus menikmati
asap tembakau, atau menikmati hidup sehat!
“Tak secepat itu, Kis”
“Lakukan perlahan.”
-bersambung-