Apa kabar, Mad? Semoga dirimu selalu dalam lindungan Tuhan. Maaf
jika selama ini aku tidak berkabar. Sudah lama kita tidak
berbincang-bincang sambil membaca buku, Membahas rumus-rumus, dan
menyelesaikan tugas dari sekolah. Tentu kamu masih ingat, setiap malam
selepas mengaji, kita selalu belajar bersama. Dengan penerangan
seadanya, lampu minyak. Haha.. aku selalu ingat itu Mad, ketika hidungmu
menjadi hitam karena jelaga. Atau, ketika ujung rambutmu sedikit
terbakar.
Datanglah kesini, Mad. Kita lanjutkan
lagi perbincangan dahulu, yang hingga kini belum terwujud. Mimpi kita
untuk kuliyah bersama, di kampus yang sama, dengan jurusan yang sama
pula. Kita adalah sahabat yang takkan terpisahkan, sampai kapanpun. Dan,
apapun yang terjadi kita adalah sahabat, itu katamu.
Bila kau datang, melihat segala perubahan yang terjadi pada diriku.
Kuharap kamu tidak menertawaiku. Kamu harus janji ya! Jangan mengejek
warna kulitku, yah,, kulitku. Kamu tidak bisa lagi mengatai aku anak
china. Karena sekarang, aku hitam legam. Sehitam dan sekelam Nasibku.
Sekarang, aku bukan lagi orang yang bisa dibanggakan, Mad. Tidak ada
prestasi, bahkan orang-orang di sini hanya memandangku dengan
memicingkan sebelah matanya. Aku hanya menjadi kuli pasar, dengan upah
yang di ukur dengan lelah pundak. Kamu bisa bayangkan sendiri berapa
penghasilanku. Tapi, ini sebuah pilihan, Mad. Caraku untuk terus bisa
bertahan hidup.
Nanti, jika kamu sudah lihat
sendiri keadaanku. Tentu kamu tidak akan bertanya lagi, kenapa aku tidak
bisa menjadi mahasisiwa sampai sekarang. Dan kamu benar, Mad. Ambisiku
Belasan tahun lalu, terlalu besar. Ketika aku memutuskan untuk berhenti
sekolah, dan bermimpi menjadi pahlawan untuk keluargaku yang serba
keterbatasan. Aku gagal, Mad.
Cepat datang
kesini, Mad. Banyak sekali kegagalan yang akan aku ceritakan nantinya.
Dan semuanya itu, membuatku tak lagi berani bermimpi untuk menjadi apa
dan siapa! bagaimana dengan dirimu di sana? Apakah orang hebat seperti
kamu, yang selalu menjadi juara kelas, bahkan juara umum di setiap
pembagian raport, dan menjadi kebanggaa sekolah. Saat itu, tak ada yang
berani berkomentar, ketika dirimu mendapat gelar anak jenius.
Kuharap, apa yang pernah kudengar tentangmu, adalah sebuah kesalahan.
Apakah benar, sekarang kamu menjadi tukang ojek? Aku tak percaya, Mad.
Paling tidak, kamu harusnya menjadi guru fisika, atau matematika yang
sudah menyandang gelar sarjana.
Demi persahabatan
kita, datanglah kemari, Mad. Mengulas kembali mimpi-mimpi yang dulu
pernah kita sepakati. Atau, kita kubur bersama, mimpi-mimpi yang pernah
ada. Dan akhirnya kita berdua mengaku kalah pada keadaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar