Jumat, 25 April 2014

Surat Untuk Somad

               Apa kabar, Mad? Semoga dirimu selalu dalam lindungan Tuhan. Maaf jika selama ini aku tidak berkabar.  Sudah lama kita tidak berbincang-bincang sambil membaca buku, Membahas rumus-rumus, dan menyelesaikan tugas dari sekolah. Tentu kamu masih ingat, setiap malam selepas mengaji, kita selalu belajar bersama. Dengan penerangan seadanya, lampu minyak. Haha.. aku selalu ingat itu Mad, ketika hidungmu menjadi hitam karena jelaga. Atau, ketika ujung rambutmu sedikit terbakar.
                Datanglah kesini, Mad. Kita lanjutkan lagi perbincangan dahulu, yang hingga kini belum terwujud. Mimpi kita untuk kuliyah bersama, di kampus yang sama, dengan jurusan yang sama pula. Kita adalah sahabat yang takkan terpisahkan, sampai kapanpun. Dan, apapun yang terjadi kita adalah sahabat, itu katamu.
                Bila kau datang, melihat segala perubahan yang terjadi pada diriku. Kuharap kamu tidak menertawaiku.  Kamu harus janji ya! Jangan mengejek warna kulitku, yah,, kulitku.  Kamu tidak bisa lagi mengatai aku anak china. Karena sekarang, aku hitam legam.  Sehitam dan sekelam Nasibku.
                Sekarang, aku bukan lagi orang yang bisa dibanggakan, Mad. Tidak ada prestasi, bahkan orang-orang di sini hanya memandangku dengan memicingkan sebelah matanya. Aku hanya menjadi kuli pasar, dengan upah yang di ukur dengan lelah pundak. Kamu bisa bayangkan sendiri berapa penghasilanku. Tapi, ini sebuah pilihan, Mad. Caraku untuk terus bisa bertahan hidup.
                Nanti, jika kamu sudah lihat sendiri keadaanku. Tentu kamu tidak akan bertanya lagi, kenapa aku tidak bisa menjadi mahasisiwa sampai sekarang. Dan kamu benar, Mad. Ambisiku Belasan tahun lalu, terlalu besar. Ketika aku memutuskan untuk berhenti sekolah, dan bermimpi menjadi pahlawan untuk keluargaku yang serba keterbatasan.  Aku gagal, Mad.
                Cepat datang kesini, Mad. Banyak sekali kegagalan yang akan aku ceritakan nantinya. Dan semuanya itu, membuatku tak lagi berani bermimpi untuk menjadi apa dan siapa! bagaimana dengan dirimu di sana? Apakah orang hebat seperti kamu, yang selalu menjadi juara kelas, bahkan juara umum di setiap pembagian raport, dan menjadi kebanggaa sekolah. Saat itu, tak ada yang berani berkomentar, ketika dirimu mendapat gelar anak jenius.
                  Kuharap, apa yang pernah kudengar tentangmu, adalah sebuah kesalahan. Apakah benar, sekarang kamu menjadi tukang ojek? Aku tak percaya, Mad. Paling tidak, kamu harusnya menjadi guru fisika, atau matematika yang sudah menyandang gelar sarjana.
                Demi persahabatan kita, datanglah kemari, Mad. Mengulas kembali mimpi-mimpi yang dulu pernah kita sepakati. Atau, kita kubur bersama, mimpi-mimpi yang pernah ada. Dan akhirnya kita berdua mengaku kalah pada keadaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar