Selepas aku
bergabung dengan Group Cerpenmu-Cerpenku di akun Facebook beberapa bulan yang
lalu. Di sana aku mengenal seorang admin yang bernama Fanny J Poyk. Kemudian aku
memanggilnya dengan sebutan Bunda Fany. Bunda adalah seorang penulis ternama
dan juga seorang editor. Begitulah, informasi yang kubaca dari profil facebook
miliknya.
Setiap membaca
karya bunda, aku selalu berdecak kagum. Bunda memang piawai merangkai kata dan membuatku
selalu menunggu hasil karyanya yang lain. Cerpennya yang berjudul “Farida Namanya” membuatku tak mampu
membendung cairan bening yang tersudut dimataku.
Cerpen itu
berkisah tentang seorang istri yang disia-siakan, korban kekerasan, dipaksa
aborsi, bahkan dijadikan pelacur oleh suaminya sendiri. Hingga pada akhirnya, istrinya
mengalami siksa batin yang panjang atau jiwanya terganggu.
Proses aborsi yang
beliau narasikan, seakan begitu kurasakan kengeriannya dan tak terbayangkan sakitnya,
bila aku menjelma seperti Farida, Tokoh utama dalam cerpen tersebut.
Suatu malam, aku
mencoba menghubungi Bunda via Inbox FB. Dalam sebuah percakapan, aku meminta
izin kepada bunda untuk ‘mengcopy’ proses aborsi yang nantinya akan kumasukkan
dalam cerpen yang sedang kugarap. Dan, beliaupun mengizinkannya.
Akhirnya, aku
membuat sebuah cerpen dengan judul ‘Catatan Hitam Karang Suraga.’ Sebuah cerpen
yang akhirnya dibukukan dalam antologi cerpen yang berjudul “Berebut Fajar”
Setelah buku antologi
cerpen tersebut beredar. Apa yang terjadi? Seorang pembaca kecewa, karena didalam buku tersebut terdapat
sebuah cerpen ‘Plagiat’ yang telah dilakukan oleh salah seorang penulis. Dan mungkin,
itu cerpenku. Atau, bukan mungkin tepatnya, tapi sudah bisa dipastikan.
Rasa bersalah,
timbul dari dalam hati, jiwa dan fikiranku.
Aku sadar, ini sebuah kesalahan yang begitu besar. Rasa bersalah yang akhirnya menguasai
seluruh apa yang ada dalam diri dan kehidupanku. Kini, rasa itu menjadi sesuatu
yang menakutkan, aku telah menelanjangi diri sendiri dengan sebentuk kebodohan dan
mengotori karya-karya sahabatku.
Sahabat, apakah aku masih ‘pantas’ untuk disebut sebagai seorang
sahabat? Tidak, aku sudah tak pantas lagi untuk berkumpul bersama orang-orang
hebat seperti kalian! aku hanya pecundang. Biarlah, aku menjadi hakim untuk
diriku sendiri. Dengan palu keadilanku, telah aku putuskan sebuah hukuman, dan
aku memang pantas diganjar untuk semua yang telah kulakukan. Entah sampai kapan
semua ini akan berakhir, entah sampai kapan aku terus berada dalam pengasingan
diri.
Jika ada ‘kata’ yang lebih baik dan berharga dari kata maaf,
mungkin telah kupersembahkan kata itu. Sebagai ucapan yang mewakili perasaan
bersalah yang tak bisa aku uraikan dalam bentuk narasi atau deskripsi.
Pernahkah kalian melakukan kesalahan yang cukup besar?? Jika kalian
pernah melakukannya, terlebih kepada
seseorang yang begitu kalian cintai, begitulah perasaanku saat ini. Dan, aku
akan mulai bersahabat dengan menjilati kata ‘kehilangan’
Kehilangan, aku akan kehilangan sahabat-sahabat terbaik yang pernah
aku kenal. Aku akan kehilangan banyak hal: anak-anak yang selalu menyuguhkan senyum
saat senja, mimpiku untuk menjadi apa dan siapa, Rumah yang terbangun dari
kata-kata, harapan, juga kehilangan namaku sendiri.
Nama ya nama. Sejak aku lahir, hingga aku terkubur dalam tanah, aku
akan menggunakan nama itu. Kini, nama itu telah masuk dalam ‘Catatan Hitam
Bathinku’ mampukah aku membersihkannya?? Entahlah.
Kini, masih pantaskah aku bermimpi?? Atau, memang bukan di sini
tempatku!! Mungkin saja, aku memang hanya digariskan sebagai seorang penulis
deary saja, seperti yang biasa aku lakukan sejak aku masih duduk di bangku SMP.
Ya sudahlah. Semua yang terjadi, biarlah terjadi. Seperti apapun
nantinya akan kuterima dengan hati yang pasrah. Sepasrah hidup yang mulai kini
akan kujalani. Kubiarkan diriku hidup dalam kebisuan, ketulian, kebutaan dan
ketidak tahuan. Aku menutup diri dari segala informasi dan komunikasi. Mempersilahkan
alam mendidikku dengan segala yang kurasakan.
Setiap orang pernah berbuat salah, Bang. Meski mungkin berbeda jenisnya. Mengapa kau hakimi dirimu sendiri? Setiap kesalahan, bukan berarti tdk bisa diperbaiki, kan?
BalasHapusAh, banyak sekali saya bicara. Kami nunggu Abang balik. Oke? ^^
ini bukan kesalahan yang biasa.!! aku butuh waktu untuk melawan diriku sendiri, sampai aku bener-bener siap. dan aku harap, takdir yang akan mempertemukan kita nantinya.
HapusPas proses menceritakan proses aborsi itu , emang persis banget yang terdapat di cerpennya Bunda Fanny? Harusnya sih ente ceritakan dalam gaya bahasa ente sendiri bang. atau bisa juga wawancara dokter, bidan atau para medis. Nanti baru abang tuangkan dalam tulisan. Gak usah menghakimi diri sendiri bang... Kan ke depannya kita bisa membuat karya original. Asli buatan kita sendiri. Kalo soal tulisan, sebelumnya kita kan kita bisa minta pendapat para senior, seperti Mas Lanang Sejagat dan Bang Jack. Main-mainlah ke RD lagi... Ane kangen , pengen ngobrol sama ente lagi, saling berbagi pengalaman. OK?
BalasHapus