Jumat, 09 Mei 2014

Kehilangan




            Selepas aku bergabung dengan Group Cerpenmu-Cerpenku di akun Facebook beberapa bulan yang lalu. Di sana aku mengenal seorang admin yang bernama Fanny J Poyk. Kemudian aku memanggilnya dengan sebutan Bunda Fany. Bunda adalah seorang penulis ternama dan juga seorang editor. Begitulah, informasi yang kubaca dari profil facebook miliknya.

            Setiap membaca karya bunda, aku selalu berdecak kagum. Bunda memang piawai merangkai kata dan membuatku selalu menunggu hasil karyanya yang lain. Cerpennya yang berjudul  “Farida Namanya” membuatku tak mampu membendung cairan bening yang tersudut dimataku.
            Cerpen itu berkisah tentang seorang istri yang disia-siakan, korban kekerasan, dipaksa aborsi, bahkan dijadikan pelacur oleh suaminya sendiri. Hingga pada akhirnya, istrinya mengalami siksa batin yang panjang atau jiwanya terganggu.
            Proses aborsi yang beliau narasikan, seakan begitu kurasakan kengeriannya dan tak terbayangkan sakitnya, bila aku menjelma seperti Farida, Tokoh utama dalam cerpen tersebut.  
            Suatu malam, aku mencoba menghubungi Bunda via Inbox FB. Dalam sebuah percakapan, aku meminta izin kepada bunda untuk ‘mengcopy’ proses aborsi yang nantinya akan kumasukkan dalam cerpen yang sedang kugarap. Dan, beliaupun mengizinkannya.
            Akhirnya, aku membuat sebuah cerpen dengan judul ‘Catatan Hitam Karang Suraga.’ Sebuah cerpen yang akhirnya dibukukan dalam antologi cerpen yang berjudul “Berebut Fajar”
            Setelah buku antologi cerpen tersebut beredar. Apa yang terjadi? Seorang pembaca  kecewa, karena didalam buku tersebut terdapat sebuah cerpen ‘Plagiat’ yang telah dilakukan oleh salah seorang penulis. Dan mungkin, itu cerpenku. Atau, bukan mungkin tepatnya, tapi sudah bisa dipastikan.
            Rasa bersalah, timbul dari dalam hati,  jiwa dan fikiranku. Aku sadar, ini sebuah kesalahan yang begitu besar. Rasa bersalah yang akhirnya menguasai seluruh apa yang ada dalam diri dan kehidupanku. Kini, rasa itu menjadi sesuatu yang menakutkan, aku telah menelanjangi diri sendiri dengan sebentuk kebodohan dan mengotori karya-karya sahabatku.
Sahabat, apakah aku masih ‘pantas’ untuk disebut sebagai seorang sahabat? Tidak, aku sudah tak pantas lagi untuk berkumpul bersama orang-orang hebat seperti kalian! aku hanya pecundang. Biarlah, aku menjadi hakim untuk diriku sendiri. Dengan palu keadilanku, telah aku putuskan sebuah hukuman, dan aku memang pantas diganjar untuk semua yang telah kulakukan. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir, entah sampai kapan aku terus berada dalam pengasingan diri.
Jika ada ‘kata’ yang lebih baik dan berharga dari kata maaf, mungkin telah kupersembahkan kata itu. Sebagai ucapan yang mewakili perasaan bersalah yang tak bisa aku uraikan dalam bentuk narasi atau deskripsi.
Pernahkah kalian melakukan kesalahan yang cukup besar?? Jika kalian pernah melakukannya,  terlebih kepada seseorang yang begitu kalian cintai, begitulah perasaanku saat ini. Dan, aku akan mulai bersahabat dengan menjilati kata ‘kehilangan’
Kehilangan, aku akan kehilangan sahabat-sahabat terbaik yang pernah aku kenal. Aku akan kehilangan banyak hal: anak-anak yang selalu menyuguhkan senyum saat senja, mimpiku untuk menjadi apa dan siapa, Rumah yang terbangun dari kata-kata, harapan, juga kehilangan namaku sendiri.
Nama ya nama. Sejak aku lahir, hingga aku terkubur dalam tanah, aku akan menggunakan nama itu. Kini, nama itu telah masuk dalam ‘Catatan Hitam Bathinku’ mampukah aku membersihkannya?? Entahlah.
Kini, masih pantaskah aku bermimpi?? Atau, memang bukan di sini tempatku!! Mungkin saja, aku memang hanya digariskan sebagai seorang penulis deary saja, seperti yang biasa aku lakukan sejak aku masih duduk di bangku SMP.
Ya sudahlah. Semua yang terjadi, biarlah terjadi. Seperti apapun nantinya akan kuterima dengan hati yang pasrah. Sepasrah hidup yang mulai kini akan kujalani. Kubiarkan diriku hidup dalam kebisuan, ketulian, kebutaan dan ketidak tahuan. Aku menutup diri dari segala informasi dan komunikasi. Mempersilahkan alam mendidikku dengan segala yang kurasakan.  

3 komentar:

  1. Setiap orang pernah berbuat salah, Bang. Meski mungkin berbeda jenisnya. Mengapa kau hakimi dirimu sendiri? Setiap kesalahan, bukan berarti tdk bisa diperbaiki, kan?

    Ah, banyak sekali saya bicara. Kami nunggu Abang balik. Oke? ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini bukan kesalahan yang biasa.!! aku butuh waktu untuk melawan diriku sendiri, sampai aku bener-bener siap. dan aku harap, takdir yang akan mempertemukan kita nantinya.

      Hapus
  2. Pas proses menceritakan proses aborsi itu , emang persis banget yang terdapat di cerpennya Bunda Fanny? Harusnya sih ente ceritakan dalam gaya bahasa ente sendiri bang. atau bisa juga wawancara dokter, bidan atau para medis. Nanti baru abang tuangkan dalam tulisan. Gak usah menghakimi diri sendiri bang... Kan ke depannya kita bisa membuat karya original. Asli buatan kita sendiri. Kalo soal tulisan, sebelumnya kita kan kita bisa minta pendapat para senior, seperti Mas Lanang Sejagat dan Bang Jack. Main-mainlah ke RD lagi... Ane kangen , pengen ngobrol sama ente lagi, saling berbagi pengalaman. OK?

    BalasHapus