Minggu, 12 Januari 2014

Suport Nismara



“Coba saja karyamu dikirim ke media massa.”
“Ah,, karyaku belum layak!”
“Itu kan menurut dirimu, Bang!”

Siang itu, diantara para peserta baru kelas menulis angkatan ke-23 yang duduk berjejer di aula Rumah Dunia. Seorang gadis berkaos merah, rok panjang berwarna hitam dan menggunakan kerudung. Sambil tersenyum ramah, ia memberi masukkan padaku untuk mencoba peruntungan. Aku yang masih pesimis dalam menilai diri sendiri, justru dibuatnya semakin tak percaya diri. Aku terdiam sejenak dan coba berdiskusi dengan fikiran, dalam perbincangan bathin yang sesaat, seakan membuatku menemukan kembali titik kepercayaan diri yang sempat tertutup kekerdilan cara berfikirku. Membuatku semakin bernafsu untuk menggali pengetahuan lebih dalam lagi tentang dunia tulis-menulis.  Aku yakin dengan potensi yang kumiliki, dan untuk mencapai sebuah totalitas, perlu adanya pembelajaran dan latihan secara terus-menerus.
 Ucapan sang gadis itu pun, seolah menjadi suntikan semangat tersendiri untukku. Dan akan kuperbaiki semua tulisanku, pastinya aku butuh seseorang yang menjadi eksekutor untuk  mencoret-coret tulisanku, dan aku siap untuk digunduli habis-habisan demi terwujudnya karya yang memuaskan. Setelah itu, baru akan kusodorkan pada media masa, mungkin seperti itu maksudku dan menjadi pembelaan yang tak sempat aku jelaskan.
Setelah kegiatan berakhir, aku dan gadis asal Indra Mayu itu duduk di sebuah warung yang berada di sebrang jalan Rumah Dunia, di atas bangku kayu dan meja yang terbuat dari bahan yang sama, telah hadir  bersama kami salah satu senior yang merupakan vans berat Iwan Fals. Gadis berkaca mata asal Anyer ini pun begitu ramah dan selalu memancingku untuk angkat bicara, karena yang kulakukan hanya tersenyum dan sesekali nyeletuk. Dalam perbincangan itu aku coba memisahkan diri, karena kebiasaanku yang tak bisa lepas dari batangan penghangus paru-paru.

 Hujan turun tanpa kompromi, menembus atap yang hanya ditutupi dengan baliho dan menerobos masuk diantara celah-celah. Gadis Bandung yang suka traveling dan sering aku baca tulisannya di blog,  membuka  ransel yang resletingnya dipenuhi aksesoris berupa gantungan dan pin yang bertuliskan nama tempat wisata di sekitar Indonesia, tangannya merogoh dan mengeluarkan sebuah wadah air minum berbentuk botol, atau serupa  termos kecil. Harum  aroma teh Dilmah, yang katanya berasal dari Sri Lanka itu begitu menggoda, tapi tak menggoyahkan hatiku untuk menyelingkuhi kopi yang  sudah menjadi bagian hidupku.
Selayaknya sebuah warung yang selalu di kunjungi banyak pembeli, di atas meja telah bergabung bersama kami seorang dosen sastra yang berambut gondrong. Pak Dosen bercerita banyak mengenai sastra, jurnalis, fotografi dan tentang tulisannya yang baru saja dimuat di koran Indo Post. Aku hanya menjadi pendengar setia, dan ketika bapak berambut gondrong itu berucap. “Kirim saja tulisan-tulisan kalian, jangan pernah bilang belum saatnya. Emang kalian tahu kapan saat itu tiba?”  pada kalimat itu, aku dan gadis yang berkulit putih langsung saling menatap. Meski ia hanya tersenyum, tapi aku tahu apa maksudnya. Sambil menertawai diri sendiri, aku justru menyerang balik “dengerin tuh.” Pak dosen dan gadis berkaca mata nampak bingung dengan apa yang kami berdua tertawakan.

3 komentar:

  1. hey, dirimu!
    Kau sedang membicarakan diriku.

    BalasHapus
  2. abanggggg tulisanmu itu kerennnnnn

    ayolahhhhhhhhhh.............

    BalasHapus
  3. aih,. banyak tamu, hehe thanks ya udah pada mampir.

    BalasHapus