“Coba saja karyamu
dikirim ke media massa.”
“Ah,, karyaku belum layak!”
“Itu kan menurut dirimu,
Bang!”
Siang itu, diantara para
peserta baru kelas menulis angkatan ke-23 yang duduk berjejer di aula Rumah Dunia.
Seorang gadis berkaos merah, rok panjang berwarna hitam dan menggunakan
kerudung. Sambil tersenyum ramah, ia memberi masukkan padaku untuk mencoba
peruntungan. Aku yang masih pesimis dalam menilai diri sendiri, justru
dibuatnya semakin tak percaya diri. Aku terdiam sejenak dan coba berdiskusi
dengan fikiran, dalam perbincangan bathin yang sesaat, seakan membuatku
menemukan kembali titik kepercayaan diri yang sempat tertutup kekerdilan cara berfikirku.
Membuatku semakin bernafsu untuk menggali pengetahuan lebih dalam lagi tentang
dunia tulis-menulis. Aku yakin dengan
potensi yang kumiliki, dan untuk mencapai sebuah totalitas, perlu adanya pembelajaran
dan latihan secara terus-menerus.
Ucapan sang gadis itu pun, seolah menjadi suntikan
semangat tersendiri untukku. Dan akan kuperbaiki semua tulisanku, pastinya
aku butuh seseorang yang menjadi eksekutor untuk mencoret-coret tulisanku, dan aku siap untuk
digunduli habis-habisan demi terwujudnya karya yang memuaskan. Setelah itu,
baru akan kusodorkan pada media masa, mungkin seperti itu maksudku dan menjadi
pembelaan yang tak sempat aku jelaskan.
Setelah kegiatan
berakhir, aku dan gadis asal Indra Mayu itu duduk di sebuah warung yang berada
di sebrang jalan Rumah Dunia, di atas bangku kayu dan meja yang terbuat dari
bahan yang sama, telah hadir bersama
kami salah satu senior yang merupakan vans berat Iwan Fals. Gadis berkaca mata
asal Anyer ini pun begitu ramah dan selalu memancingku untuk angkat bicara,
karena yang kulakukan hanya tersenyum dan sesekali nyeletuk. Dalam perbincangan
itu aku coba memisahkan diri, karena kebiasaanku yang tak bisa lepas dari
batangan penghangus paru-paru.
Hujan turun tanpa kompromi, menembus atap yang
hanya ditutupi dengan baliho dan menerobos masuk diantara celah-celah. Gadis
Bandung yang suka traveling dan sering aku baca tulisannya di blog, membuka ransel yang resletingnya dipenuhi aksesoris
berupa gantungan dan pin yang bertuliskan nama tempat wisata di sekitar Indonesia, tangannya
merogoh dan mengeluarkan sebuah wadah air minum berbentuk botol, atau serupa termos kecil. Harum aroma teh Dilmah, yang katanya berasal dari
Sri Lanka itu begitu menggoda, tapi tak menggoyahkan hatiku untuk menyelingkuhi
kopi yang sudah menjadi bagian hidupku.
Selayaknya sebuah warung
yang selalu di kunjungi banyak pembeli, di atas meja telah bergabung bersama
kami seorang dosen sastra yang berambut gondrong. Pak Dosen bercerita banyak
mengenai sastra, jurnalis, fotografi dan tentang tulisannya yang baru saja dimuat
di koran Indo Post. Aku hanya menjadi pendengar setia, dan ketika bapak
berambut gondrong itu berucap. “Kirim saja tulisan-tulisan kalian, jangan
pernah bilang belum saatnya. Emang kalian tahu kapan saat itu tiba?” pada kalimat itu, aku dan gadis yang berkulit
putih langsung saling menatap. Meski ia hanya tersenyum, tapi aku tahu apa
maksudnya. Sambil menertawai diri sendiri, aku justru menyerang balik “dengerin
tuh.” Pak dosen dan gadis berkaca mata nampak bingung dengan apa yang kami
berdua tertawakan.
hey, dirimu!
BalasHapusKau sedang membicarakan diriku.
abanggggg tulisanmu itu kerennnnnn
BalasHapusayolahhhhhhhhhh.............
aih,. banyak tamu, hehe thanks ya udah pada mampir.
BalasHapus