Di alun-alun, mobil terparkir di pinggir
jalan. Kami melangkahkan menyusuri lapangan kota, mencicipi Pentol sambil
memperhatikan becak beroda empat yang dihiasi lampu-lampu yang menyala. ‘Becak
Cinta’ begitulah penduduk Bumi Reyog
menyebutntya. Menara masjid Raden Mas Adipati Tjokronegoro kokoh berdiri. Di
dalam masjid sebagian lampu telah dimatikan, aku duduk bersimpuh dan berdoa,
aku berharap Tuhan mengabulkan permintaanku, karena malam ini aku berencana
melepaskan busur panah cintaku pada Warsih.
Aku dan Warsih
duduk di atas panggung berukuran besar, yang biasa digunakan untuk pementasan
seni Reyog.
“Sih. Aku
pingin ngomong”
“Ngomong aja,
lah wong dari tadi dirimu itu ngomong terus!!”
“Anu.., anu..,”
“Anu, apa?”
Tiba-tiba aku
terdiam semenjana, keringatku bercucuran, hawa panas-dingin membuat jantungku
berdetak tak beraturan. Ini bukan suatu kewajaran, karena aku tak sakit. Lagi
pula, atmosfir Ponorogo begitu sejuk.
Tatap mataku kosong memandang, tapi hanya sebentar, selanjutnya berkaca-kaca
lagi. Mataku seakan bercerita dan berusaha meyakinkannya, bahwa aku benar-benar
mencintainya dan ingin sekali mengungkapkan rasa yang kian membuat mulutku
mengatup.
“Biar aku jawab
saja, Ky”
“Sebelumnya aku
minta maaf, saat ini aku masih ingin sendiri dan butuh waktu untuk menenangkan
fikiran” lanjutnya
“Sampai kapan,
Sih.?” Aku menunduk sambil menghela nafas.
“Aku juga belum
tahu, lebih baik kita sahabatan aja.” tegasnya
Aku semakin
menunduk dan enggan untuk menoleh, lentik jemari Warsih menggenggam tanganku
sesekali memukul-mukul pundakku dengan lembut. Perlahan kuangkat kepalaku dan
menoleh kearahnya, wajahnya yang terbingkai kerudung coklat melempar senyum.
Senyum terukir
di bibirnya, senyum yang membuat bibirku
tak mampu memuntahkan kata cinta, senyum
yang tak bisa kumaknai. Senyum yang mengobrak-abrik benteng pertahanan yang
susah payah kubangun agar aku tak mendengar kata ‘tidak’. Memang dia tersenyum
sesungguhnya tersenyum tulus padaku, mengajakku berdamai dan sepakat dengan
kata ‘sahabat’. Aku diam dan menundukan kepala semakin kebawah. Dahiku
berkerut, gigiku mengatup rapat. Aku tak percaya dengan semua ini, aku fikir
kedekatan kita selama ini bisa berujung manis. Kenyataannya sangatlah
bersebrangan dengan apa yang kufikirkan.
Malam ini, langit Ponorogo begitu
cerah. Tapi tidak dengan langit-langit mataku yang semakin berat menahan
bendungan air mata, sebisa mungkin aku menahannya agar tak tertumpah. Hatiku kian merana, fikiran akan kehampaan
terus bergejolak. aku menanti apa yang ada dan tiada. aku terdiam tanpa bisa
berkata-kata, menyembunyikan kecewa atas apa yang telah
kudengar.
Jawaban itu
langsung membuatku enggan untuk bertanya lagi. Rasa pedih semakin menjurang, membuatku terjatuh dan tersungkur pada lembah
kekecewaan. Bagiku, hidup tanpa pasangan adalah semu. Meski ada sebagian orang
yang bahagia hidup sendiri, tapi tidak
dengan diriku. Aku tak tahan pada kata kesepian yang semakin memburu, membuatku
terus berlari dan berlari mengejar cinta
yang hingga kini belum kumiliki.
Di keheningan
malam, deru motor dan mobil berbaur dengan dengkur sahabat-sahabatku yang
kelelahan. Di atas lantai beralaskan sajadah aku bersujud dan bersimpuh,
bibirku menyulam do’a. Tanganku terus bertengadah, mengadu dan meminta di
sepertiga malam. Aku semakin larut dalam kesedihan, hanya pada Tuhan aku
curahkan apa yang kurasa. Mataku membengkak bagai gunung es yang membekukan rasa syukurku, luruh
perlahan-lahan, pada akhirnya es yang menjelma menjadi air itu menerjang apa
saja yang ada dilalui. Aku tak kuasa menahan isak tangis, hingga penghujung
malam hampir menapaki subuh, aku tak bisa memejamkan mataku yang becek daan
terus menganak sungai. (pada paragraph ini, Penulis menitikan air mata)
Aku beranjak
dan mondar-mandir dalam ruangan yang gelap, tak ada yang bisa kuajak bicara,
hanya batangan-batangan rokok yang tertumpuk dalam asbak kayu yang menjadi
sahabat setiaku, aku tak tahu sudah berapa batang yang telah kulahap dan
kucampakkan. Yang aku tahu, aku tak percaya dengan apa yang telah kudengar.
Suara adzan subuh menentramkan sejenak fikiranku. Dingin air wudhu yang basuhi
wajah, khidmat Qunut mengantarkanku terlelap.
“Bangun, Ky.
Bangun, bangun.”
“Hmm.” Aku
hanya membalikan badan
“Mau ikut ke
Telaga Sarangan nggak?” ajak Warsih
Aku lantas
beranjak menuju kamar mandi, bercengkrama dengan dingin air yang kubiarkan
menghanyutkan kesedihan yang sejak semalam membanjiri pipi. Yang tersisa hanya
mata yang membengkak dan memerah, tapi aku tak ingin merusak suasana ini. Biarlah
kusembunyikan sedihku sejena, dan biarlah bersembunyi dibalik celoteh, ceriwis, dan tingkahku yang konyol agar aku bisa
membuat sahabat-sahabatku tersenyum.
Jalan menuju
Telaga Sarangan begitu mendaki dan berliku. Di atas puncak, pemandangan
terlihat indah dihiasi bukit-bukit yang menghijau, perkebunan strawberry dan
persawahan yang terhampar luas.
Langkah kuda
begitu kuat, berputar mengitari telaga, ramai para pengunjung, bergantisn turun
dan naik keatas punggung kuda yang tak pernah lelah. Air bergelombang seperti laut di waktu hujan,
speed boat melaju kencang di atas permukaan. Di pinggir pagar,
tikar-tikar tergelar di sepanjang bibir telaga. Aroma asap sate ayam dan
kelinci yang terpanggang, begitu menggugah selera dan mengundang rasa lapar.
Kami berhenti di sebuah kedai sate lesehan, sambil memandang telaga yang
luasnya melebihi Satu hekto are. Menikmati sate kelinci yang empuk
teriring canda riang para sahabat, membuat kesedihanku sempat tersumbat. Hampir
setengah hari kami habiskan waktu di sini, sekedar menikmati suasana dan
meninggalkan jejak kaki di Magetan.
Waktu berputar
seakan lebih cepat dari biasanya, tak terasa sudah hampir Lima hari berkumpul
bersama sahabat-sahabatku, malam ini adalah malam perpisahan bagi kami dan
Midha, ada rindu yang akan kami rasakan
selepas perpisahan ini.
di sini aku
begitu tenang, telingaku pun terlepas dari obrolan seputar kasus korupsi yang
membuatku semakin muak dengan pemimpin kotaku. Di sini begitu damai dan bebas,
aku bisa menikmati tertibnya Malioboro, Prambanan, mengenal Bumi Reyog dan
merasakan sejuknya Telaga sarangan
“gimana sama
Warsih, Ky?” Tanya Midha
“Aku gagal,
Dha”
“Apa
alasannya?”
“Entahlah, dia
bilang sih, mau nenangin fikiran dulu!”
“Yang sabar ya,
Ky!” Midha mengacak-ngacak rambutku.
“Iya, Dha. Terima
kasih atas semuanya”
“Eh, besok ikut
pulang ke Lampung aja. Biar bisa ngobrol banyak sama Warsih”
“Sebenarnya,
aku pingin pulang ke Serang, Dha”
“Pokoknya, kamu
harus ke Lampung, Ky”
“Yo wis, sekarang aku mau tidur dulu, Dha.”
Hari-hari yang
kulalui bersama sahabat-sahabat membuatku mengerti akan arti persahabatan,
saling berbagi dalam suka ataupun duka, dalam pandangan ataupun udara.
Perpisahan ini membuatku semakin tak kuasa menanggung rindu pada pertemuan.
Suatu saat nanti, jika kami masih diberi kesempatan untuk bertemu, meski di
tempat dan waktu yang berbeda, kami harap semua tak berubah. Biarlah Jogja
menjadi saksi bisu persahabatan kami.
Lambaian tangan
Midha saat melepaskan kepergian kami, membuat kami menitikan air mata. Di dalam
bus aku duduk berdampingan dengan Warsih, sementara Very duduk di kursi depan.
Aku sungguh bahagia bisa duduk bersebelahan dengan Warsih, fikiranku melayang
jauh, sesekali aku tersenyum simpu sendiri, aku sedang berhayal duduk di
pelaminan bersama Warsih.
Perjalanan
masih cukup jauh, aku tak kuasa merasakan dingin AC yang membuat tubuhku terasa
menggigil. Hanya sejengkal jarak kami duduk, entah kenapa aku tak bisa banyak
bicara saat bersama Warsih, bahkan aku
berubah menjadi sosok yang pendiam.
Mungkin karena rasa cintaku yang tak terbalas, atau rasa marah dan tak
percaya dengan apa yang pernah kudengar di alun-alun Ponorogo kemarin. Warsih memang gadis yang paling
spesial di hatiku, menjadi inspirasi dalam menulis dan berpuisi dan puisiku
adalah puisi cinta tentangnya.
Aku tak
terbiasa dengan pendingin ruangan, kali ini aku sungguh beruntung, meskipun tak
mengenakan jaket tebal, sudah tersedia selimut di dalam bus. Cahaya penerangan
di dalam bus begitu redup, para penumpang tak lagi bersuara, yang terdengar hanya
deru mesin yang barcampur dengkuran penumpang. Mataku kadang tertutup kadang
terbuka, antara tidur dan tidak. Sesekali aku menoleh ke arah kiri, melihat
Warsih yang nampak begitu lelah, matanya pun sama denganku antara tidur dan
tidak.
Selimut yang kukenakan
sedikit basah oleh keringat dingin yang keluar dari tubuhku yang bersuhu panas.
Mungkin efek telat makan atau memang kondisiku kurang vit. Entah apa yang
sebenarnya terjadi, tiba-tiba saja tubuhku terasa menggigil, aku tak kuasa
menahan dingin dan memaksaku untuk menggenggam jemari Warsih yang lentik dan
mulus, perlahan genggaman itu sedikit menghangatkan tubuh dan jiwaku.Kami
berpandangan dan bertukar senyum, berbincang seadanya tanpa mejurus
kemana-mana. Aku terus menggenggam tangannya, perlahan rasa sakit menggedor
perasaanku.
“Apakah aku
salah, Sih. Jika aki begitu mencintai kamu.” Tanyaku.
Warsih hanya
menggelengkan kepala dan menatap mataku penuh arti, aku yang tertunduk balik
menatapi wajahnya dalam-dalam. Tatapan itu membuatku semakin tak bisa menahan
kecewa yang menyempitkan dadaku, rasa kecewa yang meruntuhkan harapanku itu
membuatku tak mampu menahan sedih, air mataku mengalir deras dan tak
terhentikan. Genggaman tangan terlepas, jemari Warsih mengusap laju airmata
yang kian membuatku larut dalam suasana sedih
“Sudah, Ky.
Kita tetap bisa sahabatan kan. Ngertiin aku, Ky!”
Aku semakin tak
kuasa mendengarnya aku semakin terjatuh dalam kecewa. Aku menjadi bodoh di
hadapannya, aku bagai lelaki pengemis cinta yang menganggap wanita di dunia ini
hanya satu. Tapi aku tak peduli, cintaku pada Warsih membuatku merasa asing
dengan diriku sendiri, aku tak bisa mengendalikan emosi yang kian menginjak ke
lelakianku.
“Aku masih
ingin menata hati, Ky. Nggak mudah ngelupain kenangan, dan kamu tahu semuanya
tentang itu. Kamu berdoa saja, semoga Allah membukakan hatiku untukmu, nanti.”
Aku terus larut
dan kesedihanku semakin menjadi-jadi, sejak di dalam bus, di atas kapal sampai
akhirnya kami berpisah di Gedong Tataan.
Malam yang
sepi, aku berpisah dengan orang yang sangat aku cintai. Bus yang aku tunggangi
hanya sampai Pringsewu saja, tak ada kendaraan umum yang bisa menghantarkan aku
ke Talang Padang, setelah cukup lama menanti akhirnya ada sebuah mobil
pengangkut ikan yang berhenti di lampu merah, setelah aku meminta tolong dan
supirpun memberi tumpangan. Aku berdiri di belakang bak terbuka, dingin malam
yang bercampur bau amis menambah lengkap penderitaan ini.
Selepas
menikmati perjalanan yang begitu melelahkan, aku pun telah sampai di kampung
halaman dan kembali bertemu dengan ibuku. Ibuku sempat kaget karena aku datang
tanpa ada pemberitahuan seperti biasanya, namun naluri seorang ibu memang tak
bisa di pungkiri.
“Kamu sakit
apa?” sambil mengaduk-aduk kopi panas, ibu langsung menembak aku dengan pertanyaan
yang membuatku tersentak dan bingung harus dari mana menjelaskannya.
“Aku galau,
Bu.!” Aku menangis dalam pelukan ibu. Dalam isak tangis aku begitu lancar
menceritakan apa yang telah terjadi pada diriku tanpa ada yang terlewatkan,
tersembunyi atau aku rahasiakan. Ibu terus membelai rambutku dan membiarkan
kerudungnya basah oleh airmataku.
“Ya sudah, Ky.
Kamu juga harus tahu diri dan harus memposisikan dirimu”
“Setiap orang
pasti inginkan yang terbaik untuk dirinya, mungkin kamu bukan yang terbaik
seperti yang dia inginkan, kamu berdoa saja dan kudu ngerumongsoni.” Nasihat
ibu.
Airmataku
perlahan terhenti seketika, dan nasihat ibu membuatku semakin mengerti dengan
keadaanku dan aku tak bisa memaksakan cinta, karena aku sadar dengan siapa
diriku dengan segudang kekurangan yang masih belum bisa ku penuhi. Mungkin cintaku
hanya sebatas mencinta, atau cintaku salah waktu dan tempat. Dan kubiarkan
cinta ini terus meracuni fikiranku, meski langkahku pendek dalam mengejar cinta
Warsih, aku tetap bertahan dan berharap tuhan akan menunjukan jodohku dan kuharap jodohku adalah Warsih.
“kalau kamu
bukan anak raja, dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis –AL-Ghojali” satu
kalimat yang dituliskan pada sebuah buku yang diberikan Warsih padaku sebagai
kenang-kenangan. Biarlah aku menjadi penulis, menjadi tuhan dalam tiap tokoh
yang kutulis, meski aku tak bisa menuliskan takdirku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar