Selasa, 07 Januari 2014

Mengejar Cinta Warsih



 Di alun-alun, mobil terparkir di pinggir jalan. Kami melangkahkan menyusuri lapangan kota, mencicipi Pentol sambil memperhatikan becak beroda empat yang dihiasi lampu-lampu yang menyala. ‘Becak Cinta’  begitulah penduduk Bumi Reyog menyebutntya. Menara masjid Raden Mas Adipati Tjokronegoro kokoh berdiri. Di dalam masjid sebagian lampu telah dimatikan, aku duduk bersimpuh dan berdoa, aku berharap Tuhan mengabulkan permintaanku, karena malam ini aku berencana melepaskan busur panah cintaku pada Warsih.
Aku dan Warsih duduk di atas panggung berukuran besar, yang biasa digunakan untuk pementasan seni Reyog.
“Sih. Aku pingin ngomong”
“Ngomong aja, lah wong dari tadi dirimu itu ngomong terus!!”
“Anu.., anu..,”
“Anu, apa?”
Tiba-tiba aku terdiam semenjana, keringatku bercucuran, hawa panas-dingin membuat jantungku berdetak tak beraturan. Ini bukan suatu kewajaran, karena aku tak sakit. Lagi pula, atmosfir  Ponorogo begitu sejuk. Tatap mataku kosong memandang, tapi hanya sebentar, selanjutnya berkaca-kaca lagi. Mataku seakan bercerita dan berusaha meyakinkannya, bahwa aku benar-benar mencintainya dan ingin sekali mengungkapkan rasa yang kian membuat mulutku mengatup.
“Biar aku jawab saja, Ky”
“Sebelumnya aku minta maaf, saat ini aku masih ingin sendiri dan butuh waktu untuk menenangkan fikiran” lanjutnya
“Sampai kapan, Sih.?” Aku menunduk sambil menghela nafas.
“Aku juga belum tahu, lebih baik kita sahabatan aja.” tegasnya
Aku semakin menunduk dan enggan untuk menoleh, lentik jemari Warsih menggenggam tanganku sesekali memukul-mukul pundakku dengan lembut. Perlahan kuangkat kepalaku dan menoleh kearahnya, wajahnya yang terbingkai kerudung coklat melempar senyum.
Senyum terukir di bibirnya, senyum yang membuat  bibirku tak mampu memuntahkan  kata cinta, senyum yang tak bisa kumaknai. Senyum yang mengobrak-abrik benteng pertahanan yang susah payah kubangun agar aku tak mendengar kata ‘tidak’. Memang dia tersenyum sesungguhnya tersenyum tulus padaku, mengajakku berdamai dan sepakat dengan kata ‘sahabat’. Aku diam dan menundukan kepala semakin kebawah. Dahiku berkerut, gigiku mengatup rapat. Aku tak percaya dengan semua ini, aku fikir kedekatan kita selama ini bisa berujung manis. Kenyataannya sangatlah bersebrangan dengan apa yang kufikirkan.
            Malam ini, langit Ponorogo begitu cerah. Tapi tidak dengan langit-langit mataku yang semakin berat menahan bendungan air mata, sebisa mungkin aku menahannya agar tak tertumpah. Hatiku kian merana, fikiran akan kehampaan terus bergejolak. aku menanti apa yang ada dan tiada. aku terdiam tanpa bisa berkata-kata, menyembunyikan kecewa atas apa yang telah kudengar.
Jawaban itu langsung membuatku enggan untuk bertanya lagi. Rasa pedih semakin menjurang,  membuatku terjatuh dan tersungkur pada lembah kekecewaan. Bagiku, hidup tanpa pasangan adalah semu. Meski ada sebagian orang yang bahagia hidup sendiri, tapi  tidak dengan diriku. Aku tak tahan pada kata kesepian yang semakin memburu, membuatku terus berlari dan  berlari mengejar cinta yang hingga kini belum kumiliki.
Di keheningan malam, deru motor dan mobil berbaur dengan dengkur sahabat-sahabatku yang kelelahan. Di atas lantai beralaskan sajadah aku bersujud dan bersimpuh, bibirku menyulam do’a. Tanganku terus bertengadah, mengadu dan meminta di sepertiga malam. Aku semakin larut dalam kesedihan, hanya pada Tuhan aku curahkan apa yang kurasa. Mataku membengkak bagai gunung es yang membekukan rasa syukurku, luruh perlahan-lahan, pada akhirnya es yang menjelma menjadi air itu menerjang apa saja yang ada dilalui. Aku tak kuasa menahan isak tangis, hingga penghujung malam hampir menapaki subuh, aku tak bisa memejamkan mataku yang becek daan terus menganak sungai. (pada paragraph ini, Penulis menitikan air mata)
Aku beranjak dan mondar-mandir dalam ruangan yang gelap, tak ada yang bisa kuajak bicara, hanya batangan-batangan rokok yang tertumpuk dalam asbak kayu yang menjadi sahabat setiaku, aku tak tahu sudah berapa batang yang telah kulahap dan kucampakkan. Yang aku tahu, aku tak percaya dengan apa yang telah kudengar. Suara adzan subuh menentramkan sejenak fikiranku. Dingin air wudhu yang basuhi wajah, khidmat Qunut mengantarkanku terlelap.
“Bangun, Ky. Bangun, bangun.”
“Hmm.” Aku hanya membalikan badan
“Mau ikut ke Telaga Sarangan nggak?” ajak Warsih
Aku lantas beranjak menuju kamar mandi, bercengkrama dengan dingin air yang kubiarkan menghanyutkan kesedihan yang sejak semalam membanjiri pipi. Yang tersisa hanya mata yang membengkak dan memerah, tapi aku tak ingin merusak suasana ini. Biarlah kusembunyikan sedihku sejena, dan biarlah bersembunyi dibalik celoteh, ceriwis,  dan tingkahku yang konyol agar aku bisa membuat sahabat-sahabatku tersenyum.
Jalan menuju Telaga Sarangan begitu mendaki dan berliku. Di atas puncak, pemandangan terlihat indah dihiasi bukit-bukit yang menghijau, perkebunan strawberry dan persawahan yang terhampar luas.
Langkah kuda begitu kuat, berputar mengitari telaga, ramai para pengunjung, bergantisn turun dan naik keatas punggung kuda yang tak pernah lelah.  Air bergelombang seperti laut di waktu hujan, speed boat melaju kencang di atas permukaan. Di pinggir pagar, tikar-tikar tergelar di sepanjang bibir telaga. Aroma asap sate ayam dan kelinci yang terpanggang, begitu menggugah selera dan mengundang rasa lapar. Kami berhenti di sebuah kedai sate lesehan, sambil memandang telaga yang luasnya melebihi Satu hekto are. Menikmati sate kelinci yang empuk teriring canda riang para sahabat, membuat kesedihanku sempat tersumbat. Hampir setengah hari kami habiskan waktu di sini, sekedar menikmati suasana dan meninggalkan jejak kaki di Magetan.  
Waktu berputar seakan lebih cepat dari biasanya, tak terasa sudah hampir Lima hari berkumpul bersama sahabat-sahabatku, malam ini adalah malam perpisahan bagi kami dan Midha, ada  rindu yang akan kami rasakan selepas perpisahan ini.
di sini aku begitu tenang, telingaku pun terlepas dari obrolan seputar kasus korupsi yang membuatku semakin muak dengan pemimpin kotaku. Di sini begitu damai dan bebas, aku bisa menikmati tertibnya Malioboro, Prambanan, mengenal Bumi Reyog dan merasakan sejuknya Telaga sarangan  
“gimana sama Warsih, Ky?” Tanya Midha
“Aku gagal, Dha”
“Apa alasannya?”
“Entahlah, dia bilang sih, mau nenangin fikiran dulu!”
“Yang sabar ya, Ky!” Midha mengacak-ngacak rambutku.
“Iya, Dha. Terima kasih atas semuanya”
“Eh, besok ikut pulang ke Lampung aja. Biar bisa ngobrol banyak sama Warsih”
“Sebenarnya, aku pingin pulang ke Serang, Dha”
“Pokoknya, kamu harus ke Lampung, Ky”
 “Yo wis, sekarang aku mau tidur dulu, Dha.”
Hari-hari yang kulalui bersama sahabat-sahabat membuatku mengerti akan arti persahabatan, saling berbagi dalam suka ataupun duka, dalam pandangan ataupun udara. Perpisahan ini membuatku semakin tak kuasa menanggung rindu pada pertemuan. Suatu saat nanti, jika kami masih diberi kesempatan untuk bertemu, meski di tempat dan waktu yang berbeda, kami harap semua tak berubah. Biarlah Jogja menjadi saksi bisu persahabatan kami.
Lambaian tangan Midha saat melepaskan kepergian kami, membuat kami menitikan air mata. Di dalam bus aku duduk berdampingan dengan Warsih, sementara Very duduk di kursi depan. Aku sungguh bahagia bisa duduk bersebelahan dengan Warsih, fikiranku melayang jauh, sesekali aku tersenyum simpu sendiri, aku sedang berhayal duduk di pelaminan bersama Warsih.
Perjalanan masih cukup jauh, aku tak kuasa merasakan dingin AC yang membuat tubuhku terasa menggigil. Hanya sejengkal jarak kami duduk, entah kenapa aku tak bisa banyak bicara saat bersama Warsih, bahkan aku  berubah menjadi sosok yang  pendiam.  Mungkin karena rasa cintaku yang tak terbalas, atau rasa marah dan tak percaya dengan apa yang pernah kudengar di alun-alun Ponorogo  kemarin. Warsih memang gadis yang paling spesial di hatiku, menjadi inspirasi dalam menulis dan berpuisi dan puisiku adalah puisi cinta tentangnya.
Aku tak terbiasa dengan pendingin ruangan, kali ini aku sungguh beruntung, meskipun tak mengenakan jaket tebal, sudah tersedia selimut di dalam bus. Cahaya penerangan di dalam bus begitu redup, para penumpang tak lagi bersuara, yang terdengar hanya deru mesin yang barcampur dengkuran penumpang. Mataku kadang tertutup kadang terbuka, antara tidur dan tidak. Sesekali aku menoleh ke arah kiri, melihat Warsih yang nampak begitu lelah, matanya pun sama denganku antara tidur dan tidak.
Selimut yang kukenakan sedikit basah oleh keringat dingin yang keluar dari tubuhku yang bersuhu panas. Mungkin efek telat makan atau memang kondisiku kurang vit. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba saja tubuhku terasa menggigil, aku tak kuasa menahan dingin dan memaksaku untuk menggenggam jemari Warsih yang lentik dan mulus, perlahan genggaman itu sedikit menghangatkan tubuh dan jiwaku.Kami berpandangan dan bertukar senyum, berbincang seadanya tanpa mejurus kemana-mana. Aku terus menggenggam tangannya, perlahan rasa sakit menggedor perasaanku.
“Apakah aku salah, Sih. Jika aki begitu mencintai kamu.” Tanyaku.
Warsih hanya menggelengkan kepala dan menatap mataku penuh arti, aku yang tertunduk balik menatapi wajahnya dalam-dalam. Tatapan itu membuatku semakin tak bisa menahan kecewa yang menyempitkan dadaku, rasa kecewa yang meruntuhkan harapanku itu membuatku tak mampu menahan sedih, air mataku mengalir deras dan tak terhentikan. Genggaman tangan terlepas, jemari Warsih mengusap laju airmata yang kian membuatku larut dalam suasana sedih
“Sudah, Ky. Kita tetap bisa sahabatan kan. Ngertiin aku, Ky!”
Aku semakin tak kuasa mendengarnya aku semakin terjatuh dalam kecewa. Aku menjadi bodoh di hadapannya, aku bagai lelaki pengemis cinta yang menganggap wanita di dunia ini hanya satu. Tapi aku tak peduli, cintaku pada Warsih membuatku merasa asing dengan diriku sendiri, aku tak bisa mengendalikan emosi yang kian menginjak ke lelakianku.
“Aku masih ingin menata hati, Ky. Nggak mudah ngelupain kenangan, dan kamu tahu semuanya tentang itu. Kamu berdoa saja, semoga Allah membukakan hatiku untukmu, nanti.”
Aku terus larut dan kesedihanku semakin menjadi-jadi, sejak di dalam bus, di atas kapal sampai akhirnya kami berpisah di Gedong Tataan.
Malam yang sepi, aku berpisah dengan orang yang sangat aku cintai. Bus yang aku tunggangi hanya sampai Pringsewu saja, tak ada kendaraan umum yang bisa menghantarkan aku ke Talang Padang, setelah cukup lama menanti akhirnya ada sebuah mobil pengangkut ikan yang berhenti di lampu merah, setelah aku meminta tolong dan supirpun memberi tumpangan. Aku berdiri di belakang bak terbuka, dingin malam yang bercampur bau amis menambah lengkap penderitaan ini.
Selepas menikmati perjalanan yang begitu melelahkan, aku pun telah sampai di kampung halaman dan kembali bertemu dengan ibuku. Ibuku sempat kaget karena aku datang tanpa ada pemberitahuan seperti biasanya, namun naluri seorang ibu memang tak bisa di pungkiri.
“Kamu sakit apa?” sambil mengaduk-aduk kopi panas, ibu langsung menembak aku dengan pertanyaan yang membuatku tersentak dan bingung harus dari mana menjelaskannya.
“Aku galau, Bu.!” Aku menangis dalam pelukan ibu. Dalam isak tangis aku begitu lancar menceritakan apa yang telah terjadi pada diriku tanpa ada yang terlewatkan, tersembunyi atau aku rahasiakan. Ibu terus membelai rambutku dan membiarkan kerudungnya basah oleh airmataku.
“Ya sudah, Ky. Kamu juga harus tahu diri dan harus memposisikan dirimu”
“Setiap orang pasti inginkan yang terbaik untuk dirinya, mungkin kamu bukan yang terbaik seperti yang dia inginkan, kamu berdoa saja dan kudu ngerumongsoni.” Nasihat ibu.
Airmataku perlahan terhenti seketika, dan nasihat ibu membuatku semakin mengerti dengan keadaanku dan aku tak bisa memaksakan cinta, karena aku sadar dengan siapa diriku dengan segudang kekurangan yang masih belum bisa ku penuhi. Mungkin cintaku hanya sebatas mencinta, atau cintaku salah waktu dan tempat. Dan kubiarkan cinta ini terus meracuni fikiranku, meski langkahku pendek dalam mengejar cinta Warsih, aku tetap bertahan dan berharap tuhan akan menunjukan jodohku dan  kuharap jodohku adalah Warsih.
“kalau kamu bukan anak raja, dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis –AL-Ghojali” satu kalimat yang dituliskan pada sebuah buku yang diberikan Warsih padaku sebagai kenang-kenangan. Biarlah aku menjadi penulis, menjadi tuhan dalam tiap tokoh yang kutulis, meski aku tak bisa menuliskan takdirku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar