Kamis, 23 Januari 2014

Kisam, bahtera cinta dan rokok

            Langit menghitam, sembunyikan  purnama yang seharusnya sempurna. Malam nampak begitu  larut meski jarum jam baru menunjuk ke angka Delapan. Hanya beberapa pengunjung saja yang singgah di alun-alun kota, tak seperti biasanya memang. Aku dan Kisam duduk  di emperan trotoar jalan,  tengah asik menikmati hangatnya nasi goreng.
            “Aku benci hujan.” Ucapnya sambil membuang secuil telur dadar yang terselip di selah-selah gigi yang rata.
            “Kenapa?” aku mendadak tersentak.
            Entah apa yang ada dalam hati Kisam, matanya berubah memerah dan menatap tajam ke arahku. Seakan ada sesuatu  yang ingin disampaikannya, tapi tertahan di dalam rongga mulut. Aku terdiam dan mencoba menerka isyarat yang ia sampaikan lewat mata. Dalam diam aku menemukan banyak kemungkinan yang terjadi, tapi aku tak berani memasuki ruang pribadi yang masih ia tutupi.
            “Ini tentang Bahtera Cinta.” Lirihnya sambil memainkan ujung sendok.
            “Apa maksudmu, Kis?”
            Piring kotor telah bertumpuk di hadapan kami, rasa lapar pun telah terusir jauh.  Wajah itu tetap tertunduk, fikirannya melayang entah kemana. Aku masih bingung dengan sepenggal kalimat yang membuatku terjebak dalam simbol, dan terus diburu rasa penasaran. Dalam kebisuan, kucabut batangan Gudang Garam yang masih terisi penuh. Kubakar lalu kuhisap dengan penuh perasaan nikmat , membuatku semakin merasakan betapa indahnya hidup.
            “Apa yang kau temui dari tiap hisapan penghangus paru-paru itu?”
            “Kenikmatan!”
            “Lalu??”
            Aku mulai berreaksi ketika menatap matanya yang  menyala. Emosiku tersulut percikan kata yang membuatku terusik dalam kenikmatan. Hingga akhirnya mengerucut pada pertengkaran.
            “Hujan itu tentang bapak”
            “Kenapa dengan bapak?”
            “Bapak seorang pecandu, sepertimu!”
            “Apa peduliku”
            “Kamu egois, Bang!”
            “Apa urusanmu”
           
Kisam  bergeming dalam tatapan yang kosong,  perubahan  ekspresi wajahnya memaksaku meredam api kemarahan. Aku memandang gadis mungil yang berada di depanku tanpa berkedip, di sana aku mendapati sesuatu yang berbeda. Tiba-tiba saja aku teringat adik wanitaku yang begitu kucintai. Aku teringat Syifa, yang selalu membenciku karena kebiasaanku yang tak pernah lepas dari gulunngan tembakau.
“Maafkan aku, Kis.”
Kisam tak menyahuti ucapanku, hanya senyum tipis yang ia suguhkan. Aku mulai menemukan senyum yang sejak tadi tak kudapati dari teman yang belum lama aku kenal ini. Senyum itu membuat ketegangan mencair, bagai mentega yang terpanggang  di atas  pijar bara . Walau tak menjawab, aku yakin ia memaafkan keegoisaanku.
            “Cinta selalu punya kisahnya sendiri untuk diingat sejarahnya, begitu juga lagu bahtera cinta itu, Bang.”
            “Itu cerita cintamu?”
            “Bukan, Bang. Itu cerita bapak dan ibu”
            “Maafkan aku, yang telah membangunkan kenanganmu, Kis.”
            “Abang tahu rasanya kehilangan?”
            “Aku tahu, aku pernah  kehilangan mimpiku, Kis”
            Aku tak lagi memperdulikan langit yang telah memberi kabar pada gemuruh. Aku semakin dalam memasuki kehidupan Kisam yang mulai sedikit terbuka.
 “Dari cerita ibu, lagu inilah yang mengawali kisah pertemuannya dengan bapak, hingga menghantar mereka ke pelaminan.“
“Lalu apa yang terjadi, Kis?”
“Tapi sayang, Bang.  Ikatan itu tak kuat menerjang badai di lautan. Sehingga ketika berlayar di tengahnya iapun tenggelam.”
“Apa yang kau lakukan, untuk menyelamatkan mereka”
 “Sudah terlambat, Bang,  Di saat bapak bisa kembali kedaratan mencari cintanya yang hilang. Ibu telah menyelam selamanya.  Aku hanya memeluk  kenangan itu dengan rasa kesakitan dan kesunyian yang paling dingin.”
Aku terhanyut dalam cerita yang membuatku tak bisa menghentikan laju airmata. Aku tak pernah menyangka, dibalik senyum ia sembunyikan kenangan yang begitu dalam.
“Bapak frustasi dan terus menghukum diri dengan lintingan penghangus paru-paru, meski batuknya semakin parah  ia tetap tak mau menjauhi”
 “Setelah ibu meninggal, bapak hidup sendiri dalam keegoisan.” lanjutnya
Dalam hitungan waktu, keangkuhanku padam bagai gunung api yang tersiram hujan yang begitu deras. Cerita  itu langsung membuatku malu untuk bertanya lagi. Rasa pedih  yang  menjurang, kurasakan hingga lubuk hati yang paling dalam. Sesungguhnya aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, kenangannya membuatku merasa tersudut dalam dua pilihan yang tak seimbang. Terus menikmati asap tembakau, atau menikmati hidup sehat!
“Tak secepat  itu, Kis”
“Lakukan perlahan.”

-bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar