Langit masih menangis bersama
rintik-rintik hujan yang turun sejak kemarin. Orang-orang yang dulu menertawai,
berbalik mengasihani dan bersuka rela mencari keberadaan ibu. Rumahku yang
berdinding bilik bambu dan berlantai tanah merah, untuk pertama kalinya di singgahi
orang-orang terhormat seperti Pak Camat, pemerintah desa, juga kepolisian.
Sejak selepas Ashar kemarin sampai
hari ini, sudah hampir Dua Puluh Empat jam ibu tidak ditemukan, kabar yang
tersiar seputar penemuan ibu masih sebatas ‘katanya’ yang tiada kejelasan. Tak
ada yang bisa kulakukan selain berdoa pada Tuhan, agar ibu segera diketemukan.
Di sudut dapur
ayah masih tertunduk lesu, sejak semalam ia tak tidur. Sebagai seorang
pemimpin yang selalu tabah menahan semua cobaan, ayah berusaha menahan air
mata. Sekuat dan setabah apapun ia menahan, akhirnya benteng pertahanan itu
runtuh juga.
Aku dan Kak Is, telah berada dalam
pelukan ayah. Aku hanya bocah yang berusia kurang dari Tujuh Belas tahun,
sementara Kak Is sudah hampir menginjak Dua Puluh Lima. Dalam usia yang sudah
terhitung dewasa, tak seharusnya Kak Is bersikap seperti itu pada ibu. Aku coba
bersabar seperti ayah, tapi kesabaranku tak bisa di kendalikan. Sesaat kutatap
wajah Kak Is dengan tatapan sinis.
"Ini semua sudah takdir Tuhan,
Jul" dengan nada keras Kak Is membentakku.
"Tapi, ini kan yang kakak inginkan?"
Aku selalu mengalah, ketika Kak Is mengajakku berdebat
tentang ibu. Entah setan apa yang merasuki kakakku, sehingga dia membenci ibu
sebegitu dalamnya. Apakah karena kini ibu tak waras lagi? atau memang dia malu
untuk mengakui ibu? sesal, kata itu yang selalu keluar dari mulut Kak Is karena telah lahir
dari rahim Mak Ariah, ibu kandung kami.
Terkadang aku
malu untuk memanggilnya kakak, tapi aku harus menerima kenyataan, kalau dia
memang kakakku. Ayah pernah bercerita tentang perubahan sifat dan sikap Kak Is
yang berubah total. Terhitung semenjak ibu mengalami gangguan jiwa setelah
melahirkanku. sejak itu, ayah kehilangan anak wanitanya yang solehah dan
penurut. berganti manjadi Iis yang begitu angkuh dan durhaka pada orang tuanya.
“Kamu
keterlaluan, Kak.!”
“Mati, jalan
terbaik buat ibu, Jul”
Ibu telah pergi
dalam usia Lima Puluh Lima tahun. Meninggalkan aku, Kak Is dan ayah. Ada
kesedihan di mata kami, kecuali Kak Is. Orang yang selama ini begitu kami
cintai tak lagi bernyawa. Sejak arus sungai menenggelamkan ibu, menggiringnya
jauh menuju tempat yang tak seharusnya
bahkan hingga kini masih tak diketahui keberadaannya. Ayah hanya memilih diam
dengan isyarat deraian air mata. Aku tahu, dalam hatinya menyimpain sebuah
ungkapan perasaan yang dalam, menyempitkan rongga dadanya.
“Ini salahmu,
Jul.”
“Kenapa kakak
menyalahkanku?”
“Kalau saja
kamu mengizinkan kakak membawa ibu ke Rumah Sakit Jiwa, takkan terjadi musibah
ini”
“Kamu jahat
Kak, hanya karena kakak mau menikah dengan orang kaya, rela memenjarakan ibu ke
Rumah Sakit”
Mendengar
perseteruan kami, air mata ayah semakin deras mengalir. Ayah enggan berpihak
padaku atau Kak Is, menurut ayah ini sudah biasa terjadi diantara kami yang
berwatak keras dan selalu ingin menang sendiri. Terkadang ayah hanya mengelus
dada dan menggelengkan kepala, sambil memuji nama Tuhan. Ayah pun berlalu
menyambangi para tamu yang memadati rumah kami.
“Kak Is tak
punya hati”
“Apa maksudmu?”
“Ibu tak
sepenuhnya gila, Kak.”
“lalu apa? ini
semua jalan yang terbaik untuk ibu, Jul”
Aku semakin tak kuasa menahan lonjakkan emosi, darahku seakan
berkumpul menjadi satu kesatuan di ubun-ubun. Ingin sekali kulayangkan tinju
pada wajah ketusnya, tapi aku akan selalu mengingat pesan ibu, untuk tidak main
kasar dengan wanita. Meskipun orang-orang menganggap ibu tak waras, ia tetaplah
ibuku yang harus kuhormati, kujaga dan kulindungi. Aku tak bisa mengampuni
diriku sendiri, harusnya aku bisa menjaga ibu dengan baik. Andai saja kemarin
aku tak tidur, ibu takkan hanyut. Ini salahku, harusnya aku mengantarnya buang
air ke sungai.
“Kenapa kamu diam, Jul?”
“Kakak keterlaluan.”
Sirine ambulan meraung-raung di pelataran rumah, aku beranjak dari
dapur untuk melihat apa yang terjadi. Diantara kerumunan aku menerobos menuju
titik suara. Dari dalam ambulan, sebujur
mayat kaku yang telah membengkak di tandu keluar, mayat yang sudah membengkak
itu sudah dipastikan kalau dia ibuku, aku tak bisa menahan kesedihan ketika
melihat wajahnya penuh dengan bekas luka, hingga aku terjatuh dan tak sadarkan diri.
Ketika aku membuka mata
secara perlahan, suasana rumah sudah hampir sepi. Hanya suara ayah yang terdengar
sendu membaca ayat-ayat suci Al-quran.
“Kamu sudah siuman, Jul” suara Kak Is mengagetkanku.
“Ibu mana ibu?”
“Ibu sudah di makamkan, Jul”
Untuk pertama kalinya Kak Is memelukku, orang yang selama ini
kuanggap tak punya air mata, justru membanjiri keningku seperti air hujan yang
jatuh dari lubang-lubang atap rumahku.
“Maafin kakak, atas segala kesalahan dan kesombongan ini.”
“Ya sudah, Kak! Dalam hal ini aku juga bersalah”
Aku berusaha beranjak dari tempat tidur yang hanya di lapisi kasur
usang dan tak layak pakai. Kepalaku terasa berat sekali bagai mengangkat beban
puluhan Ton. Kak Is mencoba merangkul dan membangunkanku, tapi masih saja tak
bisa menggeserku dari tempat tidur.
“Juli kangen ibu, Kak!”
“Kamu yang sabar ya!”
Sebagai lelaki, kenapa
diriku menjadi lemah seperti ini. Hingga tak bisa mengikuti proses pemakaman
ibu, tak bisa melihat wajahnya untuk yang terakhir kali. Bahkan aku tak sempat
meminta maaf.
“Kak Is, batal nikah sama Kang Andi”
“Kenapa, Kak?”
“Kang Andi kecewa sama Kak Is.”
“Bukankah, Kang Andi sudah tahu kalau kita dari keluarga miskin”
“Bukan itu masalahnya, Jul.”
“Lalu, apa?”
Kak Is hanya terdiam, bibirnya bergetar seperti akan menyampaikan
sesuatu tapi tersangkut di ujung lidahnya. Mungkin kata penyeselan yang akan
keluar, tapi entahlah. Aku merasa bingung dengan kondisi seperti ini, kata apa lagi yang harus aku ucapkan pada
kakak. Sudah sering aku menasehati dan mengingatkannya, karena terlalu sering pula dia menyakiti ibu, hal terparah
yang dilakukan Kak Is adalah ketika Kang Andi datang melamar. Waktu itu Kak Is
menyekap ibu dalam kamar, menutup mulutnya dengan kain, tangan dan kakinya di
ikat. Bahkan Kak Is menceritakan bahwa ibu sudah meninggal waktu itu.
Malam semakin larut, suara ayah tak terdengar lagi. Hanya isak
tangis Kak Is yang menghias kamar ini. Perlahan langkah suara ayah datang
menghampiri, menatap kami yang sedang beradu sedih. Ayah mengucap syukur atas
apa yang di saksikannya, karena aku dan Kak Is telah berdamai. Setengah
terpejam aku berdo’a, semoga ibu masuk surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar