Jumat, 14 Februari 2014

gara-gara Kak Is



Langit masih menangis bersama rintik-rintik hujan yang turun sejak kemarin. Orang-orang yang dulu menertawai, berbalik mengasihani dan bersuka rela mencari keberadaan ibu. Rumahku yang berdinding bilik bambu dan berlantai tanah merah, untuk pertama kalinya di singgahi orang-orang terhormat seperti Pak Camat, pemerintah desa, juga kepolisian.
Sejak selepas Ashar kemarin sampai hari ini, sudah hampir Dua Puluh Empat jam ibu tidak ditemukan, kabar yang tersiar seputar penemuan ibu masih sebatas ‘katanya’ yang tiada kejelasan. Tak ada yang bisa kulakukan selain berdoa pada Tuhan, agar ibu segera diketemukan.
 Di sudut dapur  ayah masih tertunduk lesu, sejak semalam ia tak tidur. Sebagai seorang pemimpin yang selalu tabah menahan semua cobaan, ayah berusaha menahan air mata. Sekuat dan setabah apapun ia menahan, akhirnya benteng pertahanan itu runtuh juga.

Aku dan Kak Is, telah berada dalam pelukan ayah. Aku hanya bocah yang berusia kurang dari Tujuh Belas tahun, sementara Kak Is sudah hampir menginjak Dua Puluh Lima. Dalam usia yang sudah terhitung dewasa, tak seharusnya Kak Is bersikap seperti itu pada ibu. Aku coba bersabar seperti ayah, tapi kesabaranku tak bisa di kendalikan. Sesaat kutatap wajah Kak Is dengan tatapan sinis.
"Ini semua sudah takdir Tuhan, Jul" dengan nada keras Kak Is membentakku.

"Tapi, ini kan yang kakak inginkan?"
            Aku selalu mengalah, ketika Kak Is mengajakku berdebat tentang ibu. Entah setan apa yang merasuki kakakku, sehingga dia membenci ibu sebegitu dalamnya. Apakah karena kini ibu tak waras lagi? atau memang dia malu untuk mengakui ibu? sesal, kata itu yang selalu keluar dari mulut Kak Is karena telah lahir dari rahim Mak Ariah, ibu kandung kami.

Terkadang aku malu untuk memanggilnya kakak, tapi aku harus menerima kenyataan, kalau dia memang kakakku. Ayah pernah bercerita tentang perubahan sifat dan sikap Kak Is yang berubah total. Terhitung semenjak ibu mengalami gangguan jiwa setelah melahirkanku. sejak itu, ayah kehilangan anak wanitanya yang solehah dan penurut. berganti manjadi Iis yang begitu angkuh dan durhaka pada orang tuanya.
“Kamu keterlaluan, Kak.!”
“Mati, jalan terbaik buat ibu, Jul”

Ibu telah pergi dalam usia Lima Puluh Lima tahun. Meninggalkan aku, Kak Is dan ayah. Ada kesedihan di mata kami, kecuali Kak Is. Orang yang selama ini begitu kami cintai tak lagi bernyawa. Sejak arus sungai menenggelamkan ibu, menggiringnya jauh menuju tempat yang  tak seharusnya bahkan hingga kini masih tak diketahui keberadaannya. Ayah hanya memilih diam dengan isyarat deraian air mata. Aku tahu, dalam hatinya menyimpain sebuah ungkapan perasaan yang dalam, menyempitkan rongga dadanya.
“Ini salahmu, Jul.”
“Kenapa kakak menyalahkanku?”
“Kalau saja kamu mengizinkan kakak membawa ibu ke Rumah Sakit Jiwa, takkan terjadi musibah ini”
“Kamu jahat Kak, hanya karena kakak mau menikah dengan orang kaya, rela memenjarakan ibu ke Rumah Sakit”
    Mendengar perseteruan kami, air mata ayah semakin deras mengalir. Ayah enggan berpihak padaku atau Kak Is, menurut ayah ini sudah biasa terjadi diantara kami yang berwatak keras dan selalu ingin menang sendiri. Terkadang ayah hanya mengelus dada dan menggelengkan kepala, sambil memuji nama Tuhan. Ayah pun berlalu menyambangi para tamu yang memadati rumah kami.
“Kak Is tak punya hati”
“Apa maksudmu?”
“Ibu tak sepenuhnya gila, Kak.”
“lalu apa? ini semua jalan yang terbaik untuk ibu, Jul”
Aku semakin tak kuasa menahan lonjakkan emosi, darahku seakan berkumpul menjadi satu kesatuan di ubun-ubun. Ingin sekali kulayangkan tinju pada wajah ketusnya, tapi aku akan selalu mengingat pesan ibu, untuk tidak main kasar dengan wanita. Meskipun orang-orang menganggap ibu tak waras, ia tetaplah ibuku yang harus kuhormati, kujaga dan kulindungi. Aku tak bisa mengampuni diriku sendiri, harusnya aku bisa menjaga ibu dengan baik. Andai saja kemarin aku tak tidur, ibu takkan hanyut. Ini salahku, harusnya aku mengantarnya buang air ke sungai.
“Kenapa kamu diam, Jul?”
“Kakak keterlaluan.”


Sirine ambulan meraung-raung di pelataran rumah, aku beranjak dari dapur untuk melihat apa yang terjadi. Diantara kerumunan aku menerobos menuju titik suara. Dari  dalam ambulan, sebujur mayat kaku yang telah membengkak di tandu keluar, mayat yang sudah membengkak itu sudah dipastikan kalau dia ibuku, aku tak bisa menahan kesedihan ketika melihat wajahnya penuh dengan bekas luka,  hingga aku terjatuh dan tak sadarkan diri.
 Ketika aku membuka mata secara perlahan, suasana rumah sudah hampir sepi. Hanya suara ayah yang terdengar sendu membaca ayat-ayat suci Al-quran.
“Kamu sudah siuman, Jul” suara Kak Is mengagetkanku.
“Ibu mana ibu?”
“Ibu sudah di makamkan, Jul”
Untuk pertama kalinya Kak Is memelukku, orang yang selama ini kuanggap tak punya air mata, justru membanjiri keningku seperti air hujan yang jatuh dari lubang-lubang atap rumahku.
“Maafin kakak, atas segala kesalahan dan kesombongan ini.”
“Ya sudah, Kak! Dalam hal ini aku juga bersalah”
Aku berusaha beranjak dari tempat tidur yang hanya di lapisi kasur usang dan tak layak pakai. Kepalaku terasa berat sekali bagai mengangkat beban puluhan Ton. Kak Is mencoba merangkul dan membangunkanku, tapi masih saja tak bisa menggeserku dari tempat tidur.
“Juli kangen ibu, Kak!”
“Kamu yang sabar ya!”
 Sebagai lelaki, kenapa diriku menjadi lemah seperti ini. Hingga tak bisa mengikuti proses pemakaman ibu, tak bisa melihat wajahnya untuk yang terakhir kali. Bahkan aku tak sempat meminta maaf.
“Kak Is, batal nikah sama Kang Andi”
“Kenapa, Kak?”
“Kang Andi kecewa sama Kak Is.”
“Bukankah, Kang Andi sudah tahu kalau kita dari keluarga miskin”
“Bukan itu masalahnya, Jul.”
“Lalu, apa?”
Kak Is hanya terdiam, bibirnya bergetar seperti akan menyampaikan sesuatu tapi tersangkut di ujung lidahnya. Mungkin kata penyeselan yang akan keluar, tapi entahlah. Aku merasa bingung dengan kondisi seperti ini,  kata apa lagi yang harus aku ucapkan pada kakak. Sudah sering aku menasehati dan mengingatkannya, karena terlalu  sering pula dia menyakiti ibu, hal terparah yang dilakukan Kak Is adalah ketika Kang Andi datang melamar. Waktu itu Kak Is menyekap ibu dalam kamar, menutup mulutnya dengan kain, tangan dan kakinya di ikat. Bahkan Kak Is menceritakan bahwa ibu sudah meninggal waktu itu.
Malam semakin larut, suara ayah tak terdengar lagi. Hanya isak tangis Kak Is yang menghias kamar ini. Perlahan langkah suara ayah datang menghampiri, menatap kami yang sedang beradu sedih. Ayah mengucap syukur atas apa yang di saksikannya, karena aku dan Kak Is telah berdamai. Setengah terpejam aku berdo’a, semoga ibu masuk surga.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar