Jumat, 14 Februari 2014

Sekilas info, Rute Serang-Tanggamus



            Tanah Serang masih basah, hujan yang turun hampir semalam penuh, tak menyurutkan niatku untuk kembali ke tanah kelahiran. Di musim hujan memang kurang tepat untuk berpergian, apalagi menggunakan sepeda motor.
            Selasa (4/2), matahari masih malu untuk pancarkan sinar keperkasaannya. Langit nampak murung dengan warna hitam yang mendominasi wajahnya. Dengan kalimat BISMILLAH,  kumulai perjalanan ini.
            Mio hitam telah kunyalakan. Di punggungku, ransel berwarna coklat telah menempel. Sekira pukul 09:00 WIB, aku berangkat dari Kampung Katulisan, Kecamatan Kasemen, Serang Banten. Jarum penunjuk isi bensin sudah menunjuk pada garis merah hampir ke huruf  E, dengan segera aku meluncur untuk mengisi bahan bakar di POM yang berada diantara lampu merah Lontar-Kepandean. Setelah mengisi penuh, aku langsung tancap gas.
            Jalur Serang-Merak memang tak terlalu lebar, padahal ini adalah jalur utama yang biasa di lewati kendaraan berroda. Dengan santai aku menarik gas, melewati jalan lurus yang di rayapi para pengguna jalan. Kramat Watu, Cilegon dan akhirnya sampai juga di Merak sekitar pukul 10:00 WIB.
            Di pintu masuk pelabuhan, aku membayar sejumlah 39.000 rupiah untuk mendapatkan tiket kapal.  Seorang petugas mengarahkanku untuk menuju dermaga II. Menunggu adalah hal yang sedikit membosankan, bagaimana tidak? Kapal yang akan aku naiki masih dalam proses sandar, dan belum memuntahkan penumpang yang berada didalamnya.  Setelah memakan waktu cukup lama, akhirnya tiba giliranku untuk masuk ke dalam kapal. 
            Pelabuhan Merak-Bakauheni, berjarak lebih kurang 22,5 KM. Terhitung sejak berangkat sampai sandar,  membutuhkan waktu 2 sampai 3 jam. Untuk mnghilangkan rasa jenuh, biasanya aku berjalan-jalan keliling kapal atau berdiri di pinggir pagar untuk memandangi laut dan sekelilingnya. Tapi, langit tak mengizinkan kebiasaanku, dengan hujan yang ia tumpahkan pada permukaan laut.
            Di dalam kapal ferry Duta Banten, aku duduk di ruangan kelas 3, kursi plastik di deretan tengah. Meskipun bukan hari libur, penumpang cukup ramai. Dari sekian banyak orang, tak ada satu pun yang aku kenal. Untuk membuang rasa jenuh, kusapa seorang gadis berkerudung merah yang duduk tepat di samping kananku.
            Khoirul Badriyah namanya, seorang mahasiswi di salah satu Universitas di Jakarta. Meski baru pertama kali bertemu, gadis yang berdomisili di Jabung (Lampung Timur), tampak akrab denganku. Bercerita panjang lebar seputar  perjalanan, pendidikan, dunia anak-anak, dan banyak hal yang kami perbincangkan saat itu. Saking asyiknya bercerita, kami lupa jika saat itu gelombang sedang besar dan banyak penumpang yang mabuk perjalanan. Tak terasa, sudah hampir 3,5 jam kami bercengkrama, kapal sudah hampir bersandar  di Pelabuhan Bakauheni.
            Meski sepeda motor sudah keluar dari mulut kapal, hujan masih tak reda. Tentu saja harus ada keputusan yang  aku pilih, meneruskan perjalanan tanpa jas hujan atau berteduh di pinggir jalan. Setelah menentukan, akhirnya aku terus berjalan menembus rinai hujan. Dingin sudah pasti, tapi ada sensasi berbeda ketika mengendarai motor di tengah derasnya air hujan. Harus jeli melihat air yang menggenangi punggung aspal, karena banyak lubang yang seharusnya dihindari.  Berulang kali aku terjebak dan masuk ke dalamnya, tapi cukup seru dan membuatku menertawai diri sendiri.
            Terhitung sejak turun dari kapal, hingga melewati beberapa kecamatan di kabupaten Lampung Selatan. Penengahan, Kalianda, Sidomulyo, Ketibung dan Tarahan. Dengan kondisi jalan yang sedikit rusak, di tambah dengan curah hujan yang begitu lebat, membuatku tak bebas untuk memutar tali gas. Dalam gigil dan wajah yang seperti di tusuk jarum-jarum  air, aku tetap bersemangat untuk meneruskan perjalanan yang sudah berlangsung sekira 1,5 Jam.
            Sesampainya di daerah Panjang, tepatnya di daerah Pulau Pasir dan Pasir Putih, hujan pun berhenti. Motorku terus melaju, zig-zag diantara mobil-mobil besar, fuso, container, dan Truck. Semburan asap hitam yang keluar dari bibir knalpot sedikit mengaburkan pandanganku, sehingga aku harus lebih hati-hati dan berkonsentrasi.
            Banyak jalan untuk menuju Tanggamus, belok kiri di pertigaan Panjang yang nantinya akan melewati pinggiran kota, pelabuhan peti kemas Panjang -Teluk Betung - Kemiling. Jalur ini terdapat banyak persimpangan dan perempatan yang akan membingungkan karena minimnya penunjuk jalan.
            Alternative ke Dua adalah perempatan Panjang belok kiri, jalur menuju pusat Kota Bandar Lampung. Tanjung Karang - Pasar Bambu Kuning – Kemiling. Di jalur ini juga cukup rumit bagi pendatang baru. Untuk tujuan wisata kota, jalur ini yang lebih mudah, dengan catatan harus banyak bertanya dan celingak-celinguk melihat petunujuk arah.
            Aku memilih jalan lurus, selain jalannya lebar dan dua jalur, juga jarang macet. Akhirnya dengan kecepatan penuh, motorku melaju di jalur yang hampir serupa dengan jalan tol ini. Sedang asyik-asyiknya ngebut di jalanan, dengan terpaksa aku menekan handle rem hingga motor berhenti di barisan Pak Polisi. Dengan salam hormat, seorang aparat berkumis tebal memintaku menunjukan surat-surat kendaraan. Semua lengkap, hanya saja lampu utama tidak kunyalakan. Pak Polisi menilangku dengan pasal 258 denda 250.000 rupiah. Setalah terjadi perdamaian dan tawar menawar harga yang jatuh pada angka 70.000 rupiah. Aku putar gas meneruskan perjalanan dengan hati yang sedikit dongkol. Memang ini salahku, tapi segampang itukah mencari uang? buatku uang segitu bisa buat makan Lima hari, dan mendapatkannya pun butuh waktu Dua hari, dengan keringat bercucuran sampai ke ketiak. Tapi ya sudahlah, ikhlas nggak ikhlas sih! Tapi memang aku yang salah.
            Dingin membuatku menggigil, tangan semakin mengeriput dan butuh istirahat sejenak untuk menghangatkan diri. Tak jauh dari perempatan Kali Balok, aku berhenti di sebuah warung dan langsung memesan kopi. Setelah badan terasa sedikit hangat, aku kembali menyusuri jalan. Di perempatan Way Halim yang sudah memiliki play over, aku belokkan motor ke arah kiri. Terus berjalan melewati rel dan mentok dipertigaan yang serupa huruf T. di sini juga ada dua alternative, belok ke kanan untuk melewati Raja Basa-Pramuka, belok kiri- Kemiling, belok kanan. Atau alternative ke Dua, belok kiri sedikit untuk mencari putaran ke arah kanan, setelah berada di jalur kanan, sekitar 300 meter terdapat Plang di sebelah kiri jalan bertuliskan Sentra Keripik. Jalur ini di sebut Gang Bakti atau Gang P.U. jalan terus hingga bertemu dengan pertigaan yang sama dengan huruf T, lalu motor kubelokkan ke arah kanan.
             Kurang lebih Dua jam lagi untuk sampai ke kampungku, Sinar Banten, Kec. Talangpadang. Di karenakan perjalanan masih lumayan jauh, bensinpun sudah menunjuk garis merah. Di SPBU  Kurungan Nyawa yang berada di samping Rumah Sakit Jiwa, Negri Sakti. Aku mengisi bensin hingga tak ada ruang lagi dalam tangki motorku.
Guntur menggelegar,  hujan kembali turun di sekitar Negeri Sakti, Pesawaran. Sebuah kabupaten baru, pemekeran dari Kab. Tanggamus. Dengan pakaian yang memang sudah basah  kuyup sedari tadi, aku tidak menghiraukan hujan yang turun lebih deras itu. Sambil memutar gas dengan tangan kanan, tangan kiripun tak kalah aktif untuk menyeka air hujan yang mengganggu wajahku. Walaupun menggunakan helm, tapi kubiarkan kacanya terbuka.
Di sebuah Tugu bambu yang menjadi perbatasan dan  simbol kabupaten yang di dominasi oleh penduduk berdarah jawa, menyapaku dengan kata sambutan yang ramah “Selamat Datang di Pringsewu”.  Di sini, hamparan sawah yang luas tersaji dan memanjakan  mata. Dengan konsentrasi penuh aku terus melaju dan melupakan keindahan yang seharusnya bisa kunikmati, dengan jajanan serupa Angkringan, hanya saja duduk melingkar di atas kursi plastik.  Perjalanan kurang dari Satu jam lagi, hanya tinggal melewati Kecamatan  Pagelaran dan Pugung, hingga sampai di kecamatan Talang  Padang sekitar pukul 17:00 Wib.
Setibanya dirumah, aku langsung menuju kamar mandi untuk mengguyur badanku. Setelah mandi dan mengganti baju, hangatnya kopi  hitam yang diracik dengan tangan yang selalu menjanjikan surga di telapak kakinya, membuatku melupakan semua gigil, dan lelah yang kurasa terbayar sudah dengan kerinduanku pada orang tua.
Banyak pelajaran yang bisa kupetik dari sebuah perjalanan, di mana banyak keputusan yang harus di pilih, butuh  persiapan yang matang, tak membiarkan kendala sekecil apapun menghambat atau merugikan, dan yang pasti berjalanalah karena hidup itu sebuah perjalanan.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Sekedar informasi tambahan, untuk anda yang berasal dari pulau jawa, atau daerah Bandar Lampung, dan ingin menuju Wono Sobo,Kota Agung, Gisting, Gunung Alip, Gunung Batu, dan Sumberejo. bisa mengikuti rute perjalanan di atas.
Atau bagi anda yang ingin menuju Pulau Panggung, Batu Tegi, Air Naningan, Lebuay, dan Ulu Belu, rute tetap sama. Setelah menemui pasar Talang Padang, belok kanan dan lurus terus hingga menemui persimpangan Tekad. Untuk anda yang ingin ke Ulu Belu lurus terus, sedangkan tujuan lain belok kanan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar