Petikan Peting Tunggal mengiringi syahdu lagu mati kajong,lagu
sedih yang menceritakan seseorang kehilangan pasangan hidupnya. Lirih suara
terdengar jelas dari bibir kering yang kian
meratapi nasib. Lelaki itu bernama Tarmidzi,
berkulit putih, rambut gondrong tak
terurus dan pakaian compang-camping. Semenjak
isterinya meninggal beberapa tahun lalu, jiwanya terganggu dan
menjadikannya tak waras.
Di antara sendu lagu, suara langkah pejalan kaki makin dekat
terdengar. Tanpa alas, bersentuhan dengan tanah dan beradu dengan daun-daun
kering. Sudah seperti biasanya, wanita tua ini selalu menghampiri kami. Langkahnya
begitu tertatih-tatih dengan lutut kendur dan badan membungkuk tanpa tongkat.
Di bawah rindang dedaunan. Wanita tua itu meluruskan kaki, sambil menikmaati alunan lagu
yang membuatnya kembali ke masa lalu, mengingat-ingat
masa kecil anaknya yang dulu begitu
tegar menjalani kehidupan yang serba kekurangan. Sejak sang suami meninggal
tiga puluh tahun yang lalu, hanya Tarmidzi yang menjadi motifasi dan pemompa
semangatnya untuk menjalani hidup yang hanya sebatang kara. Aku ingat sekali,
saat jenazah suaminya diusung dalam keranda besi, air mata menganak sungai,
membuatnya tak kuat menahan rasa sedih hingga jatuh pingsan. Waktu itu,
Tarmidzi masih terlalu kecil untuk mengartikan kata kehilangan.
“Piska, kenapa kamu tinggalin aku sendiri!” tiba-tiba lagu itu tak terhenti,
dipukulkannya Gitar Tunggal ketubuhku hingga pecah berkeping-keping. Mulutnya
menyeringai lebar, Kepala mendongah, lalu dibentur-benturkan ke batu nisan yang
tertancap di ujung gundukan tanah merah yang tak lagi basah, hingga
berdarah-darah.
Tamong Waroh tak mampu
berbuat apa-apa, berulang kali dia mencoba memeluk tubuh anaknya yang
berlumuran darah. Tapi, Tarmidzi mendorong tubuh rentah itu hingga jatuh tersungkur. Entah mengapa, semenjak ia
melarang Tarmidzi menikah dengan Piska Tujuh tahun yang lalu, Tarmidzi begitu membenci
ibu kandungnya sendiri.
Tanpa restu orang tua, sepasang kekasih itu memutuskan
untuk sebambangan, kawin lari. Karena orang tua Piska pun tak menyetujui
pernikahan mereka. Akhirnya mereka lebih memilih tinggal di hutan dan
bertetangga denganku.
Di sini, mendung masih menggelayuti langit-langit mata si tua
rentah. Sebisa mungkin dia membendung kesedihan. Namun, air matanya mengalir
deras bagai sungai di musim hujan.
“Permisi, Mong.” seorang lelaki muda bertubuh tambun, memakai
kemeja putih dan bercelana abu-abu. Punggungnya menggendong ransel hitam yang
menggelembung. Dia muncul dari jalan setapak di pinggiran hutan. Wanita tua itu
tak menjawab sapa lelaki yang melintas di belakangnya. Isak tangis dan lirih
suara wanita tua terdengar ke telinga. Sedetik kemudian lelaki itu menghampiri.
“Tamong kenapa nangis.?” lelaki
itu bertanya.
“Lihat itu.” telunjuknya
mengarah ke Tarmidzi yang sedang memeluk gundukan tanah.
“Dia, anakku.” sambung wanita tua.
Aku begitu terharu, suara wanita tua itu begitu berat, seakan
dadanya terinjak kaki gajah yang berukuran besar, tangannya tak henti-henti
mengusap wajah dengan ujung kain Tapis yang sudah usang. Sementara, lelaki itu
nampak kebingungan melihat Tamong, Nenek
dalam sebutan suku Lampung. Yang sedang larut dalam tangisan.
“Piskaaaa.. sudah kubilang jangan pergi, tapi kenapa kamu membantah.” Tarmidzi menjerit dan meronta-ronta.
Terkadang suaranya terdengar jelas, terkadang hanya bibirnya yang
bergerak-gerak dan aku tak tahu apa yang dia bicarakan.
“Piska itu siapa Mong?” lelaki
muda bertanya.
“Umpu, cucu. Bukan warga sini?”
wanita tua itu balik bertanya
“Bukan Mong. Aku dari kota, aku sampai kesini hanya sekedar
berjalan mengikuti langkah kaki, aku
kabur dari rumah. Karena baru saja putus dengan pacarku.” jawab lelaki
“Lima tahun lalu, karena
keadaan dan kebutuhan. Piska terpaksa mencari nafkah di luar negri. Meski
suaminya tak mengizinkan, Piska terus memaksa. Namun, nasib baik tak berpihak
padanya. Sebelum keberangkatannya ke negara yang berpenduduk terbanyak di dunia.
Piska sudah terlebih dahulu dirusak kesuciannya di sebuah panampungan calon TKW
di Ibu Kota.” Sambil terbata-bata wanita
tua itu menceritakan.
“Terus?” lelaki itu semakin
penasaran.
“Di negara yang terkenal dengan kehidupan malam dan perjudiannya. Piska
tinggal di rumah majikannya. Suami dari majikannya mengidap Sadomakosis,
kelainan seks. “
“Emang, isteri majikkanya kemana Mong?”
“Ada, mereka tinggal satu atap!”
Sedih sekali, mendengarkan percakapan dua anak manusia ini. Wanita
tua itu menceritakan perjalanan tragis anak dan menantunya. Bibirnya mengatup
sejenak, Sejurus kemudian membuka kembali mulutnya.
“ Majikan wanitanya telah membayar seorang dokter kandungan untuk
mengorek-orek dan merusak rahim Piska, agar Piska tak bisa hamil. Entah dengan
cara dan alat apa, Tamong juga tidak tahu. Mungkin majikan wanitanya sudah
bosan dengan perlakuan sang suami,
sehingga Piska yang di jadikan korban.” hidung tamong menarik cairan yang hendak
keluar.
“Biadab!” lelaki itu mengepalkan tangan, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bahkan, majikkan yang laki-laki, mengajak teman-temannya. dan
bergantian menggauli Piska. ”
“Binatang.!” lelaki itu
mengadu rahang giginya.
“Setelah hampir dua tahun di sana, Piska mengalami Herpes dan Raja
singa, tubuhnya lebam, dan banyak sekali luka bekas cambukan, wajahnya memar
dan penuh luka. Ketika mayatnya di antarkan ke kampung ini, luka-luka itu masih
ada. Semenjak itulah anakku mendadak gila. ”
“Tamong tahu dari siapa?” lelaki itu merangkul wanita tua yang semakin
hanyut dalam kesedihan.
“Diana. Dia tahu persis apa yang terjadi, karena mereka satu
penampungan dan tinggal satu apartemen juga waktu di luar negri. Tapi nasib
Diana beruntung, karena bertemu majikan yang baik. Sekarang Diana sudah punya
rumah bagus di kampung dan kembali lagi ke luar negri.”
Bayanganku semakin samar terlihat, angin menggiring sekumpulan awan,
matahari timbul tenggelam, langit tampak kelabu. Namun, kedua anak manusia itu
masih asik bercerita, sambil bersandar di tubuhku. Aku hanya diam dan
sekali-kali melambai.
“Tamong nggak melapor ke Pemerintah atau KBRI di sana?”
“Tidak, Pu! Kami hanya orang kampung, nggak ngerti dengan masalah seperti ini. Waktu orang-orang berseragam dan berdasi
datang mengantarkan jenazah ke kampung ini, mereka berjanji akan mengurus kasus
Piska sampai tuntas, tapi sampai sekarang nggak ada kabarnya.”
“Lalu,orang tua Piska bagaimana?”
“Orang tua Piska entah kemana, sejak Piska kawin lari dengan
Tarmidzi, Orang tuanya pindah rumah, sampai sekarang tak tahu dimana rimbanya.
Mereka malu, karena anaknya sudah memilih Tarmidzi, seorang yatim yang miskin.
Sedangkan mereka adalah pengusaha Emas.”
Entah
apa yang ada di fikiran lelaki itu, matanya mengerjap-ngerjap, sepeti ada yang dia temukan dalam percakapan
itu.
“Aku fikir, di dunia ini hanya aku yang merasakan sakitnya
kehilangan.” lelaki itu menangis
tersedu-sedu.
“Ya sudah, Pu. Setiap manusia pasti punya cobaan masing-masing.
dibalik apa yang sudah terjadi, Tuhan punya rencana lain. Ada rahasia diantara
rahasia yang belum kita ketahui, jangan karena cobaan yang datang menghunjam.
Kita membelakangi Tuhan dan mengeluh akan takdirnya.” Suara wanita tua itu menghentikan tangis
lelaki yang masih beradu peluk dengannya.
“Pergiii.! “ Tarmidzi menuding kearah lelaki itu, sepertinya dia
merasa terganggu dengan kehadiran lelaki yang tak dikenalnya, dengan langkah
gontai Tamidzi coba menyatroni.
“Pergi, Pu..” wanita tua itu mengusir, secepat kilat lelaki itu pun
berlari.
Tarmidzi
berusaha mengejar, tapi tak mampu begeser jauh, hanya beberapa langkah saja
tubuh ringkih itu langsung tergelatak. Darah di kepalanya terus mengalir. Sang
ibu mendekat, tangan keriput itu begitu sibuk
membersihkan ceceran darah yang terus bercucuran, dan membungkus luka dengan
kain Tapis usang miliknya.
Langit semakin gelap,
awan-awan berkumpul menjadi satu kesatuan, hitam dan besar. Hingga matahari pun
tak mampu menampakkan wajahnya. Siang berubah menjadi seperti malam yang gelap gulita, Angin berhembus
kencang. Aku terombang-ambing, tanpa arah dan irama. Aku semakin tak kuasa menahan terpaan yang menyerangku tanpa jedah. aku menjerit
bersama cabang-cabang patah yang mencium
tanah. Lelaki muda berteriak-teriak memberikan tanda. Tapi, kedua anak manusia
ini masih tak bisa membaca isyarat yang aku sampaikan. Aku tak bisa bertahan
dengan tiupan yang maha dahsyat. Maafkan
aku, kedua anak manusia ini tak kuasa menahan berat tubuhku. Hembusan nafasnya
berbisik perlahan dan menghilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar