Selasa, 07 Januari 2014

Mati Kajong


Petikan Peting Tunggal mengiringi syahdu lagu mati kajong,lagu sedih yang menceritakan seseorang kehilangan pasangan hidupnya. Lirih suara terdengar  jelas dari bibir kering yang kian meratapi nasib.  Lelaki itu bernama Tarmidzi, berkulit putih, rambut  gondrong tak terurus dan pakaian compang-camping. Semenjak  isterinya meninggal beberapa tahun lalu, jiwanya terganggu dan menjadikannya tak waras.

Di antara sendu lagu, suara langkah pejalan kaki makin dekat terdengar. Tanpa alas, bersentuhan dengan tanah dan beradu dengan daun-daun kering. Sudah seperti biasanya, wanita tua ini selalu menghampiri kami. Langkahnya begitu tertatih-tatih dengan lutut kendur dan badan membungkuk tanpa tongkat.
Di bawah rindang dedaunan. Wanita tua itu  meluruskan kaki, sambil menikmaati alunan lagu yang membuatnya  kembali ke masa lalu, mengingat-ingat masa kecil anaknya yang dulu  begitu tegar menjalani kehidupan yang serba kekurangan. Sejak sang suami meninggal tiga puluh tahun yang lalu, hanya Tarmidzi yang menjadi motifasi dan pemompa semangatnya untuk menjalani hidup yang hanya sebatang kara. Aku ingat sekali, saat jenazah suaminya diusung dalam keranda besi, air mata menganak sungai, membuatnya tak kuat menahan rasa sedih hingga jatuh pingsan. Waktu itu, Tarmidzi masih terlalu kecil untuk mengartikan kata kehilangan.
“Piska, kenapa kamu tinggalin aku sendiri!”  tiba-tiba lagu itu tak terhenti, dipukulkannya Gitar Tunggal ketubuhku hingga pecah berkeping-keping. Mulutnya menyeringai lebar, Kepala mendongah, lalu dibentur-benturkan ke batu nisan yang tertancap di ujung gundukan tanah merah yang tak lagi basah, hingga berdarah-darah.
 Tamong Waroh tak mampu berbuat apa-apa, berulang kali dia mencoba memeluk tubuh anaknya yang berlumuran darah. Tapi, Tarmidzi mendorong tubuh rentah itu hingga jatuh   tersungkur. Entah mengapa, semenjak ia melarang Tarmidzi menikah dengan Piska Tujuh tahun yang lalu, Tarmidzi begitu membenci ibu kandungnya sendiri.
  Tanpa restu orang tua, sepasang kekasih itu memutuskan untuk sebambangan, kawin lari.  Karena orang tua Piska pun tak menyetujui pernikahan mereka. Akhirnya mereka lebih memilih tinggal di hutan dan bertetangga denganku.
Di sini, mendung masih menggelayuti langit-langit mata si tua rentah. Sebisa mungkin dia membendung kesedihan. Namun, air matanya mengalir deras bagai sungai di musim hujan.
“Permisi, Mong.” seorang lelaki muda bertubuh tambun, memakai kemeja putih dan bercelana abu-abu. Punggungnya menggendong ransel hitam yang menggelembung. Dia muncul dari jalan setapak di pinggiran hutan. Wanita tua itu tak menjawab sapa lelaki yang melintas di belakangnya. Isak tangis dan lirih suara wanita tua terdengar ke telinga. Sedetik kemudian lelaki itu menghampiri.
 “Tamong kenapa nangis.?” lelaki itu bertanya.
“Lihat itu.”  telunjuknya mengarah ke Tarmidzi yang sedang memeluk gundukan tanah.
“Dia, anakku.” sambung wanita tua. 
Aku begitu terharu, suara wanita tua itu begitu berat, seakan dadanya terinjak kaki gajah yang berukuran besar, tangannya tak henti-henti mengusap wajah dengan ujung kain Tapis yang sudah usang. Sementara, lelaki itu nampak kebingungan  melihat Tamong, Nenek dalam sebutan suku Lampung. Yang sedang larut dalam tangisan.
“Piskaaaa.. sudah kubilang jangan pergi, tapi kenapa kamu membantah.”  Tarmidzi menjerit dan meronta-ronta. Terkadang suaranya terdengar jelas, terkadang hanya bibirnya yang bergerak-gerak dan aku tak tahu apa yang dia bicarakan.
“Piska itu siapa Mong?”  lelaki muda bertanya.
“Umpu, cucu. Bukan warga sini?”  wanita tua itu balik bertanya
“Bukan Mong. Aku dari kota, aku sampai kesini hanya sekedar berjalan mengikuti langkah kaki,  aku kabur dari rumah. Karena baru saja putus dengan pacarku.” jawab lelaki  

 “Lima tahun lalu, karena keadaan dan kebutuhan. Piska terpaksa mencari nafkah di luar negri. Meski suaminya tak mengizinkan, Piska terus memaksa. Namun, nasib baik tak berpihak padanya. Sebelum keberangkatannya ke negara yang berpenduduk terbanyak di dunia. Piska sudah terlebih dahulu dirusak kesuciannya di sebuah panampungan calon TKW di Ibu Kota.”  Sambil terbata-bata wanita tua itu menceritakan.
“Terus?”  lelaki itu semakin penasaran.
“Di negara yang terkenal dengan kehidupan malam dan perjudiannya. Piska tinggal di rumah majikannya. Suami dari majikannya mengidap Sadomakosis, kelainan seks. “
“Emang, isteri majikkanya kemana Mong?”
“Ada, mereka tinggal satu atap!”
Sedih sekali, mendengarkan percakapan dua anak manusia ini. Wanita tua itu menceritakan perjalanan tragis anak dan menantunya. Bibirnya mengatup sejenak, Sejurus kemudian membuka kembali mulutnya.
“ Majikan wanitanya telah membayar seorang dokter kandungan untuk mengorek-orek dan merusak rahim Piska, agar Piska tak bisa hamil. Entah dengan cara dan alat apa, Tamong juga tidak tahu. Mungkin majikan wanitanya sudah bosan dengan perlakuan  sang suami, sehingga Piska yang di jadikan korban.”   hidung tamong menarik cairan yang hendak keluar.
 “Biadab!”  lelaki itu mengepalkan tangan, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bahkan, majikkan yang laki-laki, mengajak teman-temannya. dan bergantian menggauli Piska. ”
“Binatang.!”  lelaki itu mengadu rahang giginya.
“Setelah hampir dua tahun di sana, Piska mengalami Herpes dan Raja singa, tubuhnya lebam, dan banyak sekali luka bekas cambukan, wajahnya memar dan penuh luka. Ketika mayatnya di antarkan ke kampung ini, luka-luka itu masih ada. Semenjak itulah anakku mendadak gila. ”
“Tamong tahu dari siapa?” lelaki itu merangkul wanita tua yang semakin hanyut dalam kesedihan.
“Diana. Dia tahu persis apa yang terjadi, karena mereka satu penampungan dan tinggal satu apartemen juga waktu di luar negri. Tapi nasib Diana beruntung, karena bertemu majikan yang baik. Sekarang Diana sudah punya rumah bagus di kampung dan kembali lagi ke luar negri.”
Bayanganku semakin samar terlihat, angin menggiring sekumpulan awan, matahari timbul tenggelam, langit tampak kelabu. Namun, kedua anak manusia itu masih asik bercerita, sambil bersandar di tubuhku. Aku hanya diam dan sekali-kali melambai.
“Tamong nggak melapor ke Pemerintah atau KBRI di sana?”
“Tidak, Pu! Kami hanya orang kampung,  nggak ngerti dengan masalah seperti  ini. Waktu orang-orang berseragam dan berdasi datang mengantarkan jenazah ke kampung ini, mereka berjanji akan mengurus kasus Piska sampai tuntas, tapi sampai sekarang nggak ada kabarnya.”
“Lalu,orang tua Piska bagaimana?”
“Orang tua Piska entah kemana, sejak Piska kawin lari dengan Tarmidzi, Orang tuanya pindah rumah,  sampai sekarang tak tahu dimana rimbanya. Mereka malu, karena anaknya sudah memilih Tarmidzi, seorang yatim yang miskin. Sedangkan mereka adalah pengusaha Emas.”
            Entah apa yang ada di fikiran lelaki itu, matanya mengerjap-ngerjap,  sepeti ada yang dia temukan dalam percakapan itu.
“Aku fikir, di dunia ini hanya aku yang merasakan sakitnya kehilangan.”  lelaki itu menangis tersedu-sedu.
“Ya sudah, Pu. Setiap manusia pasti punya cobaan masing-masing. dibalik apa yang sudah terjadi, Tuhan punya rencana lain. Ada rahasia diantara rahasia yang belum kita ketahui, jangan karena cobaan yang datang menghunjam. Kita membelakangi Tuhan dan mengeluh akan takdirnya.”  Suara wanita tua itu menghentikan tangis lelaki yang masih beradu peluk dengannya.
“Pergiii.! “ Tarmidzi menuding kearah lelaki itu, sepertinya dia merasa terganggu dengan kehadiran lelaki yang tak dikenalnya, dengan langkah gontai Tamidzi coba menyatroni.
“Pergi, Pu..” wanita tua itu mengusir, secepat kilat lelaki itu pun berlari.
            Tarmidzi berusaha mengejar, tapi tak mampu begeser jauh, hanya beberapa langkah saja tubuh ringkih itu langsung tergelatak. Darah di kepalanya terus mengalir. Sang ibu mendekat, tangan keriput itu begitu sibuk  membersihkan ceceran darah yang terus bercucuran, dan membungkus luka dengan kain Tapis usang miliknya.     
 Langit semakin gelap, awan-awan berkumpul menjadi satu kesatuan, hitam dan besar. Hingga matahari pun tak mampu menampakkan wajahnya. Siang berubah menjadi seperti  malam yang gelap gulita, Angin berhembus kencang. Aku terombang-ambing, tanpa arah dan irama. Aku semakin tak kuasa menahan terpaan  yang menyerangku tanpa jedah. aku menjerit bersama cabang-cabang patah  yang mencium tanah. Lelaki muda berteriak-teriak memberikan tanda. Tapi, kedua anak manusia ini masih tak bisa membaca isyarat yang aku sampaikan. Aku tak bisa bertahan dengan tiupan  yang maha dahsyat. Maafkan aku, kedua anak manusia ini tak kuasa menahan berat tubuhku. Hembusan nafasnya berbisik perlahan dan menghilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar