Bahkan aku
tak mendapatinya walau sekedar kabar, kucoba
meraba atas apa yang seharusnya. Dalam diam kutemukan ke egoisan diriku, mungkin
cinta ini salah waktu dan tempat. Saat sendiri kucoba merapal perjalanan satu
demi satu. Tersibak dalam senyum yang memang berbeda, hanya memang sekedar senyum
yang menghias garis bibir.
Terlalu angkuh bagiku untuk menaklukan waktu,
tanpa kusadari aku memang rapuh. Tanpa
alas kucoba melangkah menuju puncak, menapaki kerinduan yang hanya sebatas
merindu. Di sana tetap kujumpai samar, meski lelah nafas menghela. Sebentuk cintaku
yang serupa debu baginya, terkirim angin menjelma batu. Aku semakin tak kuasa
melangkah dalam sunyi yang kian merajai, sepi membuatku terjerumus dalam lembah
Tanya?
“Apakah
ini cinta?” Dalam gumam bathinku berbincang dengan fikiran. Ke egoisanku berkobar
bagai nyala obor yang enggan menghadap tanah, meski sudah kutundukan, tetap saja
mendongah ke angkasa. Aku dan cinta, seperti api dan panas yang tak mungkin
terpisahkan. Tanpa minyak kesabaran yang cukup, aku telah padam dan membakar
sumbu harapanku sendiri. Tak ada nyala, apipun merelakan terpisah dari panas. “Adakah
sama antara cinta dan gelap?”
Hanya jelaga
yang kuberikan, menambah coreng wajah yang membekas hitam. Harus kuakui keterbatasan,
ketiadaan dan keberadaanpun, hanya
cahaya redup yang hampir mati. ”Seberapa jauh aku sanggup menerangi masa
depannya?”. Mimpiku di miskinkan
bintang-bintang sekeliling istana, pancaran lampu Kristal semakin berkilau
dalam terang. Aku mungkin tak pantas, dan memang tak pantas untuk bersanding
dengan mereka yang di singgahi gemerlap dalam istana.
Berulang
kali aku mencoba menapakkan kaki di bumi keikhlasan. Kuucapkan kata cinta yang
aku sendiri tak tahu makna dari kata itu. Justru yang aku dapati hanya
kemelaratan hati, membuatku tak mampu menaklukan waktu. Berulang kali cintaku
tak terbalas waktu dan tak terbilas senyum. Berulang kali pula aku hanyut dalam
kesengsaraan. Isyarat yang sempat kutitipkan
pada hangat jemarimu, hanya sebuah boomerang
yang meruntuhkan bangunan utuh tubuhku sendiri. Aku mulai
tak mengingat apapun, kecuali Ini memang
gila dan kegilaan. Bagamana tidak! Aku seperti
pengemis cinta yang menanti di pintu pagar yang terhalang tinggi tembok
perbedaan.
“Cinta itu
sesuatu yang aneh” aku baru tahu jika jantung memiliki hati. Dan aku rasakan jelas
lembutnya menendang-nendang dada, aku semakin sesak tertawan pada kegelisahan
yang memenggal ke lelakianku. Aku semakin tak utuh dalam sekeping hati yang
kumiliki. Kau buat lidahku menari bersama ceceran darah, yang kujilat bersama dengan
aroma nanah luka yang mengangah. Apakah memang aku pantas? Meletakkan batu di atas bukit memang tak mudah! Perjuangan dan
pengorbananpun terkadang percuma. Dalam samar
aku terjebak dua kemungkinan yang sama. Maju tanpa nafas, atau mundur tersungkur? Ah entahlah.. semua serba
sulit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar