Senin, 20 Januari 2014

Rasa yang entahlah,



                Bahkan aku tak mendapatinya walau sekedar kabar,  kucoba meraba atas apa yang seharusnya. Dalam diam kutemukan ke egoisan diriku, mungkin cinta ini salah waktu dan tempat. Saat sendiri kucoba merapal perjalanan satu demi satu. Tersibak dalam senyum yang memang berbeda, hanya memang sekedar senyum yang menghias garis bibir.

                 Terlalu angkuh bagiku untuk menaklukan waktu, tanpa kusadari aku memang rapuh.  Tanpa alas kucoba melangkah menuju puncak, menapaki kerinduan yang hanya sebatas merindu. Di sana tetap kujumpai samar, meski lelah nafas menghela. Sebentuk cintaku yang serupa debu baginya, terkirim angin menjelma batu. Aku semakin tak kuasa melangkah dalam sunyi yang kian merajai, sepi membuatku terjerumus dalam lembah Tanya?
                “Apakah ini cinta?” Dalam gumam bathinku berbincang dengan fikiran. Ke egoisanku berkobar bagai nyala obor yang enggan menghadap tanah, meski sudah kutundukan, tetap saja mendongah ke angkasa. Aku dan cinta, seperti api dan panas yang tak mungkin terpisahkan. Tanpa minyak kesabaran yang cukup, aku telah padam dan membakar sumbu harapanku sendiri. Tak ada nyala, apipun merelakan terpisah dari panas. “Adakah sama antara cinta dan gelap?”
                Hanya jelaga yang kuberikan, menambah coreng wajah yang membekas hitam. Harus kuakui keterbatasan, ketiadaan dan keberadaanpun,  hanya cahaya redup yang hampir mati. ”Seberapa jauh aku sanggup menerangi masa depannya?”.  Mimpiku di miskinkan bintang-bintang sekeliling istana, pancaran lampu Kristal semakin berkilau dalam terang. Aku mungkin tak pantas, dan memang tak pantas untuk bersanding dengan mereka yang di singgahi gemerlap dalam istana.
                Berulang kali aku mencoba menapakkan kaki di bumi keikhlasan. Kuucapkan kata cinta yang aku sendiri tak tahu makna dari kata itu. Justru yang aku dapati hanya kemelaratan hati, membuatku tak mampu menaklukan waktu. Berulang kali cintaku tak terbalas waktu dan tak terbilas senyum. Berulang kali pula aku hanyut dalam kesengsaraan. Isyarat yang  sempat kutitipkan pada hangat jemarimu, hanya  sebuah boomerang yang meruntuhkan bangunan utuh tubuhku sendiri.   Aku mulai tak mengingat apapun, kecuali  Ini memang gila dan  kegilaan. Bagamana tidak! Aku seperti pengemis cinta yang menanti di pintu pagar yang terhalang tinggi tembok perbedaan.
                “Cinta itu sesuatu yang aneh” aku baru tahu jika jantung memiliki hati. Dan aku rasakan jelas lembutnya menendang-nendang dada, aku semakin sesak tertawan pada kegelisahan yang memenggal ke lelakianku. Aku semakin tak utuh dalam sekeping hati yang kumiliki. Kau buat lidahku menari bersama ceceran darah, yang kujilat bersama dengan aroma nanah luka yang mengangah. Apakah memang aku pantas?  Meletakkan batu di atas  bukit memang tak mudah! Perjuangan dan pengorbananpun terkadang percuma.  Dalam samar aku terjebak dua kemungkinan yang sama. Maju tanpa nafas, atau  mundur tersungkur? Ah entahlah.. semua serba sulit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar