Pandanganku tersamarkan malam yang menghambat ketegaran jiwa, dalam
langkah kian gelisah. Entah kemana kulabuhkan harapan. Pada mata angin yang tak
tentu arah atau hujan yang menghanyutkan sepi. Walau nampak jelas tapi tak
tampak kejelasan. Membingungkan memang.
Dirimu
selalu singgah, dan menyapa dengan senyum
termanismu, sesungguhnya itu semua indah
tapi tak nyata, tak nyata tapi indah. Apakah sama? aku rasa hanya keindahan
fatamorgana, yang berjubal sesak dalam dada. Aku tak kuasa menanggung guncangan
resah yang terus bergejolak dahsyat di kalbu yang selalu menanti. Ambisiku
terpasung dalam lembah-lembah kebisuan, tanpa embun kasih yang menyejukan.
“Ini bodoh.” aku semakin dibodohi
perasaan yang semakin membuatku terjerumus ke dalam kesunyian. Aku terjebak dan
sulit menghindar dari segala yang menjebak. Harus aku akui, terlalu pengecut
diri ini mengakui kekalahan. Terlalu rapuh aku menerima kenyataan. Bahkan aku
semakin dibuai pada penantian yang mungkin berahir hanya pada penantian. Aku
tak berdaya pada keadaan, tanpa mencari benar atau salah.
aku kehilangan diriku, aku
kehilangan waktu, aku kehilangan segalanya, mungkin dirimu termasuk di
dalamnya. Aku semakin tersudut dalam ruang lembab yang membekukan semua fikiran
jernihku. Ketika kusadari, semua itu hanya kedunguan perasaan yang selalu
menunggu sesuatu yang tak pasti, bahkan takkan mungkin terjadi.
Aku memang tak pantas untuk mencintai, apalagi dicintai. Bahkan
untuk sebuah mimpipun aku tak berhak tentangmu. Kau terlalu istimewa bagiku,
terlalu mahal untuk dapat kumiliki. Dan aku terlalu rapuh untuk bisa
sepertimu. Aku terlalu lemah untuk dapat
tersakiti. Entah kenapa aku selalu berpayung pada harapan hampa yang kian semu.
Dalam keterasingan sepi aku akan berlari. Hingga tak kau dapati lagi
lebah tanpa sengat yang membisingkan indera pendengaranmu. Aku akan pergi
sejenak, tinggalkan dunia yang membuatku tak bisa menghentikan kegilaan ini.
Dan kau, tetaplah dalam kebisuanmu.
Malam, telan aku dalam heningmu.
Biarkan aku tersungkur dalam kecewa, izinkan aku . merasakan getirnya kenyataan. Agar aku sadar, aku memang
tak pantas, dan tak pantas sesungguhnya. Sekali lagi, biarkan aku berlari
menuju pulau tak berpenghuni, dalam tapa dan kekosongan, dimana hanya ada aku
dan Tuhan. Agar aku menyaksikan betapa semua ini hanya jeratan kehidupan yang
membuatku menjerit. Untuk kecewa ini, terima kasih. Untuk luka yang tak pernah
terobati akupun berterima kasih. Terima kasih atas semua yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar