Hujan yang sering
ia ceritakan, membuatku basah oleh cipratan rasa penasaran yang mendorongku
untuk merasakan dinginnya. Dalam gigil, aku terperosok bahtera cinta yang ia
suguhkan pada beranda. Aku semakin hanyut
dalam bait-bait, yang membuatku tak bisa menghindar dari derasnya arus kesedihan. Kubiarkan
imajinasiku tenggelam, dalam lautan aksara yang masih kuraba.
Malam ini, bulan
tampak murung bersama kumpulan awan hitam, yang masih mengurungnya dalam gelap. Alun-alun
tampak lengang, hanya beberapa saja yang setia menapakan kaki di pusat kota.
Bersama musisi jalanan cilik yang menari lepas
demi recehan.
Gemericik air
kolam tak terdengar lagi, saat kulangkahkan kaki menuju suatu tempat, di atas
tanah yang ber Alaskan rumput hijau. Di
sana, seorang gadis asal Sumatera telah duduk menantiku. Dari jarak yang
semakin dekat, aku memandangi penuh
tanya. Entah apa yang dilakukannya, tangan mungil itu begitu lincah memainkan
pena, di atas putih buku catatan. Lehernya berputar-putar, mengikuti sorot mata yang begitu jeli, mengamati setiap gerak langkah
orang-orang di sekeliling.
Di sebuah bangku,
segelas kopi berdiri tegak. Pemisah antara aku dan Gadis Kisam, yang selalu
menceritakan tentang hujan. Kekaguman memaksaku untuk bertemu dan ingin belajar
bagaimana cara untuk mengalirkan kata-kata. Hanya perbincangan sederhana, tapi
membuatku sedikit banyak menemukan penawar ketidak tahuan yang ingin kuselami. Dalam
perbincangan yang tak kaku, aku mulai merasakan betapa lepasnya gerakkan bibir
yang selama ini selalu terkunci.
Dalam sepi, aku
tak merasa kesepian. Gadis yang menjadi lawan bicaraku, banyak bercerita banyak
hal dalam dunia kepenulisan. Meskipun begitu, ia masih menganggap dirinya belum
tahu apa-apa. Justru ia ingin belajar dariku yang hanya pendatang baru. Aku
hanya tersenyum tipis tanpa berani menatap matanya. Hanya menundukan kepala dan bermain-main dengan
batangan penghangus paru-paru yang selalu setia menikmati panasnya kopiku.
Di sela-sela
perbincangan. Seorang pengamen cilik datang menghampiri, menyanyikan sebuah lagu yang tak jelas
liriknya. Sambil bertepuk tangan, mengharap uluran tangan. Aku memandanginya
begitu dalam, mataku sempat tersakiti ketika melihat sebatang rokok yang terselip
di telinga kirinya.
Aku seperti
memandang potret masa kecilku, yang tak jauh seperti Ari. Di usianya yang
terbilang masih belum cukup, sudah berkenalan dengan nikotin. Kecanduan akan menghantarkannya menuju sifat malas
untuk belajar, dan menghalalkan banyak
cara untuk mendapatkannya. Selepas Ari menyanyikan sepenggal lagu, aku mengajaknya berbincang-bincang.
Dalam tiap pertanyaan yang kulontarkan. Ari selalu terjebak dan membuatnya tak
berkutik di hadapanku dan Gadis Kisam. Aku tak percaya dengan apa yang di
ucapkannya. Karena dulu, aku pernah
merasakan menjadi seorang Ari yang sudah bersahabat dengan asap. Dan membohongi
orang tua.
Ada sesuatu yang
berbeda ketika kupandangi mata gadis yang hanya berjarak satu jengkal denganku.
Matanya berkaca-kaca dan memerah, aku tahu ia menyimpan kesedihan. Tapi sudahlah,
aku tak suka memasuki kehidupan orang lain. Karena aku pun begitu. Sejenak kuterdiam bersama kepulan asap yang telah berpisah dari cairan kental hita. Aku terus memandangi
sepasang mata itu.., mata itu.., Mata itu
mengingatkanku pada seseorang. Membawaku
kembali pada suatu malam. Bukan di alun-alun kota ini, tapi di Bumi
Reyog. Di sana, ketika aku menjadi patung yang bernyawa.
Ah, entahlah. Kenapa
selalu Warsih yang ada di fikiranku. Aku semakin tak mengerti dengan jalan
fikiranku yang kacau ini. Semua yang kulihat seketika berubah menjadi dirinya. Tanpa
aku sadari, bendungan yang telah kujaga kokoh, mulai guncang. Tetes demi tetes kata merembes dari
bibirk. Kubiarkan kenangan itu perlahan
mengalir ke telinga Gadis Kisam. Aku semakin dibutakan oleh mata yang meruntuhkan
tembok pertahananku. Ketika kusadari,
rasa malu kembali menghampiri. Tapi terlambat bagiku untuk menyesali kisah yang
harusnya tersimpan rapih dalam rahim ingatan.
“Kamu punya banyak
harta terpendam, Bang!”
“Tapi aku belum
bisa menulis, Yeh!”
“Abang bisa,
menulislah dengan hati.”
Kuakui, semua butuh proses. Dan semua yang terjadai adalah
rangkaian yang tak terpisahkan. Untuk mencapai sebuah kebenaran, terkadang
harus melewati berbagai kesalahan. Butuh perjuangan dan keseriusan untuk
bangkit.
Sudah menjadi
kehendak Tuhan aku dipertemukan dengan banyak hal. Termasuk pertemuanku malam ini.
Dan aku bersukur pada-NYA karena telah di
izinkan bertemu dengan Rumah Dunia yang telah membantuku dalam proses
pengembalian kepercayaan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar