Kamis, 16 Januari 2014

Hujan Dimata Gadis Kisam



            Hujan yang sering ia ceritakan, membuatku basah oleh cipratan rasa penasaran yang mendorongku untuk merasakan dinginnya. Dalam gigil, aku terperosok bahtera cinta yang ia suguhkan pada beranda. Aku  semakin hanyut dalam bait-bait, yang membuatku tak bisa menghindar dari  derasnya arus kesedihan. Kubiarkan imajinasiku tenggelam, dalam lautan aksara yang masih kuraba.

            Malam ini, bulan tampak murung bersama kumpulan awan hitam, yang  masih mengurungnya dalam gelap. Alun-alun tampak lengang, hanya beberapa saja yang setia menapakan kaki di pusat kota. Bersama musisi jalanan cilik yang menari lepas  demi recehan.
            Gemericik air kolam tak terdengar lagi, saat kulangkahkan kaki menuju suatu tempat, di atas tanah yang ber Alaskan rumput hijau.  Di sana, seorang gadis asal Sumatera telah duduk menantiku. Dari jarak yang semakin dekat,  aku memandangi penuh tanya. Entah apa yang dilakukannya, tangan mungil itu begitu lincah memainkan pena, di atas putih buku catatan. Lehernya berputar-putar,  mengikuti sorot mata yang  begitu  jeli, mengamati setiap gerak langkah orang-orang di sekeliling.
            Di sebuah bangku, segelas kopi berdiri tegak. Pemisah antara aku dan Gadis Kisam, yang selalu menceritakan tentang hujan. Kekaguman memaksaku untuk bertemu dan ingin belajar bagaimana cara untuk mengalirkan kata-kata. Hanya perbincangan sederhana, tapi membuatku sedikit banyak menemukan penawar ketidak tahuan yang ingin kuselami. Dalam perbincangan yang tak kaku, aku mulai merasakan betapa lepasnya gerakkan bibir yang selama ini selalu terkunci.
            Dalam sepi, aku tak merasa kesepian. Gadis yang menjadi lawan bicaraku, banyak bercerita banyak hal dalam dunia kepenulisan. Meskipun begitu, ia masih menganggap dirinya belum tahu apa-apa. Justru ia ingin belajar dariku yang hanya pendatang baru. Aku hanya tersenyum tipis tanpa berani menatap matanya. Hanya   menundukan kepala dan bermain-main dengan batangan penghangus paru-paru yang selalu setia menikmati panasnya kopiku.
            Di sela-sela perbincangan. Seorang pengamen cilik datang menghampiri,  menyanyikan sebuah lagu yang tak jelas liriknya. Sambil bertepuk tangan, mengharap uluran tangan. Aku memandanginya begitu dalam, mataku sempat tersakiti ketika melihat sebatang rokok yang terselip di telinga kirinya.
            Aku seperti memandang potret masa kecilku, yang tak jauh seperti Ari. Di usianya yang terbilang masih belum cukup, sudah berkenalan dengan nikotin.  Kecanduan akan menghantarkannya menuju sifat malas  untuk belajar, dan menghalalkan banyak cara untuk mendapatkannya. Selepas Ari menyanyikan  sepenggal lagu, aku mengajaknya berbincang-bincang. Dalam tiap pertanyaan yang kulontarkan. Ari selalu terjebak dan membuatnya tak berkutik di hadapanku dan Gadis Kisam. Aku tak percaya dengan apa yang di ucapkannya. Karena  dulu, aku pernah merasakan menjadi seorang Ari yang sudah bersahabat dengan asap. Dan membohongi orang tua.
            Ada sesuatu yang berbeda ketika kupandangi mata gadis yang hanya berjarak satu jengkal denganku. Matanya berkaca-kaca dan memerah, aku tahu ia menyimpan kesedihan. Tapi sudahlah, aku tak suka memasuki kehidupan orang lain. Karena aku pun begitu. Sejenak kuterdiam  bersama kepulan asap yang telah berpisah  dari cairan kental hita. Aku terus memandangi sepasang mata itu.., mata itu..,  Mata itu mengingatkanku pada seseorang. Membawaku  kembali pada suatu malam. Bukan di alun-alun kota ini, tapi di Bumi Reyog. Di sana, ketika aku menjadi patung yang bernyawa.
            Ah, entahlah. Kenapa selalu Warsih yang ada di fikiranku. Aku semakin tak mengerti dengan jalan fikiranku yang kacau ini. Semua yang kulihat seketika berubah menjadi dirinya. Tanpa aku sadari, bendungan yang telah kujaga kokoh, mulai  guncang. Tetes demi tetes kata merembes dari bibirk. Kubiarkan kenangan itu  perlahan mengalir ke telinga Gadis Kisam. Aku semakin dibutakan oleh mata yang meruntuhkan tembok pertahananku.  Ketika kusadari, rasa malu kembali menghampiri. Tapi terlambat bagiku untuk menyesali kisah yang harusnya tersimpan rapih dalam rahim ingatan.
            “Kamu punya banyak harta terpendam, Bang!”
            “Tapi aku belum bisa menulis, Yeh!”
            “Abang bisa, menulislah dengan hati.”
            Kuakui, semua butuh proses. Dan semua yang terjadai adalah rangkaian yang tak terpisahkan. Untuk mencapai sebuah kebenaran, terkadang harus melewati berbagai kesalahan. Butuh perjuangan dan keseriusan untuk bangkit.
            Sudah menjadi kehendak Tuhan aku dipertemukan dengan banyak hal. Termasuk pertemuanku malam ini. Dan aku bersukur  pada-NYA karena telah di izinkan bertemu dengan Rumah Dunia yang telah membantuku dalam proses pengembalian kepercayaan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar