Selasa, 17 Desember 2013

haruskah, aku menangis?


            Sejuta rasa bahagia, memancar dari lubuk hati. Lengkung senyum, terlepas dari bibir yang merindu
kasih sayang. Selamat tinggal Changi, kutitipkan  Merlion dalam rengkuhmu. Izinkan aku pergi, menjemput mimpi yang telah menanti. Kutinggalkan jejak-jejak langkah, diatas bumimu yang panas.
            Garudaku menari dibawah langit, bentangkan sayap menembus awan. Tinggalkan Negara, yang mengurungku dengan jadwal-jadwal, dan rutinitas yang melelahkan. Kini hatiku merdeka, menjemput mimpi dalam sadarku.
            Malam itu. Langit cerah menyambut hangat pendaratanku, di sebuah Bandara. Bandara  yang akan selalu mengingatkanku kepada Sang Proklamator. Sambil tergesa kulangkahkan kaki di jalur terminal  2E, aku menyeret koper hitam dengan penuh semangat, menerobos diantara barisan penumpang yang berdesak-desakan. Tanpa sengaja, seorang lelaki separuh baya telah terjatuh, karna dorongan tubuhku. Betapa cerobohnya aku dalam melangkah. Bahkan, kata maaf pun tak sempat terucap.
            Di parkiran, mataku berkeliling mencari sang pangeran yang telah menanti. Hingga, mataku terhenti pada satu titik. Seorang lelaki bertubuh tinggi, dengan topi hitam dan switer berwarna sama. Akupun bersegera memanggil dengan senyum yang tak bisa ku sembunyikan.
“Rama.. aku disini.”  Tanganku melambai-lambai, dan berteriak di tengah keramaian. Rama yang sedang mondar-mandir di depan sebuah mobil, lantas mengahampiriku. Tubuh kekar dan berisi, memelukku sebegitu dalamnya.  Kerinduan yang telah kupendam selama delapan bulan, akhirnya telah tersalurkan. Sejak kita sepakat menyatukan cinta delapan bulan lalu. Baru kali ini, aku merasakan hangat tubuhnya. 
“Langsung pulang aja Lel, sekalian istirahat.”  Rama mengajakku untuk menginap dirumah tante Wati. Koper hitamku, telah berpindah ke tangan Rama. lalu dimasukanya kedalam bagasi mobil Xenia putih. Akupun masuk kedalam mobil, duduk  di jok kiri depan, berdampingan dengan  calon imamku.
Menikmati perjalanan malam di Kota, adalah sesuatu hal yang menyenangkan. Tak seperti apa yang sering kulihat di televisi, tentang  banjir dan kemacetan yang membuat wajah Kota menjadi sumpek. Saat ini aku tak tahu dimana posisiku berada, karena ini kali pertama aku berada di Kota ini. Namun, setelah aku melihat alamat disetiap plang pertokoan, mungkin aku bisa menyimpulkan, aku sedang berada di sebelah Barat ibu Kota.
 Hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai ke depan pagar rumah yang menjadi tempat peristirahatanku, Di depan rumah tampak sepi, Rama menurunkan koper dari bagasi mobilnya. Bunyi alarm menandakan, bahwa mobil sudah dalam keadaan aman.
 Bentuk rumah, yang begitu indah, lengkap dengan taman yang dipenuhi bunga-bunga. Rama membuka pintu dan mempersilahkanku masuk, hingga mengantarkanku sampai ke kamar tidur. Di dalam kamar yang berada dilantai dua, aku rebahkan badanku pada ranjang empuk yang berada persis di sebelah jendela kaca.  Aku teringat akan rumah majikanku di Bukit Panjang dan Sengkang, yang baru saja kutinggalkan.
            Selepas bangun tidur dan mandi, aku turun menuju ruang makan. Disana seorang wanita separuh baya sudah menungguku. Raut wajah oval, rambutnya yang ikal masih terlihat basah.
“Oh.. ini toh, yang namanya Lela. Calon keponakanku.”  Tante Wati menyapaku, dan mempersilahkan aku duduk. Kita pun saling bertukar senyum.
            Di meja makan, tante Wati banyak bertanya tentang pekerjaanku di Negeri singa, aku pun bercerita dengan terus terang, bahwa aku bekerja sebagai seorang PRT selama 6 tahun, sebenarnya aku masih menyisahkan kontrak kerja. Tapi, karena majikanku begitu baik dan menganggap aku sudah seperti keluarga sendiri.  Jadi, aku diizinkan untuk berhenti.”
            Tante Wati, pemilik salon ternama di daerahnya. Sebelum ke pulanganku ke Kota Tapis Berseri. Dia meriasku, bahkan aku di sulap menjadi wanita yang super cantik. Mungkin cantiknya melebihi Dewi Persik.
“Sekalian foto, buat pre wedding Lel.”  ujar tante Wati, yang memang seorang  photographer juga. Aku hanya terdiam dan mengangguk. Alhamdulillah, aku diterima dengan baik oleh salah satu keluarga Rama, walaupun aku hanya seorang anak petani. Tapi, mereka mau menerimaku apa adanya.

            Siang ini, kita berencana untuk pulang ke Kampung halaman. Aku tak pernah menyangka, teman sekolahku ini akan menjadi suamiku. Padahal, dulu  aku tak berani untuk menyapanya. Wajar saja, karena Rama adalah bintang sekolah, Ketua OSIS. PASKIBRAKA, jago main Basket, Badminton, Dan aktif dalam setiap kegiatan sekolah. Hanya wanita super hebat, yang bisa manjadi pacarnya. Wanita super  itu adalah Sinta, wanita cantik berdarah Palembang, yang dipacarinya selama 11 tahun. Sampai akhirnya mereka putus. Karena, Rama tak sempurna lagi. 
            Rama telah memanaskan motornya. Kita akan pulang Kampung, menggunakan motor merah kesayanganya. Setelah persiapan dirasa cukup. Aku dan Rama segera meluncur. Dengan naluri pembalapnya, Rama bagai raja jalanan di atas aspal hitam bumi Para Jawara. Melewati beberapa kota yang masih terbilang muda. Hingga bunyi rem berderit di pelabuhan Merak.
            Didalam kapal Ferry, kita saling bercerita, dan mengatur persiapan pernikahan, pada bulan Agustus ini. Setelah terjadi kesepakatan keluarga dua minggu yang lalu, ketika keluarga Rama datang melamarku. Tanggal pernikahan telah ditetapkan 17 Agustus 2013. Berarti, hanya  tinggal 12 hari lagi, kita akan resmi menjadi suami-isteri. Kebahagian terindah, yang di harapkan seorang wanita Adalah, ketika seorang lelaki datang melamarnya. Begitu juga aku.
            Pelayaran sudah berlangsung selama 4 jam. Hanya tinggal menunggu waktu untuk sandar. Di pelabuhan Bakauheni, Tugu Siger nampak begitu kokohnya, menjadi lambang kebesaran Sang Bumi Khua Jukhai.
            Lenguhan klakson kapal telah menggema, di iringi riuh penumpang yang berjejal untuk keluar dari kapal, aku dan Rama sudah bersiap dalam antrian. Hingga keluar dari mulut kapal. Perjalanan dari Bakauheni menuju Kampungku, kurang lebih membutuhkan waktu 4 jam. melewati beberapa Kabupaten dan pusat Kota, menyusuri perkebunan karet dan kawasan Bambu  Seribu, hingga sampailah kita di kabupaten Tanggamus, hanya beberapa menit dari Tugu perbatasan, kita akan menjumpai  pasar. Belok kekanan , dan sampailah di Kampung Asrama Harapan.
            Perjalanan yang cukup melelahkan. Namun, aku sungguh bahagia bisa menginjakan  kaki di tanah kelahiranku, berjumpa kembali dengan orang tua dan keluarga. Sudah hampir 6tahun, aku meninggalkan mereka, demi kebutuhan dan cita-cita.
“Kamu kok, tambah kurus ndo.” Ibu memelukku dan menangis haru atas kedatanganku. Semua keluarga yang berkumpul menyambut bahagia dan larut dalam suasana. Malam semakin larut, jarum jam sudah menunjukan pukul 11:12 WIB. Rama berpamitan pulang.
Aku merasa asing dengan keadaan rumahku yang  sekarang. Alhamdulillah, tidak sia-sia perjuanganku. Bisa membantu Bapak untuk merenovasi rumah, menyumbang biaya adik-adikku sekolah, dan aku sendiri bisa menikmati bangku kuliyah, disebuah Universitas Terbuka, semester  6 jurusan Bahasa Inggris di SIS (Singapore Indonesian School).
Aku  sudah memilih untuk meneruskan kuliyahku di Indonesia. selepas menikah, aku tak ingin pergi lagi dari Negaraku, dan hidup bahagia bersama suami dan keluarga tercinta.
 Aku rebahkan diri diatas ranjang, setelah selesai memindahkan pakaian yang sejak kemarin berdesakan di dalam koper, ke lemari pakain yang sudah lama kosong. Mataku menatap ke arah lampu kamar yang sedikit redup. Aku berhayal dalam kesendirian, aku melihat diriku dalam hayalan. Betapa cantiknya diriku dengan Gaun pengantin berwarna putih, yang khusus kubeli dari Lucky Plaza, untuk pernikahanku nanti. Aku dan Rama berdansa diantara tamu undangan yang berdiri melingkar dan bersorak riang, hingga hayalku hantarkan lelap.
Pagi yang indah dalam ruang keluarga, bercanda tawa bersama dan melepas kerinduan. sambil  membicarakan rencana resepsi pernikahan. Sebenarnya, aku hanya ingin pesta yang sederhana, hanya cukup acara wajib saja, dengan dihadiri keluarga dan orang-orang terdekat. Tapi, dari pihak Rama, mereka menginginkan pesta yang megah dan meriah. Aku sebagai keluarga wanita, hanya bisa mengikuti apa kata mereka.
Undangan  pernikahan telah selesai di cetak. Sepasang nama telah terpampang disana, lengkap dengan foto prewedding. Hanya tinggal menunggu waktu, untuk menyebarkannnya.
                                                ***
            Sudah tiga hari aku disini. Sebentar lagi, aku akan menjadi ratu sejagat. Kayu bakar, telah menumpuk di belakang rumah. Kursi, Tenda, Tukang rias, Orgen tunggal dan semua kebutuhan acara telah selesai di booking.
“Ndo.. piye iki, sudah mendekati hari ‘ H ’  kok, belum ada kabar dari keluarga Rama.?”  Dalam perbincangan di ruang makan ibuku bertanya. Ibuku memang sedikit bawel, tidak seperti Bapak, pendiam dan bijaksana,.
“Nggih bu.. nanti Lela hubungi.”
            Awalnya ibuku tak setuju, jika aku menikah dengan  Rama. Aku sendiri tak tahu apa sebabnya, aku pernah bertanya. Tapi, ibu hanya menjawab “ Naluri seorang Ibu.”  Karena   rengekanku, Ibu terpaksa menyetujuinya.
            Sejak kedatanganku, Rama selalu mengajakku jalan-jalan, menikmati bendungan  Batu Tegi dan Pantai Kota Agung yang indah. Entah kenapa, aku merasakan ada keanehan yang terjadi.  Rama hanya mengantar dan menjemputku sampai pagar rumah saja. Setiap kuajak masuk, jawabannya pasti sama “belum resmi.”
            Aku bersyukur sekali, tuhan telah menciptakan Rama untukku, lelaki Super Star ini sungguh membuat hidupku semakin hidup. Padahal, dalam perjalanan cinta kita, kita telah melewati berbagai macam cobaan. Aku ingat, ketika Sinta menghina aku, di status facebook. Aku dicaci maki, dan dihujat. Aku di bilang cewek gatel, pembantu, bule kampung, dan  banyak lagi keburukan yang mereka lontarkan.
Kata-kata yang paling menyakitkan yang pernah kulihat  dalam sebuah percakapan di status FB, ketika Sinta dan gerombolan wanita tukang gunjing  berkata
 “Kalau saja Rama tak cacat, mana mungkin dia mau nerima Lela sebagai pacar, apa lagi menjadikanya isteri.”  Kata-kata itu, sungguh mengiris hatiku. Padahal, mereka semua adalah teman sekelasku  waktu SMA.sebagai orang yang sudah cukup dewasa, Aku tak mau membalas ucapan mereka. Usia kita hampir berkepala tiga, Tapi tetap saja, kelakuan mereka sama persis dengan anak SMP. Ya sudahlah biar tuhan yang membalasnya.
                                                                        ***
            Tak terasa, sudah enam hari aku berada disini. Tidak seperti biasanya, hari ini Rama tak memberi kabar, apa mungkin dia sakit. Aku begitu menghawatirkannya, akupun mencari tahu lewat pesan singkat. Percakapan kita di pesan singkat itu, justru membuatku tersentak.
“Lela, aku minta maaf sebelumnya,  aku sengaja tak memberi kabar. Aku bingung, dan tak tau harus bagaimana menjelaskanya. Saat ini, keluarga kami belum siap, karena ada masalah keuangan.” 
“Mamas serius dong.. keterlaluan banget becandanya!.”
“Aku serius Lel.  kalau boleh, aku minta pernikahannya diundur .”
“Kenapa harus diundur Mas?, Kan kita bisa nikah dulu, pestanya saja yang diundur.”
“Itu permohonan keluargaku Lel. Salam buat keluarga kamu semuanya, sampaikan salam maafku.”
            Aku bingung, harus bagaimana menjelaskanya pada keluarga. Pesan singkat itu membuat jantungku berdetak tanpa aturan, Fikiran pun pusing tak karuan.
 Selepas maghrib sebelum isya. aku coba untuk mendiskusinya kepada keluarga. Malam itu, suasana rumah begitu mencekam. Ibu bersuara lebih tinggi dari biasanya, sedangkan Bapakku yang pendiam, Bawelnya malah melebihi ibu.
“Kenapa mereka, nggak datang kesini langsung,, kan bisa dirundingkan.!” Dengan nada tinggi, ayah membentaku.
“Anu,..anu.. Pak…! keluarga Mas Rama lagi di Jakarta, kerumah tante Wati.”  Sambil tersendat, aku coba menjelaskan pada Bapak.
            Akhirnya, keluargaku sepakat untuk mengundurkan tanggal pernikahan. tinggal menunggu kesiapan dari keluarga Rama. Untunglah, undangan pernikahan belum tersebar, tentang kebutuhan acara yang sudah di booking, tinggal membatalkan saja, tak apalah jika harus kehilangan uang muka.
            Aku tak menyangka akan begini jadinya, sudah hampir di ambang pintu. tapi, jadi berantakan begini. Telingaku hampir pecah mendengar desas-desus tetangga yang selalu membicarakan keluargaku. Aku hanya bersabar, mungkin ini sudah takdirnya. Aku yakin, tuhan punya rencana di balik ini semua, dan aku percaya semua akan indah pada waktunya.
                                                                        ****
            Menunggu, adalah hal yang paling membosankan. Apalagi tanpa kepastian. Entah mengapa akhir-akhir ini Rama menenggelamkanku dalam kabar, Tanpa suara atau kata. Setiap kali aku mencoba mengahampiri tempat tinggalnya, Pintu rumahnya selalu terutup. Bahkan orang terdekatnya pun tak tahu dimana Rama berada. Aku berfikir, Mungkinkah Rama pergi meninggalkan aku?
            Sejuta tanya memadati fikiranku. Hatiku semakin sesak. Mungkinkah akan terjadi sesuatu lagi. Tapi apa,? Apa yang sebenarnya terjadi,?  Mengapa pergi tanpa penjelasan. Handphone, Skype, Facebook, Twiter, dan semua alat komunikasi tak bisa ku hubungi. Sebegitu tak berharganya kah diriku di matanya. Sehingga dia tega mempermainkan perasaanku. Apakah karena aku seorang yang humoris,  sehingga dia menganggap ini sebuah kelucuan
            Perasaanku semakin tak karuan. Sekuat apapun aku menahan air mata, namun akhirnya terjatuh juga. Sebisa mungkin aku mengais-ngais masa indah kita, namun tak membuatku tersenyum ceria. Janji yang pernah terucap, hanya membuatku semakin sedih. Aku tak ingin berandai-andai, aku hanya ingin kepastian.
            Cinta memang buta, seberapa besarpun engkau mendustaiku, aku akan selalu memaafkanmu. Karena engkau adalah separuh ragaku. Cinta dan sayangku selalu ada untukmu. walau corengan hitam  telah kau goreskan pada wajah keluarga.
“Kalau memang harus menunda, beginikah caramu.?  Kalau hanya sakit hati. Pasti bisa aku tahan, tapi rasa malu, kemana aku akan menyembunyikanya.”  Aku yang sedang harap-harap cemas, menggerutu  dalam bathin.
            Hari ini minggu kedua, rencana yang pernah kita sepakati telah berlalu. Kabar yang beredar, telah tersiar luas. Kini, cibiran mulut-mulut ketus, dan tawa senang para pendendam. Serentak menari diatas lukaku. Kau tahu, betapa sakitnya aku saat ini?.
Bisul tumbuh subur di hidung memang yang tak mancung. Begitulah rasa malu yang tak dapat aku tutupi. Tapi, aku berusaha untuk tetap bersabar. Jika memang dia jodohku, sejauh manapunn dia menghindar, pasti akan kembali. Begitu pun sebaliknya.
               Pagi ini, seorang petugas berbaju kuning kemerah-merahan, menghantarkan surat yang di alamatkan ke rumahku. Di halaman depan amplop, terlihat jelas nama Rama yang ditulis lebih besar, dari keterangan alamatnya.  Di ruang keluarga, aku mulai merobek  sampul cokelat yang bergaris merah biru.
Bogor, 18 Agustus 2013.
Dear: Lela
Assalamu’alaikum..
langsung aja,,              
Lel,sebelumnya aku minta maaf.
Saat ini aku sedang berada di Rumah sakit. Leukimia yang kuderita sejak dua tahun lalu, kini semakin parah dan semakin membuatku tersiksa. Aku begitu menyayangimu, sehingga aku memutusakan untuk membatalkan rencana pernikahan kita, dengan sengaja.
Aku hanya lelaki pesakitan yang hanya  mampu bertahan dengan obat. Maafkan aku, memang ini keputusan yang berat, aku tahu aku salah telah menyembunyikan semua ini darimu dan semua ini sudah terlanjur. Demi kebahagiaanmu. Carilah lelaki yang sempurna.
Sekali lagi maafkan aku, saat ini mungkin engkau tak mengerti. Mungkin nanti.
Wassalam..
By: Rama 
            Air mataku mengalir deras membasahi kertas. Aku tak kuasa membendung airmata, bahkan kedua orang tuaku yang juga membaca surat ini, berbaur bersama kesedihanku. Hujan airmata menghanyutkan harapan yang pernah ada. Aku tak menyangka akan begini jadinya. Aku pun tak kuasa, saat-saat seperti ini, harusnya aku berada disisinya.
            Ingin sekali aku menjenguknya. Tapi, apa pantas dia dikasihani. Lagi pula, dia ingin pergi jauh dari hidupku dan memutuskan tali persaudaraan. Padahal, aku akan menerima Rama apa adanya. Tapi, Rama lelaki penegecut. Dan tak berani mengahdapi kenyataan.
Aku begitu kecewa, tapi aku sadar. Aku hanyalah manusia yang bisa berencana. Biarlah, akan kurelakan cinta ini berlalu. Hingga pada akhirnya nanti, lembaran baru menutup kisahku. Bersama cinta yang kusebut cinta. Aku tahu, jodoh itu ditangan Tuhan. Aku sadar, hidup adalah perjalanan. Diatas puncak aku akan menunduk, agar tak tersungkur dalam lembah.
Dalam hidup, kita akan mengalami beberapa kecelakaan hebat. Jika hati kita indah, kita tak pernah terluka karenanya. Aku yakin, tak ada cobaan hidup yang datang tanpa membawa Hikmah, akan kuhadapi semua dengan hati yang berserah. Aku tak mau, kekerdilan fikir membuat cacat mentalku. Garudaku, kepakkanlah sayapmu. Terbanglah bersama jiwa-jiwa yang tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar