Sejuta rasa bahagia, memancar dari
lubuk hati. Lengkung senyum, terlepas dari bibir yang merindu
kasih sayang.
Selamat tinggal Changi, kutitipkan
Merlion dalam rengkuhmu. Izinkan aku pergi, menjemput mimpi yang telah
menanti. Kutinggalkan jejak-jejak langkah, diatas bumimu yang panas.
Garudaku menari dibawah langit, bentangkan
sayap menembus awan. Tinggalkan Negara, yang mengurungku dengan jadwal-jadwal,
dan rutinitas yang melelahkan. Kini hatiku merdeka, menjemput mimpi dalam sadarku.
Malam itu. Langit cerah menyambut
hangat pendaratanku, di sebuah Bandara. Bandara yang akan selalu mengingatkanku kepada Sang Proklamator.
Sambil tergesa kulangkahkan kaki di jalur terminal 2E, aku menyeret koper hitam dengan penuh
semangat, menerobos diantara barisan penumpang yang berdesak-desakan. Tanpa
sengaja, seorang lelaki separuh baya telah terjatuh, karna dorongan tubuhku.
Betapa cerobohnya aku dalam melangkah. Bahkan, kata maaf pun tak sempat terucap.
Di parkiran, mataku berkeliling
mencari sang pangeran yang telah menanti. Hingga, mataku terhenti pada satu
titik. Seorang lelaki bertubuh tinggi, dengan topi hitam dan switer berwarna
sama. Akupun bersegera memanggil dengan senyum yang tak bisa ku sembunyikan.
“Rama.. aku disini.” Tanganku
melambai-lambai, dan berteriak di tengah keramaian. Rama yang sedang
mondar-mandir di depan sebuah mobil, lantas mengahampiriku. Tubuh kekar dan
berisi, memelukku sebegitu dalamnya. Kerinduan
yang telah kupendam selama delapan bulan, akhirnya telah tersalurkan. Sejak
kita sepakat menyatukan cinta delapan bulan lalu. Baru kali ini, aku merasakan
hangat tubuhnya.
“Langsung pulang aja Lel, sekalian istirahat.” Rama mengajakku untuk menginap dirumah tante
Wati. Koper hitamku, telah berpindah ke tangan Rama. lalu dimasukanya kedalam
bagasi mobil Xenia putih. Akupun masuk kedalam mobil, duduk di jok kiri depan, berdampingan dengan calon imamku.
Menikmati perjalanan malam di Kota, adalah sesuatu hal yang
menyenangkan. Tak seperti apa yang sering kulihat di televisi, tentang banjir dan kemacetan yang membuat wajah Kota
menjadi sumpek. Saat ini aku tak tahu dimana posisiku berada, karena ini kali
pertama aku berada di Kota ini. Namun, setelah aku melihat alamat disetiap plang
pertokoan, mungkin aku bisa menyimpulkan, aku sedang berada di sebelah Barat
ibu Kota.
Hanya butuh waktu 20 menit
untuk sampai ke depan pagar rumah yang menjadi tempat peristirahatanku, Di depan
rumah tampak sepi, Rama menurunkan koper dari bagasi mobilnya. Bunyi alarm
menandakan, bahwa mobil sudah dalam keadaan aman.
Bentuk rumah, yang begitu
indah, lengkap dengan taman yang dipenuhi bunga-bunga. Rama membuka pintu dan
mempersilahkanku masuk, hingga mengantarkanku sampai ke kamar tidur. Di dalam
kamar yang berada dilantai dua, aku rebahkan badanku pada ranjang empuk yang
berada persis di sebelah jendela kaca. Aku
teringat akan rumah majikanku di Bukit Panjang dan Sengkang, yang baru saja
kutinggalkan.
Selepas bangun tidur dan mandi, aku
turun menuju ruang makan. Disana seorang wanita separuh baya sudah menungguku.
Raut wajah oval, rambutnya yang ikal masih terlihat basah.
“Oh.. ini toh, yang namanya Lela. Calon keponakanku.” Tante Wati menyapaku, dan mempersilahkan aku
duduk. Kita pun saling bertukar senyum.
Di meja makan, tante Wati banyak
bertanya tentang pekerjaanku di Negeri singa, aku pun bercerita dengan terus
terang, bahwa aku bekerja sebagai seorang PRT selama 6 tahun, sebenarnya aku masih
menyisahkan kontrak kerja. Tapi, karena majikanku begitu baik dan menganggap
aku sudah seperti keluarga sendiri. Jadi,
aku diizinkan untuk berhenti.”
Tante Wati, pemilik salon ternama di
daerahnya. Sebelum ke pulanganku ke Kota Tapis Berseri. Dia meriasku, bahkan aku
di sulap menjadi wanita yang super cantik. Mungkin cantiknya melebihi Dewi
Persik.
“Sekalian foto, buat pre wedding Lel.” ujar tante Wati, yang memang seorang photographer juga. Aku hanya terdiam dan
mengangguk. Alhamdulillah, aku diterima dengan baik oleh salah satu keluarga
Rama, walaupun aku hanya seorang anak petani. Tapi, mereka mau menerimaku apa
adanya.
Siang ini, kita berencana untuk
pulang ke Kampung halaman. Aku tak pernah menyangka, teman sekolahku ini akan
menjadi suamiku. Padahal, dulu aku tak
berani untuk menyapanya. Wajar saja, karena Rama adalah bintang sekolah, Ketua
OSIS. PASKIBRAKA, jago main Basket, Badminton, Dan aktif dalam setiap kegiatan
sekolah. Hanya wanita super hebat, yang bisa manjadi pacarnya. Wanita super itu adalah Sinta, wanita cantik berdarah
Palembang, yang dipacarinya selama 11 tahun. Sampai akhirnya mereka putus.
Karena, Rama tak sempurna lagi.
Rama telah memanaskan motornya. Kita
akan pulang Kampung, menggunakan motor merah kesayanganya. Setelah persiapan
dirasa cukup. Aku dan Rama segera meluncur. Dengan naluri pembalapnya, Rama
bagai raja jalanan di atas aspal hitam bumi Para Jawara. Melewati beberapa kota
yang masih terbilang muda. Hingga bunyi rem berderit di pelabuhan Merak.
Didalam kapal Ferry, kita saling
bercerita, dan mengatur persiapan pernikahan, pada bulan Agustus ini. Setelah
terjadi kesepakatan keluarga dua minggu yang lalu, ketika keluarga Rama datang
melamarku. Tanggal pernikahan telah ditetapkan 17 Agustus 2013. Berarti,
hanya tinggal 12 hari lagi, kita akan
resmi menjadi suami-isteri. Kebahagian terindah, yang di harapkan seorang
wanita Adalah, ketika seorang lelaki datang melamarnya. Begitu juga aku.
Pelayaran sudah berlangsung selama 4
jam. Hanya tinggal menunggu waktu untuk sandar. Di pelabuhan Bakauheni, Tugu
Siger nampak begitu kokohnya, menjadi lambang kebesaran Sang Bumi Khua Jukhai.
Lenguhan klakson kapal telah
menggema, di iringi riuh penumpang yang berjejal untuk keluar dari kapal, aku
dan Rama sudah bersiap dalam antrian. Hingga keluar dari mulut kapal. Perjalanan
dari Bakauheni menuju Kampungku, kurang lebih membutuhkan waktu 4 jam. melewati
beberapa Kabupaten dan pusat Kota, menyusuri perkebunan karet dan kawasan
Bambu Seribu, hingga sampailah kita di
kabupaten Tanggamus, hanya beberapa menit dari Tugu perbatasan, kita akan
menjumpai pasar. Belok kekanan , dan
sampailah di Kampung Asrama Harapan.
Perjalanan yang cukup melelahkan.
Namun, aku sungguh bahagia bisa menginjakan
kaki di tanah kelahiranku, berjumpa kembali dengan orang tua dan keluarga.
Sudah hampir 6tahun, aku meninggalkan mereka, demi kebutuhan dan cita-cita.
“Kamu
kok, tambah kurus ndo.” Ibu memelukku dan menangis haru atas kedatanganku.
Semua keluarga yang berkumpul menyambut bahagia dan larut dalam suasana. Malam
semakin larut, jarum jam sudah menunjukan pukul 11:12 WIB. Rama berpamitan
pulang.
Aku merasa asing dengan keadaan rumahku yang sekarang. Alhamdulillah, tidak sia-sia
perjuanganku. Bisa membantu Bapak untuk merenovasi rumah, menyumbang biaya
adik-adikku sekolah, dan aku sendiri bisa menikmati bangku kuliyah, disebuah
Universitas Terbuka, semester 6 jurusan
Bahasa Inggris di SIS (Singapore Indonesian School).
Aku sudah memilih untuk
meneruskan kuliyahku di Indonesia. selepas menikah, aku tak ingin pergi lagi
dari Negaraku, dan hidup bahagia bersama suami dan keluarga tercinta.
Aku rebahkan diri diatas
ranjang, setelah selesai memindahkan pakaian yang sejak kemarin berdesakan di
dalam koper, ke lemari pakain yang sudah lama kosong. Mataku menatap ke arah
lampu kamar yang sedikit redup. Aku berhayal dalam kesendirian, aku melihat diriku
dalam hayalan. Betapa cantiknya diriku dengan Gaun pengantin berwarna putih,
yang khusus kubeli dari Lucky Plaza, untuk pernikahanku nanti. Aku dan Rama
berdansa diantara tamu undangan yang berdiri melingkar dan bersorak riang, hingga
hayalku hantarkan lelap.
Pagi yang indah dalam ruang keluarga, bercanda tawa bersama dan
melepas kerinduan. sambil membicarakan
rencana resepsi pernikahan. Sebenarnya, aku hanya ingin pesta yang sederhana,
hanya cukup acara wajib saja, dengan dihadiri keluarga dan orang-orang
terdekat. Tapi, dari pihak Rama, mereka menginginkan pesta yang megah dan
meriah. Aku sebagai keluarga wanita, hanya bisa mengikuti apa kata mereka.
Undangan pernikahan telah
selesai di cetak. Sepasang nama telah terpampang disana, lengkap dengan foto
prewedding. Hanya tinggal menunggu waktu, untuk menyebarkannnya.
***
Sudah tiga hari aku disini. Sebentar
lagi, aku akan menjadi ratu sejagat. Kayu bakar, telah menumpuk di belakang
rumah. Kursi, Tenda, Tukang rias, Orgen tunggal dan semua kebutuhan acara telah
selesai di booking.
“Ndo..
piye iki, sudah mendekati hari ‘ H ’ kok, belum ada kabar dari keluarga Rama.?” Dalam perbincangan di ruang makan ibuku bertanya.
Ibuku memang sedikit bawel, tidak seperti Bapak, pendiam dan bijaksana,.
“Nggih
bu.. nanti Lela hubungi.”
Awalnya ibuku tak setuju, jika aku
menikah dengan Rama. Aku sendiri tak
tahu apa sebabnya, aku pernah bertanya. Tapi, ibu hanya menjawab “ Naluri
seorang Ibu.” Karena rengekanku, Ibu terpaksa menyetujuinya.
Sejak kedatanganku, Rama selalu
mengajakku jalan-jalan, menikmati bendungan Batu Tegi dan Pantai Kota Agung yang indah.
Entah kenapa, aku merasakan ada keanehan yang terjadi. Rama hanya mengantar dan menjemputku sampai
pagar rumah saja. Setiap kuajak masuk, jawabannya pasti sama “belum resmi.”
Aku bersyukur sekali, tuhan telah
menciptakan Rama untukku, lelaki Super Star ini sungguh membuat hidupku semakin
hidup. Padahal, dalam perjalanan cinta kita, kita telah melewati berbagai macam
cobaan. Aku ingat, ketika Sinta menghina aku, di status facebook. Aku dicaci
maki, dan dihujat. Aku di bilang cewek gatel, pembantu, bule kampung, dan banyak lagi keburukan yang mereka lontarkan.
Kata-kata yang paling menyakitkan yang pernah kulihat dalam sebuah percakapan di status FB, ketika
Sinta dan gerombolan wanita tukang gunjing berkata
“Kalau saja Rama tak cacat, mana mungkin dia
mau nerima Lela sebagai pacar, apa lagi menjadikanya isteri.” Kata-kata itu, sungguh mengiris hatiku.
Padahal, mereka semua adalah teman sekelasku
waktu SMA.sebagai orang yang sudah cukup dewasa, Aku tak mau membalas
ucapan mereka. Usia kita hampir berkepala tiga, Tapi tetap saja, kelakuan
mereka sama persis dengan anak SMP. Ya sudahlah biar tuhan yang membalasnya.
***
Tak terasa, sudah enam hari aku
berada disini. Tidak seperti biasanya, hari ini Rama tak memberi kabar, apa
mungkin dia sakit. Aku begitu menghawatirkannya, akupun mencari tahu lewat
pesan singkat. Percakapan kita di pesan singkat itu, justru membuatku
tersentak.
“Lela,
aku minta maaf sebelumnya, aku sengaja
tak memberi kabar. Aku bingung, dan tak tau harus bagaimana menjelaskanya. Saat
ini, keluarga kami belum siap, karena ada masalah keuangan.”
“Mamas
serius dong.. keterlaluan banget becandanya!.”
“Aku
serius Lel. kalau boleh, aku minta
pernikahannya diundur .”
“Kenapa
harus diundur Mas?, Kan kita bisa nikah dulu, pestanya saja yang diundur.”
“Itu
permohonan keluargaku Lel. Salam buat keluarga kamu semuanya, sampaikan salam
maafku.”
Aku bingung, harus bagaimana
menjelaskanya pada keluarga. Pesan singkat itu membuat jantungku berdetak tanpa
aturan, Fikiran pun pusing tak karuan.
Selepas maghrib sebelum
isya. aku coba untuk mendiskusinya kepada keluarga. Malam itu, suasana rumah
begitu mencekam. Ibu bersuara lebih tinggi dari biasanya, sedangkan Bapakku
yang pendiam, Bawelnya malah melebihi ibu.
“Kenapa
mereka, nggak datang kesini langsung,, kan bisa dirundingkan.!” Dengan nada
tinggi, ayah membentaku.
“Anu,..anu..
Pak…! keluarga Mas Rama lagi di Jakarta, kerumah tante Wati.” Sambil tersendat, aku coba menjelaskan pada
Bapak.
Akhirnya, keluargaku sepakat untuk mengundurkan
tanggal pernikahan. tinggal menunggu kesiapan dari keluarga Rama. Untunglah,
undangan pernikahan belum tersebar, tentang kebutuhan acara yang sudah di
booking, tinggal membatalkan saja, tak apalah jika harus kehilangan uang muka.
Aku tak menyangka akan begini
jadinya, sudah hampir di ambang pintu. tapi, jadi berantakan begini. Telingaku
hampir pecah mendengar desas-desus tetangga yang selalu membicarakan
keluargaku. Aku hanya bersabar, mungkin ini sudah takdirnya. Aku yakin, tuhan
punya rencana di balik ini semua, dan aku percaya semua akan indah pada
waktunya.
****
Menunggu, adalah hal yang paling
membosankan. Apalagi tanpa kepastian. Entah mengapa akhir-akhir ini Rama
menenggelamkanku dalam kabar, Tanpa suara atau kata. Setiap kali aku mencoba
mengahampiri tempat tinggalnya, Pintu rumahnya selalu terutup. Bahkan orang
terdekatnya pun tak tahu dimana Rama berada. Aku berfikir, Mungkinkah Rama
pergi meninggalkan aku?
Sejuta tanya memadati fikiranku. Hatiku
semakin sesak. Mungkinkah akan terjadi sesuatu lagi. Tapi apa,? Apa yang sebenarnya
terjadi,? Mengapa pergi tanpa
penjelasan. Handphone, Skype, Facebook, Twiter, dan semua alat komunikasi tak
bisa ku hubungi. Sebegitu tak berharganya kah diriku di matanya. Sehingga dia
tega mempermainkan perasaanku. Apakah karena aku seorang yang humoris, sehingga dia menganggap ini sebuah kelucuan
Perasaanku semakin tak karuan.
Sekuat apapun aku menahan air mata, namun akhirnya terjatuh juga. Sebisa
mungkin aku mengais-ngais masa indah kita, namun tak membuatku tersenyum ceria.
Janji yang pernah terucap, hanya membuatku semakin sedih. Aku tak ingin
berandai-andai, aku hanya ingin kepastian.
Cinta memang buta, seberapa besarpun
engkau mendustaiku, aku akan selalu memaafkanmu. Karena engkau adalah separuh
ragaku. Cinta dan sayangku selalu ada untukmu. walau corengan hitam telah kau goreskan pada wajah keluarga.
“Kalau memang harus menunda, beginikah caramu.? Kalau hanya sakit hati. Pasti bisa aku tahan,
tapi rasa malu, kemana aku akan menyembunyikanya.” Aku yang sedang harap-harap cemas, menggerutu dalam bathin.
Hari ini minggu kedua, rencana yang
pernah kita sepakati telah berlalu. Kabar yang beredar, telah tersiar luas.
Kini, cibiran mulut-mulut ketus, dan tawa senang para pendendam. Serentak
menari diatas lukaku. Kau tahu, betapa sakitnya aku saat ini?.
Bisul tumbuh subur di hidung memang yang tak mancung. Begitulah
rasa malu yang tak dapat aku tutupi. Tapi, aku berusaha untuk tetap bersabar. Jika
memang dia jodohku, sejauh manapunn dia menghindar, pasti akan kembali. Begitu
pun sebaliknya.
Pagi ini, seorang petugas berbaju kuning kemerah-merahan, menghantarkan surat
yang di alamatkan ke rumahku. Di halaman depan amplop, terlihat jelas nama Rama
yang ditulis lebih besar, dari keterangan alamatnya. Di ruang keluarga, aku mulai merobek sampul cokelat yang bergaris merah biru.
Bogor,
18 Agustus 2013.
Dear: Lela
Assalamu’alaikum..
langsung
aja,,
Lel,sebelumnya
aku minta maaf.
Saat ini aku
sedang berada di Rumah sakit. Leukimia yang kuderita sejak dua tahun lalu, kini
semakin parah dan semakin membuatku tersiksa. Aku begitu menyayangimu, sehingga
aku memutusakan untuk membatalkan rencana pernikahan kita, dengan sengaja.
Aku hanya
lelaki pesakitan yang hanya mampu
bertahan dengan obat. Maafkan aku, memang ini keputusan yang berat, aku tahu
aku salah telah menyembunyikan semua ini darimu dan semua ini sudah terlanjur. Demi
kebahagiaanmu. Carilah lelaki yang sempurna.
Sekali lagi
maafkan aku, saat ini mungkin engkau tak mengerti. Mungkin nanti.
Wassalam..
By: Rama
Air
mataku mengalir deras membasahi kertas. Aku tak kuasa membendung airmata,
bahkan kedua orang tuaku yang juga membaca surat ini, berbaur bersama
kesedihanku. Hujan airmata menghanyutkan harapan yang pernah ada. Aku tak
menyangka akan begini jadinya. Aku pun tak kuasa, saat-saat seperti ini,
harusnya aku berada disisinya.
Ingin sekali aku menjenguknya. Tapi,
apa pantas dia dikasihani. Lagi pula, dia ingin pergi jauh dari hidupku dan
memutuskan tali persaudaraan. Padahal, aku akan menerima Rama apa adanya. Tapi,
Rama lelaki penegecut. Dan tak berani mengahdapi kenyataan.
Aku begitu kecewa, tapi aku sadar. Aku hanyalah manusia yang bisa berencana.
Biarlah, akan kurelakan cinta ini berlalu. Hingga pada akhirnya nanti, lembaran
baru menutup kisahku. Bersama cinta yang kusebut cinta. Aku tahu, jodoh itu
ditangan Tuhan. Aku sadar, hidup adalah perjalanan. Diatas puncak aku akan
menunduk, agar tak tersungkur dalam lembah.
Dalam hidup, kita akan mengalami beberapa kecelakaan hebat. Jika
hati kita indah, kita tak pernah terluka karenanya. Aku yakin, tak ada cobaan
hidup yang datang tanpa membawa Hikmah, akan kuhadapi semua dengan hati yang
berserah. Aku tak mau, kekerdilan fikir membuat cacat mentalku. Garudaku, kepakkanlah sayapmu. Terbanglah bersama jiwa-jiwa yang tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar