“Selalu ada alasan untuk kembali.” Satu kalimat yang pernah terucap
ketika aku meninggalkan Baduy beberapa bulan lalu. Kearifan, keindahan alam,
juga mitos tentang Tanjakan cinta.
Sabtu
pagi
Selepas menikmati segelas kopi panas dan batangan rokok, ku gendong
ransel hitam bergaris ungu. Yang telah kupersiapkan sejak semalam. dengan
sepeda Motor Mio berwarna hitam, aku berangkat menuju kampus IAIN SMH Banten.
Karena rencananya kita akan berangkat ke Baduy dengan sepeda motor.
Jalanan disekitar Kota Serang sudah dipadati kendaraan. Wajar saja,
karena sudah masuk waktu sibuk dan aktifitas pun meningkat. Tepat di depan Pom
SPBU aku memutar arah, karena kampus IAIN yang jadi tempat tujuanku,
bersebrangan jalan dengan kampus.
Dipelataran kampus, sudah berkumpul beberapa orang maha siswa dan
maha siswi yang akan jadi peserta, dalam Trip Baduy kali ini. Setelah mengamati
wajah mereka yang imut, lucu, cantik dan ada juga yang punya berat badan lebih.
Aku sempat berfikir, lalu berd’oa.
Semoga mereka kuat, karena aku tahu, Trek
Baduy tak sedatar keramik masjid.
Mentari perlahan meninggi, jarum jam
sudah menunjukan pukul 08:00 Wib. sudah terlambat 1 jam dari jadwal
keberangkatan yang sudah ditetapkan. Dan memang jadi kebiasaan masyarakat pada umunya,
istilah ‘ngaret’ semakin membudaya.
Setelah berdo’a, semua
peserta naik keatas motor. Jumlah peserta 24 orang sementara sepedah motor hanya 11unit, terpaksa 2 motor harus ‘Tuti’ alias
tumpuk tilu. Rute perjalnan kali ini, akan melewati jalur Petir, selain lebih
dekat, juga tak terlalu macet, tapi resikonya kondisi jalan, banyak yang
berlubang. Aku berboncengan dengan peserta wanita yang belum ku ketahui namanya,
karena kita belum sempat kenalan.
Memang suatu hal yang
menyenangkan, ketika mengendarai motor secara kompoy. Selain bisa menikmati
pemandangan sekitar jalan, juga bisa ngobrol sama cewek yang jadi boncengan.
Laju motor sedikit santai, sehingga aku bisa mencuri pandang lewat
kaca spion, setelah aku perhatikan, ternyata cewek yang ada di belakangku
cantik juga. Awalnya aku malu malu untuk membuka obrolan. Tapi, lama kelamaan
aku juga jenuh kalau harus diam terus.
“Aslinya
dari mana Nong.?”
“Dari
Cikupa kak.” Suaranya agak sedikit parau, mungkin dia masih malu. Seperti
inilah jadinya, kalau seorang pemalu ketemu dengan seorang pemalu, hasilnya
mengheningkan cipta,
Melintasi aspal tanpa trotoar, menyusuri
jalanan Petir yang berlubang. Hingga melewati jalanan Rangkas. Aku yang sedari
tadi mengamati wanita ini dari kaca spion, membuat fikiranku berandai andai.
Bahkan aku sempat menghayal, menjadi seorang pangeran berkuda putih, dengan
sang permaisuri bergaun putih yang
sedang asyik menikmati pemandangan indah ditaman bunga. Sehingga konsentrasiku terbagi. Di sekitar terminal
Aweh, jalanan rusak parah. Sehingga membuyarkan hayalku. Dan hal yang paling
menyebalkan adalah ketika ban motorku gembos.
Meskipun lokasi tambal ban tak jauh,
tapi aku harus rela ngantri. Karena pasien di
bengkel ini cukup ramai dan butuh waktu lama untuk memperbaiki rodaku,
berhubung matahari semakin meninggi. Dengan sangat terpaksa, aku membiarkan
mereka berangkat lebih dulu. Dan aku harus rela menukar boncenganku dengan
peserta lain. Karena pada saat seperti ini yang aku butuhkan adalah seorang
lelaki, khawatir terjadi lagi hal hal yang tidak di inginkan.
Kurang lebih 1 jam aku menunggu
giliran, dan akhirnya tiba giliranku, karena kondisi ban dalam yang sudah tak
bisa ditambal, terpaksa harus ganti yang baru. Setelah selesai di perbaiki,
akupun kembali menarik gas dan menyusuri jalanan. Mumpung yang di bonceng
cowok, aku lebih leluasa dan bisa
menarik gas lebih dalam.
Setibanya di terminal Ciboleger,
motor pun parkir di dalam warung makan yang sekaligus jadi tempat penitipan
motor, setelah minum kopi, makan, dan menunaikan shalat dzuhur. Kami berangkat,
yang akan jadi tujuan kita adalah kampung Cibeo ( Baduy Dalam). Dan yang akan
jadi pemandu perjalanan kita kali ini adalah .Hidong dan tiga orang temanya.
Jarum jam menunjukan pukul 12:30 WIB. Sudah waktunya berangkat, karena perjalanan
menuju Baduy Dalam kurang lebih akan memakan waktu 4 sampai 5 jam.
Untuk memudahkan perjalanan dan
menghindari desak desakan dijalan, peserta dibagi menjadi dua tim. Aku berharap
bisa satu tim dengan wanita yang yang selalu ku perhatikan lewat kaca spion.
Tapi, setelah pembagian, ternyata kita berbeda tim.
Berjalan diatas batu batu yang
tersusun, membelah bukit bukit,dan melintasi bebrapa perkampungan. Tentu saja
begitu melelahkan, apa lagi buat mereka yang baru kali ini melakukan pendakian.
Sudah pasti, butuh semangat dan perjuangan ekstra.
Entah, sudah berapa ribu jejak langkah yang mereka tinggalkan
dengan sandal gunung yang baru mereka beli di Royal kemarin. Keringat sudah
mulai mengalir deras. Rasa haus semakin mencekik tenggorokan. Akhirnya kita
beristirahat di kampung Gajebo. Di atas jembatan bambu, cahaya kamera bagai
kilat yang menyambar nyambar wajah cantik,
bergaya narsis ala chibi chibi. Sementara peserta pria yang juga ikut
berfoto, justru sedikit mengganggu pandanganku yang sedang asik mengamati
wanita berkerudung orange .
Setelah dirasa cukup puas, perjalanan dilanjutkan kembali. Melewati
bukit bukit dan akhirnya kita sampai disatu jembatan yang menjadi batas antara
Baduy Luar dan Baduy Dalam. Disinilah batas akhir mengambil gambar atau video,
dan semua alat elektronik harus dimatikan, ini adalah peraturan adat dan kita
harus menghormati peraturan yang telah mereka buat. “Meskipun kesempatan itu
ada, tapi berusahalah menghargai peraturan adat mereka.” kurang lebih seperti itu pesan yang disampaikan Bapak Koelit Ketjil.
Tak jauh dari jambatan ini. Kita
menjumpai tanjakan yang tingginya kurang lebih 800M. inilah ‘tanjakan cinta’
yang mempunyai mitos, jika sepasang kekasih melewati tanjakan ini, sambil
berpegangan tangan, tanpa menoleh kebelakang. Maka cintanya akan langgeng.
Namun disini tak ada tangan yang bisa ku pegang, tapi aku masih berharap wanita
cantik berkerudung orange akan memegang tanganku.
Tepat di tengah tengah
tanjakan ini, aku berhenti sejenak, untuk menunggu wanita yang diam diam telah
membuat mataku selalu berkeliling mencarinya. Wanita itu kini sudah berada
persis dibelakangku, wajahnya begitu pucat, bajunya sudah dibasahi dengan
keringat. Mungkin dia lelah.
“Minum
dulu Nong, biar nggak haus.” Dengan wajah ramah dan sedikit senyum tipis, aku
menawarkan sebotol minuman.
“Nggak
kak, Terima kasih.” Wajahnya yang pucat, dengan senyum ramah membuat aku
semakin klepek klepek. Terus terang, saat ia menolak, aku begitu tersinggung.
Tingginya tanjakan ini, membuat
cerita tersendiri, dan pasti takkan ada yang bisa melupakan. Apa lagi Desya,
yang punya berat badan diatas rata rata. Tapi, aku kagum dengan semua peserta.
wajah wajah yang imut, lucu dan cantik ini, ternyata tak se apa yang aku kira.
Lagi-lagi, disini aku tak menemukan cinta,
“ Mitos tentang tanjakan cinta hanyalah omong
kosong.” Aku menggerutu dalam hati.
Berada di ketinggian,
membuatku semakin puas menyaksikan pemandangan pegunungan Baduy yang mungkin
bisa disebut masih perawan. Kurang lebih 30 menit lagi kita bisa sampai ke
Kampung Cibeo.
Akhirnya sampai juga di perkampungan Cibeo, untuk kedua kalinya,
aku menginjakan kaki di Kampung ini. Seandainya disini dibolehkan untuk
menetap, sudah pasti aku akan lebih memilih untuk tinggal disini, karena
penduduk disini begitu ramah dan hidup penuh dengan kesederhanaan, kebersamaan,
rukun, damai, dan tak ada persaingan hidup. Sungguh disayangkan, setiap
pengunjung hanya dibolehkan menginap satu malam.
Matahari semakin bergeser dan tenggelam ke arah barat, seiring
senja yang perlahan pancarkan cahaya jingga. Udara sejuk semakin terasa, kala
dingin sungai mengguyur seluruh tubuhku, rasa lelah seakan hanyut terbawa riak
air yang jernih.
Selepas maghrib sebelum isya. Aku, Acil, dan Jack. menjemput para
wanita yang sedang asik mandi di pancuran, karena hari semakin gelap dan mereka
tak membawa penerang, khawatir mereka tersesat atau mungkin di culik orang.
Sambil menunggu para bidadari mandi, aku duduk di atas jambatan, aku melihat
puluhan kunang kunang yang brkedip bergantian seperti lampu hias yang biasa kulihat di pesta
pernikahan, atau lampu hias yang berada di trotoar jalan Ahmad Yani. Sungguh indah dan
menakjubkan mata, di iringi derit bambu yang bergoyang mengikuti angin,
sehingga membentuk irama tersendiri, membuat gelap menjadi lebih berwarna.
Tapi, belum puas aku menyaksikan keindahan ini, para bidadari telah selesai
membersihkan dirinya.
Setelah solat, kami langsung makan secara berjamaah. Gadis
berkerudung orange duduk di sebelah kiri ku, dalam remang remang cahaya lampu
minyak, aku mengamati wajahnya, yang begitu khusyuk menyantap makanan walau lauknya
hanya mie goreng dan sarden, mungkin dia lapar.
Sehabis makan, acara selanjutnya adalah diskusi dengan warga Baduy.
Banyak sekali pertanyaan yang dilemparkan peserta, seputar Baduy dan
kehidupanya, nampaknya para peserta
begitu puas dan banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik seputar adat dan
peraturan Baduy.
Malam semakin meninggi,
angin menyelinap masuk dari celah celah bilik bambu. Diskusipun di hentikan,
karena kami semua butuh istirahat, setelah setengah hari berjalan, dan besok
pun masih harus melakukan perjalanan pulang.
Tidur satu atap dengan para wanita, tanpa kamar, dan hanya di
batasi dengan tirai yang dibentangkan, sudah pasti suara bisik bisikpun
terdengar, entah mengapa, malam ini aku tak bisa terlelap, mungkin
karena para peserta yang terlalu berisik atau apa, entahlah
Dingin malam semakin menusuk, beruntung masih ada tungku yang
menjadi pengahangat. Ternyata bukana cuma aku yang tak bisa tidur, Pak Koelit,
Agus dan Ibad pun tak bisa memejamkan matanya, sambil menikmati kopi panas dan
bercerita tentang sejarah Banten, membuat waktu seakan berjalan lebih cepat,
tak terasa waktu hampir pagi.
Pagi yang cerah, secerah wajaha anak anak Baduy yang sedang
bermain, sedangkan orang tua mereka mulai mempersiapkan diri untuk pergi ke
ladang, para peserta sudah bersiap siap, rencananya selepas sarapan. Akan
dilanjutkan dengan Perjalanan pulang.
Semalaman tak tidur. Sudah
pasti, kondisi badanpun kurang enak dirasa, mudah mudahan tak berkepanjangan.
Karena, rute perjalanan pulang lebih jauh dari perjalanan berngkat kemarin,
tujuanya agar bisa melihat keindahan jembatan akar dan bisa mandi disana.
Bismillahir rohmani rrohiim.. mengawali keberangkatan pulang. Kali
ini misiku harus berhasil untuk mendapatkan tempat, di hati wanita yang kemarin
berkerudung orange. Setelah mengisi botol kosong di pancuran , perjalanan pun di mulai,
langkah pertama yang kita tapaki adalah tanjakan. Aku yang masih sedikit malu,
akhirnya mencoba menawarkan sebotol air,
“Nong,
mau minum?”
“Nggak
kak, terima kasih. Aku lagi puasa.!” Jawabnya membuat aku tersentak dan
berdecak kagum.
“Dalam
rangka apa, Nong?”
“Nadzar
kak. Aku punya nadzar, untuk berpuasa
7hari berturut turut, Alhamdulillah hari ini yang ke 7.” kekagumanku semakin membuat perasaanku menjadi
jadi. ‘Subhanallah’
“Namaku
uky, namamu siapa?”
“Panggil
aja Lyan.!”
Berkenalan diatas tanjakan, memang
memberi cerita tersendiri, apa lagi wanita yang kukenal ini, adalah wanita
super hebat. Bayangkan saja, dalam keadaan berpuasa dia mampu melewati rintangan yang begitu berat. Alhamdulillah
yah.. sesuatu banget.
Bibirnya mulai mengering, pijakan
kakinya mulai gontai. Sesekali dia terpeleset saat menginjak batu batu yang
licin. Aku tak tega melihatnya, aku coba mengulurkan tangan untuk membantunya.
Diapun menyambut uluran tanganku, tanganya begitu dingin dan lembut. Genggaman
tangan ini, rasanya tak ingin kulepaskan. lagi lagi, rasa malu membuatku
semakin bersegera melepasnya.
Rute perjalanan tak melewati jalur
yang biasa dilewati, karena ada sesuatu hal, sehingga kita harus memutar lebih
jauh untuk mencapai jembatan akar. Setelah melewati tanjakan demi tanjakan.
Akhirnya ketemu juga sama turunan. Turunan ini begitu curam dan becek, batu
batu lancip ditutupi rerumputan membuat turunan ini nampak begitu ekstrim,
mungkin jalan ini jarang dilalui orang. bisa jadi, karena di Baduy tak ada
orang, yang ada adalah jeulma.
Fikiranku
semakin tertuju pada Lyan. karena aku
semakin tak tega melihatnya. Kembali, aku mengulurkan tanganku, dan membuang
sejenak rasa malu. Tubuhnya yang mulai melemah, membuat pegangan tangannya
semakin lebih kuat. Tapi apa yang kurasa, dalam genggaman tangan itu, jantungku
berdetak lebih kencang, fikiranku melayang dan berandai andai, Bukan karena turunan, tapi karena perasaan
sayang. Yah, aku semakin merasa sayang. Genggaman tanganya begitu hangat, aku
belum pernah merasakan perasaan sayang yang sebegitu hebatnya. Andai Lyan tau
apa yang kurasa, dan andai aku tahu apa yang Lyan rasa, mungkin tak begini
jadinya. “Aduhh.. Aku terjebak cinta lokasi, mungkinkah dia punya perasaan yang
sama denganku.!”
Tanjakan cinta, tak berarti dan tak berkesan bagiku. Karena yang membuat
ku terkesan justru turunan ini, mungkin aku akan menyebutnya Turunan Sayang .
karena, disini aku menemukan rasa sayang yang membludak lewat genggaman tangan
gadis Cikupa. Tentang peserta yang lain, aku pun tak tahu. Mungkin Agus sudah
menemukan sosok Tuti disini, atau mungkin masih menyusun rencana untuk mengajak
Tuti melewati turunan ini. Sedangkan
jack, masih mengatur jadwal. Nanti pada waktu musim durian akan mengajak Rey melintasi turunan ini, bisa jadi.
Gemericik air sungai membuatku harus
rela melepas genggaman tangan itu, aku masih merasakan kehangatan dan debaran
jantung, aku tak kuasa menyembunyikan perasaan ini, hingga aku memutuskan untuk
sedikit menjauh dari rombongan, agar bisa memandang wajahnya.
Hidup adalah perjalanan. Terkadang
kita harus melewati rintangan yang berat, untuk mencapai sesuatu yang indah.
Butuh semangat, dan optimisme yang tinggi. Agar keindahan semakin membahagia.
Aku termenung dan berfikir sejenak, atas apa yang kurasa , ”semudah
inikah jatuh cinta, atau cinta yang datang hanyalah sekedar lintasan perasaan.?”
Entahlah, aku semakin bingung, saat kata cinta mendarat terlalu cepat, dalam
kebingungan, isi kepalaku berdiskusi dengan isi hatiku, hingga terucap, kata
sepakat .”Aku jatuh cinta” dan biarlah,
jembatan akar yang akan menjadi saksi, disana akan ku ungkapkan perasaanku pada
Lyan
Hari semakin siang, perjalananpun
dilanjutkan, kali ini kami melewati pinggiran sungai, sudah hampir 3 jam
berjalan, tentu saja semakin menguras tenaga, wajah Lyan semakin pucat, aku semakin kasihan
melihatnya, andai saja Lyan bersedia untuk ku gendong, tentu saja sudah ku
gendong dirinya.
Di sebuah perkampungan, kami
berhenti sejenak. Lyan membuka sepatu dan kaos kaki, wajahnya meringis
kesakitan, nampak luka mengangah di telapak kakinya. Aduh,, cobaan apa lagi
yang menimpa wanita manis ini, Untunglah kami membawa persedian P3K.
Sudah menjadi hal yang biasa, dalam
suatu tim, pasti terjadi perbedaan pendapat atau perubahan rencana. Sebagian
peserta ada yang ingin segera pulang ke
Ciboleger, karena mungkin sudah lapar, atau hawatir ketinggalan shalat dzuhur.
Ada juga yang pingin ke jembatan akar, kali ini pilhanku dan Lyan bersebrangan,
Lyan lebih memilih pulang ke Ciboleger karena memang harus istirahat, sedangkan
aku ke jembatan akar.
Di perjalanan aku begitu
menghawatirkan kondisi Lyan. Dan aku juga harus melupakan rencana semula,
untuk nembak Lyan di jembatan akar. Semoga Lyan kuat,
sampai tujuan. Harusnya semua peserta ikut, biar rame dan kebersamaanya dapet.
Tapi apalah daya, kita harus bersikap demokrasi dan tak bisa memaksakan
kehendak.
Di jembatan akar, kami langsung
membuka pakain, karena jernih air begitu menggoda. melihat Pak Koelit melompat
dari jembatan akar, aku pun tertantang, sehingga aku memberanikan diri untuk
melompat dari jembatan yang tingginya kurang lebih 20m.
Setelah puas mandi dan bermain air,
kami segera mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan. Kurang lebih 2jam
lagi kita akan sampai ke Ciboleger, melewati jalanan yang tak jauh berbeda
dengan jalan sebelumnya, hanya saja setelah keluar dari dalam hutan, kita akan
menemui hamparan sawah luas yang terbelah dengan jalan aspal, langkah demi
langkah telah kita tapaki, dibawah sinar matahari yang memanggang kulit,
akhirnya sampai juga di Ciboleger.
Sesampainya diwarung yang sekaligus tempat penitipan motor, aku
beristirahat sambil menikmati kopi, jam menunjukan pukul 14:15 wib. aku yang
belum melaksanakan kewajiban, langsung bergegas, selepas menunaikan solat
dzuhur yang ku jamak dengan ashar. Aku merebahkan diri diatas keramik musholah,
karena terlalu lelah dan mengantuk. Wajar saja karena dari semalam aku tak
tidur.
“Kak..
bangun, udah mau pulang.” Suara Lyan membangunkan istirahatku.
“Hmmm…
Iya..” aku yang masih mengantuk seakan
enggan untuk bangun, tapi apalah daya waktu pulang talah tiba.
Sebelum pulang, semua peserta
berpose di bawah patung Baduy . dan akhirnya kita pulang, melewati rute yang
sama dengan keberangkatan. Lyan sudah berboncengan denganku, rasa deg degan,
bercampur ngantuk, tapi mudah mudahan tak terjadi apa apa dijalan. Go go go…
semangat
Menikmati suasana sore di jalan Rangkas, laju motor semakin santai, sembari ngabuburit. Sesampainya di daerah Petir,
adzan maghrib pun terdengar, di depan toko swalayan kita berhenti sejenak untuk membeli minuman
untuk berbuka puasa.
Perjlanan dilanjutkan, selepas
maghrib sebelum isya, kita telah kembali berkumpul di pelataran kampus, dan
langsung ke musholah untuk menunaikan solat maghrib. Selepas solat maghrib, ada
pembagian jatah nasi uduk,
Di pelataran musholah, kami
berkumpul dan bercerita seputar perjalan ke Baduy, ada keluh kesah dan ada pula
kata puas, mungkin akan ada satu alasan untuk kembali ke Baduy.
Setelah dirasa cukup, kalimat
Alfatihah menutup perjalanan kali ini.
“Kak,
anter Lyan pulang yah,?
“ Siap
,, Yan, “
Di tengah perjalanan menuju asrama
Lyan, ingin sekali ku utarakan perasaan ini, namun setiap kali ingin ku
ucapkan, mulutku semakin mengatup, “Ahh.. se sulit inikah mengungkapkan cinta.”
Didepan gerbang asrama, tepatnya di
belakang MTS N, motorku berhenti.
“Terima
kasih kak, maaf udah ngerepotin”
“Sama
sama Yan.”
Lyan
nampak begitu buru buru, takut ketahuan ibu asrama mungkin, aduhh.. padahal aku
masih punya sesuatu yang belum ku ungkapkan.
Uluran
tangan, dan ucapan hati hati dijalan. Mengahiri pertemuan kali ini.
Ada perpisahan dalam setiap
pertemuan. Selama Silaturrahmi tetap terjaga, perpisahan bukanlah akhir dari
sebuah pertemuan. biarlah perpisahan ini menjadi jedah pertemuan kita, hingga nanti kita
kembali bertemu, dan semoga kita tak terpisahkan waktu dan jarak.
Ly.. ada kata yang masih tersimpan , dalam ucap
yang belum sempat terucap. Semoga kau mengerti isyarat yang kutuang dalam tulisan. “AKU SAYANG KAMU”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar