Jumat, 29 November 2013

Tanjakan. atau Turunan Cinta, (lapah Baduy part II)



“Selalu ada alasan untuk kembali.” Satu kalimat yang pernah terucap ketika aku meninggalkan Baduy beberapa bulan lalu. Kearifan, keindahan alam, juga mitos tentang Tanjakan cinta.

Sabtu pagi
Selepas menikmati segelas kopi panas dan batangan rokok, ku gendong ransel hitam bergaris ungu. Yang telah kupersiapkan sejak semalam. dengan sepeda Motor Mio berwarna hitam, aku berangkat menuju kampus IAIN SMH Banten. Karena rencananya kita akan berangkat ke Baduy dengan sepeda motor.
Jalanan disekitar Kota Serang sudah dipadati kendaraan. Wajar saja, karena sudah masuk waktu sibuk dan aktifitas pun meningkat. Tepat di depan Pom SPBU aku memutar arah, karena kampus IAIN yang jadi tempat tujuanku, bersebrangan jalan dengan kampus.
Dipelataran kampus, sudah berkumpul beberapa orang maha siswa dan maha siswi yang akan jadi peserta, dalam Trip Baduy kali ini. Setelah mengamati wajah mereka yang imut, lucu, cantik dan ada juga yang punya berat badan lebih. Aku sempat  berfikir, lalu berd’oa. Semoga mereka kuat, karena aku tahu, Trek  Baduy tak sedatar  keramik masjid.
            Mentari perlahan meninggi, jarum jam sudah menunjukan pukul 08:00 Wib. sudah terlambat 1 jam dari jadwal keberangkatan yang sudah ditetapkan. Dan memang jadi kebiasaan masyarakat pada umunya, istilah ‘ngaret’ semakin membudaya.
 Setelah berdo’a, semua peserta naik keatas motor. Jumlah peserta 24 orang  sementara sepedah motor hanya  11unit, terpaksa 2 motor harus ‘Tuti’ alias tumpuk tilu. Rute perjalnan kali ini, akan melewati jalur Petir, selain lebih dekat, juga tak terlalu macet, tapi resikonya kondisi jalan, banyak yang berlubang. Aku berboncengan dengan peserta wanita yang belum ku ketahui namanya, karena kita belum sempat kenalan.
 Memang suatu hal yang menyenangkan, ketika mengendarai motor secara kompoy. Selain bisa menikmati pemandangan sekitar jalan, juga bisa ngobrol sama cewek yang jadi boncengan.
Laju motor sedikit santai, sehingga aku bisa mencuri pandang lewat kaca spion, setelah aku perhatikan, ternyata cewek yang ada di belakangku cantik juga. Awalnya aku malu malu untuk membuka obrolan. Tapi, lama kelamaan aku juga jenuh kalau harus diam terus.
“Aslinya dari mana Nong.?” 
“Dari Cikupa kak.” Suaranya agak sedikit parau, mungkin dia masih malu. Seperti inilah jadinya, kalau seorang pemalu ketemu dengan seorang pemalu, hasilnya mengheningkan cipta,
            Melintasi aspal tanpa trotoar, menyusuri jalanan Petir yang berlubang. Hingga melewati jalanan Rangkas. Aku yang sedari tadi mengamati wanita ini dari kaca spion, membuat fikiranku berandai andai. Bahkan aku sempat menghayal, menjadi seorang pangeran berkuda putih, dengan sang  permaisuri bergaun putih yang sedang asyik menikmati pemandangan indah ditaman bunga. Sehingga  konsentrasiku terbagi. Di sekitar terminal Aweh, jalanan rusak parah. Sehingga membuyarkan hayalku. Dan hal yang paling menyebalkan adalah ketika ban motorku gembos.
            Meskipun lokasi tambal ban tak jauh, tapi aku harus rela ngantri. Karena pasien di  bengkel ini cukup ramai dan butuh waktu lama untuk memperbaiki rodaku, berhubung matahari semakin meninggi. Dengan sangat terpaksa, aku membiarkan mereka berangkat lebih dulu. Dan aku harus rela menukar boncenganku dengan peserta lain. Karena pada saat seperti ini yang aku butuhkan adalah seorang lelaki, khawatir terjadi lagi hal hal yang tidak di inginkan.
            Kurang lebih 1 jam aku menunggu giliran, dan akhirnya tiba giliranku, karena kondisi ban dalam yang sudah tak bisa ditambal, terpaksa harus ganti yang baru. Setelah selesai di perbaiki, akupun kembali menarik gas dan menyusuri jalanan. Mumpung yang di bonceng cowok,  aku lebih leluasa dan bisa menarik gas lebih dalam.
            Setibanya di terminal Ciboleger, motor pun parkir di dalam warung makan yang sekaligus jadi tempat penitipan motor, setelah minum kopi, makan, dan menunaikan shalat dzuhur. Kami berangkat, yang akan jadi tujuan kita adalah kampung Cibeo ( Baduy Dalam). Dan yang akan jadi pemandu perjalanan kita kali ini adalah .Hidong dan tiga orang temanya. Jarum jam menunjukan pukul 12:30 WIB. Sudah waktunya berangkat, karena perjalanan menuju Baduy Dalam kurang lebih akan memakan waktu 4 sampai 5 jam.
            Untuk memudahkan perjalanan dan menghindari desak desakan dijalan, peserta dibagi menjadi dua tim. Aku berharap bisa satu tim dengan wanita yang yang selalu ku perhatikan lewat kaca spion. Tapi, setelah pembagian, ternyata kita berbeda tim.
            Berjalan diatas batu batu yang tersusun, membelah bukit bukit,dan melintasi bebrapa perkampungan. Tentu saja begitu melelahkan, apa lagi buat mereka yang baru kali ini melakukan pendakian. Sudah pasti, butuh semangat dan perjuangan ekstra.
Entah, sudah berapa ribu jejak langkah yang mereka tinggalkan dengan sandal gunung yang baru mereka beli di Royal kemarin. Keringat sudah mulai mengalir deras. Rasa haus semakin mencekik tenggorokan. Akhirnya kita beristirahat di kampung Gajebo. Di atas jembatan bambu, cahaya kamera bagai kilat yang menyambar nyambar  wajah  cantik,  bergaya narsis ala chibi chibi. Sementara peserta pria yang juga ikut berfoto, justru sedikit mengganggu pandanganku yang sedang asik mengamati wanita berkerudung orange .
Setelah dirasa cukup puas, perjalanan dilanjutkan kembali. Melewati bukit bukit dan akhirnya kita sampai disatu jembatan yang menjadi batas antara Baduy Luar dan Baduy Dalam. Disinilah batas akhir mengambil gambar atau video, dan semua alat elektronik harus dimatikan, ini adalah peraturan adat dan kita harus menghormati peraturan yang telah mereka buat. “Meskipun kesempatan itu ada, tapi berusahalah menghargai peraturan adat mereka.”  kurang lebih seperti itu  pesan yang disampaikan Bapak Koelit Ketjil.
            Tak jauh dari jambatan ini. Kita menjumpai tanjakan yang tingginya kurang lebih 800M. inilah ‘tanjakan cinta’ yang mempunyai mitos, jika sepasang kekasih melewati tanjakan ini, sambil berpegangan tangan, tanpa menoleh kebelakang. Maka cintanya akan langgeng. Namun disini tak ada tangan yang bisa ku pegang, tapi aku masih berharap wanita cantik berkerudung orange akan memegang tanganku.
 Tepat di tengah tengah tanjakan ini, aku berhenti sejenak, untuk menunggu wanita yang diam diam telah membuat mataku selalu berkeliling mencarinya. Wanita itu kini sudah berada persis dibelakangku, wajahnya begitu pucat, bajunya sudah dibasahi dengan keringat. Mungkin dia lelah.
“Minum dulu Nong, biar nggak haus.” Dengan wajah ramah dan sedikit senyum tipis, aku menawarkan sebotol minuman.
“Nggak kak, Terima kasih.” Wajahnya yang pucat, dengan senyum ramah membuat aku semakin klepek klepek. Terus terang, saat ia menolak, aku begitu tersinggung.
            Tingginya tanjakan ini, membuat cerita tersendiri, dan pasti takkan ada yang bisa melupakan. Apa lagi Desya, yang punya berat badan diatas rata rata. Tapi, aku kagum dengan semua peserta. wajah wajah yang imut, lucu dan cantik ini, ternyata tak se apa yang aku kira.
Lagi-lagi, disini aku tak menemukan cinta,
 “ Mitos tentang tanjakan cinta hanyalah omong kosong.” Aku menggerutu dalam hati.
 Berada di ketinggian, membuatku semakin puas menyaksikan pemandangan pegunungan Baduy yang mungkin bisa disebut masih perawan. Kurang lebih 30 menit lagi kita bisa sampai ke Kampung Cibeo.
Akhirnya sampai juga di perkampungan Cibeo, untuk kedua kalinya, aku menginjakan kaki di Kampung ini. Seandainya disini dibolehkan untuk menetap, sudah pasti aku akan lebih memilih untuk tinggal disini, karena penduduk disini begitu ramah dan hidup penuh dengan kesederhanaan, kebersamaan, rukun, damai, dan tak ada persaingan hidup. Sungguh disayangkan, setiap pengunjung hanya dibolehkan menginap satu malam.
Matahari semakin bergeser dan tenggelam ke arah barat, seiring senja yang perlahan pancarkan cahaya jingga. Udara sejuk semakin terasa, kala dingin sungai mengguyur seluruh tubuhku, rasa lelah seakan hanyut terbawa riak air yang jernih.
Selepas maghrib sebelum isya. Aku, Acil, dan Jack. menjemput para wanita yang sedang asik mandi di pancuran, karena hari semakin gelap dan mereka tak membawa penerang, khawatir mereka tersesat atau mungkin di culik orang. Sambil menunggu para bidadari mandi, aku duduk di atas jambatan, aku melihat puluhan kunang kunang yang brkedip bergantian  seperti lampu hias yang biasa kulihat di pesta pernikahan, atau lampu hias yang berada di trotoar  jalan Ahmad Yani. Sungguh indah dan menakjubkan mata, di iringi derit bambu yang bergoyang mengikuti angin, sehingga membentuk irama tersendiri, membuat gelap menjadi lebih berwarna. Tapi, belum puas aku menyaksikan keindahan ini, para bidadari telah selesai membersihkan dirinya.
Setelah solat, kami langsung makan secara berjamaah. Gadis berkerudung orange duduk di sebelah kiri ku, dalam remang remang cahaya lampu minyak, aku mengamati wajahnya, yang begitu khusyuk menyantap makanan walau lauknya hanya mie goreng dan sarden, mungkin dia lapar.
Sehabis makan, acara selanjutnya adalah diskusi dengan warga Baduy. Banyak sekali pertanyaan yang dilemparkan peserta, seputar Baduy dan kehidupanya,  nampaknya para peserta begitu puas dan banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik seputar adat dan peraturan Baduy.
 Malam semakin meninggi, angin menyelinap masuk dari celah celah bilik bambu. Diskusipun di hentikan, karena kami semua butuh istirahat, setelah setengah hari berjalan, dan besok pun masih harus melakukan perjalanan pulang.
Tidur satu atap dengan para wanita, tanpa kamar, dan hanya di batasi dengan tirai yang dibentangkan, sudah pasti suara bisik bisikpun terdengar,  entah mengapa,  malam ini aku tak bisa terlelap, mungkin karena para peserta yang terlalu berisik atau apa, entahlah
Dingin malam semakin menusuk, beruntung masih ada tungku yang menjadi pengahangat. Ternyata bukana cuma aku yang tak bisa tidur, Pak Koelit, Agus dan Ibad pun tak bisa memejamkan matanya, sambil menikmati kopi panas dan bercerita tentang sejarah Banten, membuat waktu seakan berjalan lebih cepat, tak terasa waktu hampir pagi.
Pagi yang cerah, secerah wajaha anak anak Baduy yang sedang bermain, sedangkan orang tua mereka mulai mempersiapkan diri untuk pergi ke ladang, para peserta sudah bersiap siap, rencananya selepas sarapan. Akan dilanjutkan dengan Perjalanan pulang.
Semalaman tak tidur. Sudah pasti, kondisi badanpun kurang enak dirasa, mudah mudahan tak berkepanjangan. Karena, rute perjalanan pulang lebih jauh dari perjalanan berngkat kemarin, tujuanya agar bisa melihat keindahan jembatan akar dan bisa mandi disana.
Bismillahir rohmani rrohiim.. mengawali keberangkatan pulang. Kali ini misiku harus berhasil untuk mendapatkan tempat, di hati wanita yang kemarin berkerudung orange. Setelah mengisi botol kosong  di pancuran , perjalanan pun di mulai, langkah pertama yang kita tapaki adalah tanjakan. Aku yang masih sedikit malu, akhirnya mencoba menawarkan sebotol  air,
“Nong, mau minum?”
“Nggak kak, terima kasih. Aku lagi puasa.!” Jawabnya membuat aku tersentak dan berdecak kagum.
“Dalam rangka apa, Nong?”
“Nadzar  kak. Aku punya nadzar, untuk berpuasa 7hari berturut turut, Alhamdulillah hari ini yang ke 7.”   kekagumanku semakin membuat perasaanku menjadi jadi. ‘Subhanallah’
“Namaku uky, namamu siapa?”
“Panggil aja Lyan.!”
            Berkenalan diatas tanjakan, memang memberi cerita tersendiri, apa lagi wanita yang kukenal ini, adalah wanita super hebat. Bayangkan saja, dalam keadaan berpuasa dia mampu  melewati rintangan yang begitu berat. Alhamdulillah yah.. sesuatu banget.
            Bibirnya mulai mengering, pijakan kakinya mulai gontai. Sesekali dia terpeleset saat menginjak batu batu yang licin. Aku tak tega melihatnya, aku coba mengulurkan tangan untuk membantunya. Diapun menyambut uluran tanganku, tanganya begitu dingin dan lembut. Genggaman tangan ini, rasanya tak ingin kulepaskan. lagi lagi, rasa malu membuatku semakin bersegera melepasnya.
            Rute perjalanan tak melewati jalur yang biasa dilewati, karena ada sesuatu hal, sehingga kita harus memutar lebih jauh untuk mencapai jembatan akar. Setelah melewati tanjakan demi tanjakan. Akhirnya ketemu juga sama turunan. Turunan ini begitu curam dan becek, batu batu lancip ditutupi rerumputan membuat turunan ini nampak begitu ekstrim, mungkin jalan ini jarang dilalui orang. bisa jadi, karena di Baduy tak ada orang, yang ada adalah jeulma.
            Fikiranku semakin tertuju pada Lyan.  karena aku semakin tak tega melihatnya. Kembali, aku mengulurkan tanganku, dan membuang sejenak rasa malu. Tubuhnya yang mulai melemah, membuat pegangan tangannya semakin lebih kuat. Tapi apa yang kurasa, dalam genggaman tangan itu, jantungku berdetak lebih kencang, fikiranku melayang dan berandai andai,  Bukan karena turunan, tapi karena perasaan sayang. Yah, aku semakin merasa sayang. Genggaman tanganya begitu hangat, aku belum pernah merasakan perasaan sayang yang sebegitu hebatnya. Andai Lyan tau apa yang kurasa, dan andai aku tahu apa yang Lyan rasa, mungkin tak begini jadinya. “Aduhh.. Aku terjebak cinta lokasi, mungkinkah dia punya perasaan yang sama denganku.!”
            Tanjakan cinta, tak berarti  dan tak berkesan bagiku. Karena yang membuat ku terkesan justru turunan ini, mungkin aku akan menyebutnya Turunan Sayang . karena, disini aku menemukan rasa sayang yang membludak lewat genggaman tangan gadis Cikupa. Tentang peserta yang lain, aku pun tak tahu. Mungkin Agus sudah menemukan sosok Tuti disini, atau mungkin masih menyusun rencana untuk mengajak Tuti melewati turunan ini.  Sedangkan jack, masih mengatur jadwal. Nanti pada waktu musim durian akan mengajak  Rey melintasi turunan ini, bisa jadi.
            Gemericik air sungai membuatku harus rela melepas genggaman tangan itu, aku masih merasakan kehangatan dan debaran jantung, aku tak kuasa menyembunyikan perasaan ini, hingga aku memutuskan untuk sedikit menjauh dari rombongan, agar bisa memandang wajahnya.
            Hidup adalah perjalanan. Terkadang kita harus melewati rintangan yang berat, untuk mencapai sesuatu yang indah. Butuh semangat, dan optimisme yang tinggi.  Agar keindahan semakin membahagia.
            Aku termenung  dan  berfikir sejenak, atas apa yang kurasa , ”semudah inikah jatuh cinta, atau cinta yang datang hanyalah sekedar lintasan perasaan.?” Entahlah, aku semakin bingung, saat kata cinta mendarat terlalu cepat, dalam kebingungan, isi kepalaku berdiskusi dengan isi hatiku, hingga terucap, kata sepakat .”Aku  jatuh cinta” dan biarlah, jembatan akar yang akan menjadi saksi, disana akan ku ungkapkan perasaanku pada Lyan
            Hari semakin siang, perjalananpun dilanjutkan, kali ini kami melewati pinggiran sungai, sudah hampir 3 jam berjalan, tentu saja semakin menguras tenaga, wajah  Lyan semakin pucat, aku semakin kasihan melihatnya, andai saja Lyan bersedia untuk ku gendong, tentu saja sudah ku gendong dirinya.
            Di sebuah perkampungan, kami berhenti sejenak. Lyan membuka sepatu dan kaos kaki, wajahnya meringis kesakitan, nampak luka mengangah di telapak kakinya. Aduh,, cobaan apa lagi yang menimpa wanita manis ini, Untunglah kami membawa persedian P3K.
            Sudah menjadi hal yang biasa, dalam suatu tim, pasti terjadi perbedaan pendapat atau perubahan rencana. Sebagian peserta ada yang ingin  segera pulang ke Ciboleger, karena mungkin sudah lapar, atau hawatir ketinggalan shalat dzuhur. Ada juga yang pingin ke jembatan akar, kali ini pilhanku dan Lyan bersebrangan, Lyan lebih memilih pulang ke Ciboleger karena memang harus istirahat, sedangkan aku ke jembatan akar.
            Di perjalanan aku begitu menghawatirkan kondisi Lyan. Dan aku juga harus melupakan rencana semula, untuk  nembak  Lyan di jembatan akar. Semoga Lyan kuat, sampai tujuan. Harusnya semua peserta ikut, biar rame dan kebersamaanya dapet. Tapi apalah daya, kita harus bersikap demokrasi dan tak bisa memaksakan kehendak.
            Di jembatan akar, kami langsung membuka pakain, karena jernih air begitu menggoda. melihat Pak Koelit melompat dari jembatan akar, aku pun tertantang, sehingga aku memberanikan diri untuk melompat dari jembatan yang tingginya kurang lebih 20m.
            Setelah puas mandi dan bermain air, kami segera mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan. Kurang lebih 2jam lagi kita akan sampai ke Ciboleger, melewati jalanan yang tak jauh berbeda dengan jalan sebelumnya, hanya saja setelah keluar dari dalam hutan, kita akan menemui hamparan sawah luas yang terbelah dengan jalan aspal, langkah demi langkah telah kita tapaki, dibawah sinar matahari yang memanggang kulit, akhirnya sampai juga di Ciboleger.
            Sesampainya diwarung  yang sekaligus tempat penitipan motor, aku beristirahat sambil menikmati kopi, jam menunjukan pukul 14:15 wib. aku yang belum melaksanakan kewajiban, langsung bergegas, selepas menunaikan solat dzuhur yang ku jamak dengan ashar. Aku merebahkan diri diatas keramik musholah, karena terlalu lelah dan mengantuk. Wajar saja karena dari semalam aku tak tidur.
“Kak.. bangun, udah mau pulang.” Suara Lyan membangunkan istirahatku.
“Hmmm… Iya..” aku yang masih mengantuk  seakan enggan untuk bangun, tapi apalah daya waktu pulang talah tiba.
            Sebelum pulang, semua peserta berpose di bawah patung Baduy . dan akhirnya kita pulang, melewati rute yang sama dengan keberangkatan. Lyan sudah berboncengan denganku, rasa deg degan, bercampur ngantuk, tapi mudah mudahan tak terjadi apa apa dijalan. Go go go… semangat
            Menikmati suasana  sore di jalan Rangkas,  laju motor semakin santai,  sembari ngabuburit. Sesampainya di daerah Petir, adzan maghrib pun terdengar, di depan toko swalayan  kita berhenti sejenak untuk membeli minuman untuk berbuka puasa.
            Perjlanan dilanjutkan, selepas maghrib sebelum isya, kita telah kembali berkumpul di pelataran kampus, dan langsung ke musholah untuk menunaikan solat maghrib. Selepas solat maghrib, ada pembagian  jatah nasi uduk,
            Di pelataran musholah, kami berkumpul dan bercerita seputar perjalan ke Baduy, ada keluh kesah dan ada pula kata puas, mungkin akan ada satu alasan untuk kembali ke Baduy.
            Setelah dirasa cukup, kalimat Alfatihah menutup perjalanan kali ini.
“Kak, anter Lyan pulang yah,?
“ Siap ,, Yan, “
            Di tengah perjalanan menuju asrama Lyan, ingin sekali ku utarakan perasaan ini, namun setiap kali ingin ku ucapkan, mulutku semakin mengatup, “Ahh.. se sulit inikah mengungkapkan cinta.”
            Didepan gerbang asrama, tepatnya di belakang MTS N, motorku berhenti.
“Terima kasih kak, maaf udah ngerepotin”
“Sama sama Yan.”
Lyan nampak begitu buru buru, takut ketahuan ibu asrama mungkin, aduhh.. padahal aku masih punya sesuatu yang belum ku ungkapkan.
Uluran tangan, dan ucapan hati hati dijalan. Mengahiri pertemuan kali ini.
            Ada perpisahan dalam setiap pertemuan. Selama Silaturrahmi tetap terjaga, perpisahan bukanlah akhir dari sebuah pertemuan. biarlah perpisahan ini menjadi  jedah pertemuan kita, hingga nanti kita kembali bertemu, dan semoga kita tak terpisahkan  waktu dan jarak.
                        Ly..  ada kata yang masih tersimpan , dalam ucap yang belum sempat terucap. Semoga kau mengerti isyarat  yang kutuang dalam tulisan. “AKU SAYANG KAMU”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar