Kamis, 07 November 2013

mengenal kearifan 'BADUY' bareng Backpacker koprol



            Adzan subuh masih terngiang ditelingaku. Mentari, masih mengintip malu dibalik awan. Samar-samar cahayanya perlahan mengupas gelap subuh. Hanya kicauan burung kutilang yang terdengar, seolah mengabarkan, hawa diluar masih dingin.
            Bismillahirrohmanirrohim… ransel hitam aku gendong.

“stasiun kereta bang”
“Alhamdulillah, penglaris” jawab tukang ojek, sambil memakai helm.
Jalur Karang antu-Pasar rau, masih terlihat sepi. Hanya beberapa kendaraan yang melintasi jalur yang biasa dipenuhi kendaraan para peziarah ini. Hanya butuh waktu 15 menit, untuk sampai ke stasiun kereta Serang. “Ngikkk..”  suara derit rem terdengar. Motor pun berhenti tepat di depan pintu gerbang stasiun.
“terima kasih bang!.” Seruku sambil menyodorkan lembaran lima ribuan.
            Di pelataran stasiun masih terlihat sepi, hanya bebarapa calon penumpang saja yang sedang mengantri di depan loket, jam di ponselku masih menunjukan pukul 06:15wib. Aku bingung, karena tak banyak teman yang kukenal dalam Trip Baduyi ini. Mungkin mereka juga sudah sampai disini, tapi ya sudahlah, lebih baik Menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi hangat di warung emperan pinggir jalan. Segelas kopi sudah mampir ke tenggorokanku. Didepan gerbang staasiun, sebuah angkot berwarna biru berhenti. Satu per satu penumpang turun, dengan menggendong ransel. Dari sekian banyak orang, hanya satu orang yang ku kenal. namanya bang Sarwani atau lebih akrab dikenal dengan nama bang Jack Alwi.
            Perkenalan dan ramah tamah pun terjadi, senang rasanya bisa berkenalan dengan mereka,  ternyata, mereka bukan hanya warga Serang. Tapi dari Jakarta, Depok, Tangerang, Bandung. Jogjakarta, Lampung dan Palembang.  Tiket kereta pun dibagikan kepada 26 peserta. “wah,, ternyata murah banget yah, hanya dengan 4000,- bisa sampai Rangkas.
            Hari ini. 28 september 2013. Tepat pukul 06:55 wib. pertama kali nya, aku naik kereta dan pertama kali pula aku ikut acara Backpacker. yahh,, boleh dibilang aku adalah mu’alaf Backpacker. Seperti inilah suasana kereta. Bising, banyak sekali para pedagang asongan yangberlalu lalang menjajakan barang dagangannya, ada pengamen, pengemis,tukang semir sepatu, “ahh,, alamat nggak bisa tidur nih.”
            Satu jam sudah menikmati kebisingan kereta. Kami pun sampai di stasiun Rangkas. Kemudian, nyambung naik angkot jurusan terminal Aweh. Ongkosnya tiga ribu rupiah. Dari terminal Aweh, nyambung lagi, naik mobil Elf. Dengan ongkos 20.000.- per orang. mobil berangkat pukul 08:30 wib. berhubung jumlah kami lumayan banyak. Aku, bang Jack, bang Alvie, dan bang Arif. Duduk dibagian atas mobil.
            Angin menampar-nampar wajah kami. Namun, kami begitu menikmati pemandangan ini. Pandangan kami terbebas, menatap hijaunya persawahan. Tapi, ada yang mengganggu dan membuatku sedih, saat melihat gunung yang direnggut keperkasaannya, ulah para penambang pasir yang mengeruk keuntungan.
            Pukul 10:00 wib. Putaran roda terhenti, di terminal Ciboleger. Terminal ini merupakan batas akhir kendaraan, untuk menuju Baduy. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Melewati kios-kios yang banyak  menawarkan oleh-oleh khas Baduy. Seperti: madu, tas koja, gula aren, kain tenun, pernak-pernik dan oleh-oleh khas Baduy lainya. Tak jauh dari kios ini, kami beristirahat di  kampung kaduketug (Baduy luar). Kampung inilah yang menjadi kampung pertama yang kami lalui untuk menuju Baduy. Kami istirahat sejenak, untuk makan siang di rumah kang Sarkam. Kami, akan menyusuri Baduy ditemani empat orang warga kampung Cibeo ( Baduy dalam)  yang merupakan kampong tujuan kami. Mereka adalah Naldi, ayah Naldi, Hidong, dan Sangsang.
            Setelah makan siang, perjalanan di lanjutkan, diawali dengan doa dan sedikit stimulasi dari bang Jack. tentang cara mendaki gunung.
“ketika bernafas, sebaiknya sirkulasi udara dilakukan lewat hidung saja” sambil praktik
“jika lelah, sebaiknya kaki diluruskan, jangan ditekuk atau nongkrong”
            Kami melanjutkan perjalanan pada pukul  11:30 wib. kurang lebih, membutuhkan waktu, empat jam. Untuk sampai tujuan.
            Entah, berapa ribu jejak kaki yang sudah kami tinggalkan, diatas batu-batu yang tersusun tak rapih. Melewati perkampungan dan membelah hutan. Keringat mengalir deras, jatuh dan pecah diatas dedaunan kering.
            Jaru jam menunjukan pukul 13:00 wib, akhirnya kami berhenti sejenak di kampung Gajeboh, untuk menunaikan sholat dzuhur,, alamakkkkkk…. Mataku terpana, saat duduk diatas teras bambu yang berukuran dua meter ini. Disebrang rumah yang aku singgahi, Nampak seorang gadis cantik yang sedang menenun, wajahnya putih bercahaya, bibir merah merekah, rambutnya yan lurus, diikat kebelakang. Poninya miring kiri, sedikit menutupi alisnya yang hitam, wajahnya tertunduk malu dan mengulum senyum. Mungkin, ini yang dinamakan cantik alami, tanpa kosmetik dan tanpa pengawet, hehehe,, gemericik air sungai, kamipun berwudhu.
            Selepas sholat, perjalanan pun dilanjutkan. Melewati beberapa jembatan bambu, atau yang disebut ‘rawayan’. Akhirnya kami sampai pada jembatan perbatasan antara Baduy luar dan Baduy dalam. Disini ada larangan untuk mengambil gambar apapun dari Baduy dalam. Tak jauh dari jembatan ini, kami bertemu dengan ‘tanjakan tembayang’ ataua yang biasa disebut tanjakan cinta.  Konon, tanjakan ini memiliki mitos, bila naik bersama kekasih, dan saling berpegangan tangan tanpa menengok kebawah, maka cintanya akan langgeng.  Aku menoleh ke belakang, dan aku tersenyum. Ini bukan tentang cinta, tapi Latif.  Pria sehat berambut gondrong, asal jogja ini tetap bersemangat walau ngos-ngosan “huhh.. bisa turun tiga kilo nih, berat badanku.”
            Akhirnya sampai juga di kampong Cibeo, bentuk rumah di Baduy dalam hampir mirip dengan Baduy  luar, berdinding anyaman bamboo, berlantai bamboo, dan beratap weulit. Hanya saja, teras disini berukuran lebih kecil, kurang lebih 1 meter. Pakaian Baduy dalam hanya dua jenis saja, hitam atau  putih, dan ber ikat kepala berwarna putih. Berbeda dengan Baduy luar yang memakai pakaian dengan banyak warna, ikat kepala nya berwarna biru.
            Sekedar pemberitahuan,,” jangan jual sandal dan sepatu pada orang Baduy. Karena mereka nggak ada yang pakai alas kaki” hehehe..
            Gerah semakin terasa, kami pergi kesungai untuk mandi, di sini ada larangan untuk menggunakan, deterjen, sabun, sampo, odol dan semua bahan-bahan yang berbau kimia. Agar alam tetap terjaga. Ujar seorang warga, jernih dan dingin, membuat kami semakin betah bermain air dan berendam. Seakan lelah yang sempat terasa, hanyuit terbawa riaknya air.
Selepas maghrib sebelum isya. Kami berkumpul, untuk makan malam secara berjamaah, dilanjutkan dengan perkenalan dan Tanya jawab dengan warga Cibeo, seputar kehidupan Baduy. Satu persatu peserta mengajukan pertanyaan.
            Banyak peraturan tanpa tertulis disini. Diantranya: dilarang merokok, beternak hewan berkaki empat. Memakan daging kambing, menggunakan barang-barang elektronik. Memakai alas kaki, naik kendaraan. Dan lain-lain. Peraturan tanpa tertulis ini mereka pegang teguh. “Pamali dan takut kawalat, juga bisa kena hukuman”. Konon tutur salah satu warga Baduy dalam.
            Sistem pernikahan disini masih menggunakan sistem perjodohan. Tidak boleh pacaran, namun diperbolehkan mengobrol dengan catatan, harus lebih dari satu pasangan, dan duduk terpisah,’ ngarunghal’ atau langkahan, tidak di perboleh kan, yang lebih tua harus lebih dulu menikah. Hanya boleh monogami. Berceraipun tidak di izinkan. Kecuali, ada salah seorang dari pasangan, meninggal dunia.maka di perbolehkan untuk menikah lagi.
            Panggilan mereka pun terkesan unik. Jika seorang bapak mempunyai anak. Maka akan di panggil dengan sebutan nama anaknya, contoh: mang Simin punya anak namanya Naldi, maka akan dipanggil ayah Naldi.
            Lampu berbahan minyak kelapa ini, semakin membuat mata kami tak bisa diajak kompromi. Tanpa nyamuk, pastilah membuat tidur kami semakin nyenyak. Tidak perlu gembok yang besar untuk mengunci pintu, karena disini tidak ada yang namanya Maling.Apalagi koruptor. Kalau sudah begini, sudah barang tentu, nggak perlu lagi yang namanya Polisi atau KPK.
            Pagi yang dingin, memaksaku menghampiri kang Naldi yang sedang memasak di tungku, didalam rumah yang berlantai bambu, dilapisi tanah liat, diletakan sebuah tungku yang terbuat dari tanah dengan dua buah lubang ditengahnya, kan Naldi memasak dengan kayu bakar. Tapi , anehnya tidak banyak asap dan tidak pengap.
“tungku nya, kenapa nggak langsung ketanah aja kang?” Tanya ku penasaran dan khawatir kebakaran.
“kami nggak mau menyakiti bumi” jawabnya sembari menciduk air panas, dengan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan bergagang kayu. Lalu menuangkan kedalam gelas  bambu yang sudah ku isi dengan gula dan kopi.
            Di setiap perkampungan Baduy dalam, hanya boleh menginap satu malam saja, sehingga kamipun harus pulang. Setelah sarapan pukul 07:30wib. kami bersegera untuk meninggalkan kampong Cibeo. Rute perjalanan pulang tidak melalui jalur yang kemarin. Lewat jalur utara, agar  bisa melihat jembatan akar.
            Tiga jam sudah menyusuri bukit,dan  membelah hutan. Akhirnya, sampai juga di jembatan akar. Konon katanya, jembatan ini hanya jembatan bambu, seiring berjalanya waktu, jembatan ini di rambati akar-akar pohon yang rimbun. sehingga terjadilah jembatan akar. Kami tidak mau melewati moment indah ini. Para peserta satu persatu memasang pose dibalik lensa,, 1,,2,,3… jepretttt..
            Gemericik air semakin menggoda, membuat kami semakin berhasrat untuk berendam. Tapi, belum puas kami berendam. Gelondongan-gelondongan kayu melintas, orang-orang di sini menggunakan sungai sebagai sarana untuk menjual kau ke kota.
            Kurang  lebih separuh perjalanan lagi yang akan kita lalui. Cukup melelahkan. Aku kagum dengan semangat Nci, kondisi badan nya kurang stabil, mual, dan tubuhnya begitu dingin  tapi dia tetap semangat, apa  mungkin Kakak dan Dimas yang membuatnya tetap bersemangat, yah Kakak dan Dimas adalah Backpacker cilik, Usia nya kurang lebih 7 dan 9 tahun.
            Di ujung perkampungan Baduy luar, sudah tersedia jasa ojek, ongkosnya 25.000,- Sampai ke terminal Ciboleger, tapi, kami lebih memilih berjalan kaki,  menikmati bukit yang menghijau dan hamparan sawah yang luas, terbelah jalan aspal yang kami lalui. Gadis manis berkerudung merah, Nilla namanya, semangatnya sama dengan Nci. Nilla yang sejak tadi menahan perih, lantaran ibu jari dan kelingking nya lecet, akibat gesekan dari sepatu,, yahh, mereka semua menyenangkan, perjalanan yang jauh pun terasa lebih indah, apalagi ada Efri. pasti tambah rame dan seru. Hehe. Walaupun sekarang nggak lagi musim duren, tapi semangkuk bubur sum-sum, dan es sekoteng, cukup lezat untuk di nikmati..
            Tak terasa, kita sudah sampai di Ciboleger, jam sudah  menunjukan pukul 13:00 wib. kami beristirahat dan makana siang dirumah kang Sarkam,
            Kami pulang membawa pesan perdamain, banyak belajar tentang kehidupan di  Baduy. Kesederhanaan.  mereka mencintai alam dan sesama. Senyum ramah, taat pada pearaturan dan banyak lagi kearifan  yang jarang sekali aku temui dari wajah-wajah yang menyebut dirinya manusia modern.
            Mobil truck telah menanti. Saat nya lambaikan tangan,, Baduy,, suatu saat. Aku pasti kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar