Adzan subuh masih terngiang
ditelingaku. Mentari, masih mengintip malu dibalik awan. Samar-samar cahayanya
perlahan mengupas gelap subuh. Hanya kicauan burung kutilang yang terdengar,
seolah mengabarkan, hawa diluar masih dingin.
Bismillahirrohmanirrohim… ransel
hitam aku gendong.
“stasiun
kereta bang”
“Alhamdulillah,
penglaris” jawab tukang ojek, sambil memakai helm.
Jalur
Karang antu-Pasar rau, masih terlihat sepi. Hanya beberapa kendaraan yang
melintasi jalur yang biasa dipenuhi kendaraan para peziarah ini. Hanya butuh
waktu 15 menit, untuk sampai ke stasiun kereta Serang. “Ngikkk..” suara derit rem terdengar. Motor pun berhenti
tepat di depan pintu gerbang stasiun.
“terima
kasih bang!.” Seruku sambil menyodorkan lembaran lima ribuan.
Di pelataran stasiun masih terlihat
sepi, hanya bebarapa calon penumpang saja yang sedang mengantri di depan loket,
jam di ponselku masih menunjukan pukul 06:15wib. Aku bingung, karena tak banyak
teman yang kukenal dalam Trip Baduyi ini. Mungkin mereka juga sudah sampai
disini, tapi ya sudahlah, lebih baik Menikmati suasana pagi dengan secangkir
kopi hangat di warung emperan pinggir jalan. Segelas kopi sudah mampir ke
tenggorokanku. Didepan gerbang staasiun, sebuah angkot berwarna biru berhenti.
Satu per satu penumpang turun, dengan menggendong ransel. Dari sekian banyak
orang, hanya satu orang yang ku kenal. namanya bang Sarwani atau lebih akrab
dikenal dengan nama bang Jack Alwi.
Perkenalan dan ramah tamah pun
terjadi, senang rasanya bisa berkenalan dengan mereka, ternyata, mereka bukan hanya warga Serang.
Tapi dari Jakarta, Depok, Tangerang, Bandung. Jogjakarta, Lampung dan
Palembang. Tiket kereta pun dibagikan
kepada 26 peserta. “wah,, ternyata murah banget yah, hanya dengan 4000,- bisa
sampai Rangkas.
Hari ini. 28 september 2013. Tepat pukul
06:55 wib. pertama kali nya, aku naik kereta dan pertama kali pula aku ikut
acara Backpacker. yahh,, boleh dibilang aku adalah mu’alaf Backpacker. Seperti inilah
suasana kereta. Bising, banyak sekali para pedagang asongan yangberlalu lalang
menjajakan barang dagangannya, ada pengamen, pengemis,tukang semir sepatu, “ahh,,
alamat nggak bisa tidur nih.”
Satu jam sudah menikmati kebisingan
kereta. Kami pun sampai di stasiun Rangkas. Kemudian, nyambung naik angkot
jurusan terminal Aweh. Ongkosnya tiga ribu rupiah. Dari terminal Aweh, nyambung
lagi, naik mobil Elf. Dengan ongkos 20.000.- per orang. mobil berangkat pukul
08:30 wib. berhubung jumlah kami lumayan banyak. Aku, bang Jack, bang Alvie,
dan bang Arif. Duduk dibagian atas mobil.
Angin menampar-nampar wajah kami. Namun,
kami begitu menikmati pemandangan ini. Pandangan kami terbebas, menatap
hijaunya persawahan. Tapi, ada yang mengganggu dan membuatku sedih, saat melihat
gunung yang direnggut keperkasaannya, ulah para penambang pasir yang mengeruk
keuntungan.
Pukul 10:00 wib. Putaran roda
terhenti, di terminal Ciboleger. Terminal ini merupakan batas akhir kendaraan,
untuk menuju Baduy. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Melewati kios-kios
yang banyak menawarkan oleh-oleh khas Baduy.
Seperti: madu, tas koja, gula aren, kain tenun, pernak-pernik dan oleh-oleh
khas Baduy lainya. Tak jauh dari kios ini, kami beristirahat di kampung kaduketug (Baduy luar). Kampung inilah
yang menjadi kampung pertama yang kami lalui untuk menuju Baduy. Kami istirahat
sejenak, untuk makan siang di rumah kang Sarkam. Kami, akan menyusuri Baduy ditemani
empat orang warga kampung Cibeo ( Baduy dalam)
yang merupakan kampong tujuan kami. Mereka adalah Naldi, ayah Naldi,
Hidong, dan Sangsang.
Setelah makan siang, perjalanan di
lanjutkan, diawali dengan doa dan sedikit stimulasi dari bang Jack. tentang
cara mendaki gunung.
“ketika
bernafas, sebaiknya sirkulasi udara dilakukan lewat hidung saja” sambil praktik
“jika
lelah, sebaiknya kaki diluruskan, jangan ditekuk atau nongkrong”
Kami melanjutkan perjalanan pada pukul
11:30 wib. kurang lebih, membutuhkan
waktu, empat jam. Untuk sampai tujuan.
Entah, berapa ribu jejak kaki yang
sudah kami tinggalkan, diatas batu-batu yang tersusun tak rapih. Melewati perkampungan
dan membelah hutan. Keringat mengalir deras, jatuh dan pecah diatas dedaunan
kering.
Jaru jam menunjukan pukul 13:00 wib,
akhirnya kami berhenti sejenak di kampung Gajeboh, untuk menunaikan sholat
dzuhur,, alamakkkkkk…. Mataku terpana, saat duduk diatas teras bambu yang
berukuran dua meter ini. Disebrang rumah yang aku singgahi, Nampak seorang
gadis cantik yang sedang menenun, wajahnya putih bercahaya, bibir merah
merekah, rambutnya yan lurus, diikat kebelakang. Poninya miring kiri, sedikit
menutupi alisnya yang hitam, wajahnya tertunduk malu dan mengulum senyum. Mungkin,
ini yang dinamakan cantik alami, tanpa kosmetik dan tanpa pengawet, hehehe,,
gemericik air sungai, kamipun berwudhu.
Selepas sholat, perjalanan pun
dilanjutkan. Melewati beberapa jembatan bambu, atau yang disebut ‘rawayan’. Akhirnya
kami sampai pada jembatan perbatasan antara Baduy luar dan Baduy dalam. Disini ada
larangan untuk mengambil gambar apapun dari Baduy dalam. Tak jauh dari jembatan
ini, kami bertemu dengan ‘tanjakan tembayang’ ataua yang biasa disebut tanjakan
cinta. Konon, tanjakan ini memiliki
mitos, bila naik bersama kekasih, dan saling berpegangan tangan tanpa menengok
kebawah, maka cintanya akan langgeng. Aku
menoleh ke belakang, dan aku tersenyum. Ini bukan tentang cinta, tapi Latif. Pria sehat berambut gondrong, asal jogja ini
tetap bersemangat walau ngos-ngosan “huhh.. bisa turun tiga kilo nih, berat
badanku.”
Akhirnya sampai juga di kampong Cibeo,
bentuk rumah di Baduy dalam hampir mirip dengan Baduy luar, berdinding anyaman bamboo, berlantai bamboo,
dan beratap weulit. Hanya saja, teras disini berukuran lebih kecil, kurang
lebih 1 meter. Pakaian Baduy dalam hanya dua jenis saja, hitam atau putih, dan ber ikat kepala berwarna putih. Berbeda
dengan Baduy luar yang memakai pakaian dengan banyak warna, ikat kepala nya
berwarna biru.
Sekedar pemberitahuan,,” jangan jual
sandal dan sepatu pada orang Baduy. Karena mereka nggak ada yang pakai alas
kaki” hehehe..
Gerah semakin terasa, kami pergi
kesungai untuk mandi, di sini ada larangan untuk menggunakan, deterjen, sabun,
sampo, odol dan semua bahan-bahan yang berbau kimia. Agar alam tetap terjaga. Ujar
seorang warga, jernih dan dingin, membuat kami semakin betah bermain air dan
berendam. Seakan lelah yang sempat terasa, hanyuit terbawa riaknya air.
Selepas
maghrib sebelum isya. Kami berkumpul, untuk makan malam secara berjamaah,
dilanjutkan dengan perkenalan dan Tanya jawab dengan warga Cibeo, seputar
kehidupan Baduy. Satu persatu peserta mengajukan pertanyaan.
Banyak peraturan tanpa tertulis
disini. Diantranya: dilarang merokok, beternak hewan berkaki empat. Memakan daging
kambing, menggunakan barang-barang elektronik. Memakai alas kaki, naik
kendaraan. Dan lain-lain. Peraturan tanpa tertulis ini mereka pegang teguh. “Pamali
dan takut kawalat, juga bisa kena hukuman”. Konon tutur salah satu warga Baduy
dalam.
Sistem pernikahan disini masih
menggunakan sistem perjodohan. Tidak boleh pacaran, namun diperbolehkan mengobrol
dengan catatan, harus lebih dari satu pasangan, dan duduk terpisah,’ ngarunghal’
atau langkahan, tidak di perboleh kan, yang lebih tua harus lebih dulu menikah.
Hanya boleh monogami. Berceraipun tidak di izinkan. Kecuali, ada salah seorang
dari pasangan, meninggal dunia.maka di perbolehkan untuk menikah lagi.
Panggilan mereka pun terkesan unik. Jika
seorang bapak mempunyai anak. Maka akan di panggil dengan sebutan nama anaknya,
contoh: mang Simin punya anak namanya Naldi, maka akan dipanggil ayah Naldi.
Lampu berbahan minyak kelapa ini,
semakin membuat mata kami tak bisa diajak kompromi. Tanpa nyamuk, pastilah
membuat tidur kami semakin nyenyak. Tidak perlu gembok yang besar untuk
mengunci pintu, karena disini tidak ada yang namanya Maling.Apalagi koruptor. Kalau
sudah begini, sudah barang tentu, nggak perlu lagi yang namanya Polisi atau
KPK.
Pagi yang dingin, memaksaku
menghampiri kang Naldi yang sedang memasak di tungku, didalam rumah yang
berlantai bambu, dilapisi tanah liat, diletakan sebuah tungku yang terbuat dari
tanah dengan dua buah lubang ditengahnya, kan Naldi memasak dengan kayu bakar. Tapi
, anehnya tidak banyak asap dan tidak pengap.
“tungku
nya, kenapa nggak langsung ketanah aja kang?” Tanya ku penasaran dan khawatir
kebakaran.
“kami
nggak mau menyakiti bumi” jawabnya sembari menciduk air panas, dengan gayung
yang terbuat dari tempurung kelapa dan bergagang kayu. Lalu menuangkan kedalam
gelas bambu yang sudah ku isi dengan
gula dan kopi.
Di setiap perkampungan Baduy dalam,
hanya boleh menginap satu malam saja, sehingga kamipun harus pulang. Setelah sarapan
pukul 07:30wib. kami bersegera untuk meninggalkan kampong Cibeo. Rute perjalanan
pulang tidak melalui jalur yang kemarin. Lewat jalur utara, agar bisa melihat jembatan akar.
Tiga jam sudah menyusuri bukit,dan membelah hutan. Akhirnya, sampai juga di
jembatan akar. Konon katanya, jembatan ini hanya jembatan bambu, seiring
berjalanya waktu, jembatan ini di rambati akar-akar pohon yang rimbun. sehingga
terjadilah jembatan akar. Kami tidak mau melewati moment indah ini. Para peserta
satu persatu memasang pose dibalik lensa,, 1,,2,,3… jepretttt..
Gemericik air semakin menggoda,
membuat kami semakin berhasrat untuk berendam. Tapi, belum puas kami berendam. Gelondongan-gelondongan
kayu melintas, orang-orang di sini menggunakan sungai sebagai sarana untuk menjual
kau ke kota.
Kurang lebih separuh perjalanan lagi yang akan kita
lalui. Cukup melelahkan. Aku kagum dengan semangat Nci, kondisi badan nya kurang
stabil, mual, dan tubuhnya begitu dingin
tapi dia tetap semangat, apa
mungkin Kakak dan Dimas yang membuatnya tetap bersemangat, yah Kakak dan
Dimas adalah Backpacker cilik, Usia nya kurang lebih 7 dan 9 tahun.
Di ujung perkampungan Baduy luar,
sudah tersedia jasa ojek, ongkosnya 25.000,- Sampai ke terminal Ciboleger,
tapi, kami lebih memilih berjalan kaki, menikmati bukit yang menghijau dan hamparan
sawah yang luas, terbelah jalan aspal yang kami lalui. Gadis manis berkerudung
merah, Nilla namanya, semangatnya sama dengan Nci. Nilla yang sejak tadi
menahan perih, lantaran ibu jari dan kelingking nya lecet, akibat gesekan dari
sepatu,, yahh, mereka semua menyenangkan, perjalanan yang jauh pun terasa lebih
indah, apalagi ada Efri. pasti tambah rame dan seru. Hehe. Walaupun sekarang
nggak lagi musim duren, tapi semangkuk bubur sum-sum, dan es sekoteng, cukup
lezat untuk di nikmati..
Tak
terasa, kita sudah sampai di Ciboleger, jam sudah menunjukan pukul 13:00 wib. kami beristirahat
dan makana siang dirumah kang Sarkam,
Kami pulang membawa pesan perdamain,
banyak belajar tentang kehidupan di Baduy. Kesederhanaan. mereka mencintai alam dan sesama. Senyum ramah,
taat pada pearaturan dan banyak lagi kearifan yang jarang sekali aku temui dari wajah-wajah
yang menyebut dirinya manusia modern.
Mobil truck telah menanti. Saat nya
lambaikan tangan,, Baduy,, suatu saat. Aku pasti kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar