“Tarmidzi… apa yang bisa kamu lakukan, sebagai seorang suami. Apa yang bisa kamu berikan untuk
membahagiakanku. Mobil, Perhiasan, Emas, Kebun, sawah. ”
“Tapi,
mah..” aku coba membela diri.
“tapi,
apa?, sudah jangan bicara. Aku muak dengan semua ini, dasar lelaki parasit”
Aku
hanya terdiam, ketika pertengkaran yang
selalu terjadi dalam rumah tanggaku, aku terkadang malu dengan diri sendiri,
sebagai suami, aku selalu kalah dengan istri. Harga diriku seperti di injak
injak. Kejantananku tergilas, sebagai imam aku lebih banyak mengalah. Bukanya aku tak mampu melawan. Tapi, banyak
hal yang harus aku fikirkan, rasa cintaku pada Amir, yang membuatku harus
mengalah dan bersabar, sembari berharap
suatu saat istriku berubah. Amir anak
sematang wayangku dan Kamsah. Kini
usianya baru menginjak 6tahun, di usianya yang masih dini, iya selalu
menyaksikan hal hal yang tak seharusnya, sebagai seorang ayah akupun tak bisa
sepenuhnya mengendalikan keadaan.
Malam
ini istriku tak ada dirumah. Seperti biasa, saat malam jumat dia selalu
mengikuti pengajian rutin di musholah.
Aku hanya termenung sendiri, Amir telah tidur terlelap. Tempat tinggalku
jauh dari kota, meski sudah tersedia listrik, tapi tak ada signal, hanya
telepone Esia yang masuk itupun telpone meja dan jaringanya CDMA pula.
Angin
berdesir begitu kencang, mengahantam apa saja sesukanya. pohon Kopi, kelapa, cokelat, hingga akhirnya mematahkan dahan pohon jengkol . Ini
bukan suatu peristiwa yang aneh, karena setiap hari, aku disuguhkan dengan hal-hal seperti ini. Derit pepohonan, dan deru
ombak, lolongan anjing malam. Juga,
gemericik air sungai yang berada tepat disamping rumah. Ini bukan
rumahku, lebih jelasnya ini rumah istriku. Yah, aku hanya ’numpang bangik’
(ikut enak). Seperti itulah yang para
tetangga bicarakan ketika mereka sedang
mencuci pakain di sungai.
Aku
duduk diatas kursi papan. Kursi
yang sudah lama, terlihat dari sebuah
tulisan yang berada di atas tempat bersandar
“Alak 1985” kursi ini begitu kuat
dan anti rayap. Sambil menikmati segelas
kopi dan sepiring singkong rebus. Mataku menerawang jauh mengamati tiap
sudut halaman. Bersama kepulan asap
tembakau, aku membuang semua rasa kesal yang ku simpan didalam dada, apa lagi
ketika mengingat kata kata istirku yang menusuk dan menyayat hatiku, apakah ini
semua salahku, atau memang keadaan yang membuat aku seperti ini?. Dulu, ayahku
pernah berkata.” Engkau adalah buah Mentimun, dan istrimu buah Durian”
mungkin, ini kata kata yang ayah maksud. Aku selalu kalah dan sulit,
menyingkirkan duri duri rumah tanga.
Aku
beranjak dari tempat dudukku, untuk melihat
Amir yang sedang tertidur di kamar. Aku khawatir, amir
di gigit nyamuk. Atau selimutnya tak terpasang dengan baik, aku mengelus rambutnya, agar semakin lelap
tidurnya. Sering kali aku tersenyum jika melihat anakku sedang tertidur.
Matanya yang sipit, hidungnya seperti jambu
air, rambut ikal dan raut wajah yang oval. Seakan akan aku sedang
menatap potret masa lalu, anakku mirip sekali denganku, “semoga saja kita tak
bernasib sama ya nak”
Malam
semakin larut, jam dinding sudah menunjukan pukul 22:30 wib, tapi istriku tak
kunjung datang, mataku sudah lelah, seharian tadi aku menebang kayu dikebun. Ya
sudahlah. Lebih baik istrahat, karena besok harus bangun pagi-pagi. Aku pergi
kekamar tidur dan menemani Amir, sementara pintu rumah kubiarkan tak terkunci.
“Allahu
Akbar.. Allahu Akbar.”
Suara
adzan subuh membuyarkan impianku. Aku terbangun dan langsung pergi kesungai untuk mandi dan mengambil air
Wudhu. Dingin tak terasa, mungkin karena sudah terbiasa. Tetes embun dan Sejuk
udara pagi, selalu kunikmati.
Selepas
sholat subuh,, aku selalu memasak didapur. Aku takut, setelah istriku bangun
nanti, tak ada sarapan yang tersedia. “wah, bisa bisa,, ada piring terbang
melayang.” Air mataku bukan hanya karena
irisan bawang merah, tapi sebuah kesedihan yang tak berani aku lawan, entah
mengapa akhir-akhir ini istriku selalu marah tanpa alasan, semakin banyak
menuntut dan berharap kemewahan yang lebih. Padahal, semua hasil panen aku
serahkan padanya. Tapi, jumlah yang
besar tak membuatnya merasa cukup.
Setelah
memasak, aku kembali kesungai untuk mencuci pakaian, tak seperti biasanya,
pakaian istriku begitu banyak, biasanya sehari
cuma 2 potong pakaian, tapi belakang ini lebih dari 5 pakaian. Aku
heran, tapi tak berani aku tanyakan. Aku
terkejut ketika merogoh saku depan celana jeans istriku. “kok, ada bungkus
rokok, ini punya siapa? Apa mungkin istriku merokok, atau dia sengaja
membelikan rokok untukku. Tapi dia tahu, aku lebih suka rokok kretek dibanding
filter, tapi kenapa dia membelikan aku rokok yang berfilter, ah.. ya sudahlah”
Mencuci
dan menjemur pakaian setiap hari, itulah pemandangan indah yang jadi sarapan,
para tetangga. Meski mereka selalu tersenyum menghina, tapi aku cukup kuat untuk
menahan emosi, demi keutuhan keluarga dan menghindari keributan.
“mah,
bangun.. itu sarapanya udah siap” aku mencoba membangunkan istriku yang tengah
tidur terlelap, aku tak tahu kapan dia masuk kekamar,
“hmmmm…”
dia hanaya membalikan badan dan menarik selimut. Mungkin istriku masih
mengantuk.
“mir..
Amir.. bangun nak. Ayah sudah buatin telor mata sapi kesukaanmu.” Amir pun
bangun dan mencuci muka disungai, setelah itu
kami berdua sarapan.
“yah,, masakan ayah enak” Amir memujiku
“yah,, masakan ayah enak” Amir memujiku
“masakan
mamah juga enak kok mir.” Aku menjawab datar
“yah..
bukanya, yang harus masak itu mamah ya?” Amir bertanya heran, tapi aku hanya menjawab
dengan senyuman.
“Mir,
kalau makan, jangan banyak ngomong. Nanti tersendat, yah sudah, makan yang
banyak ya, biar cepet gede”
Amir begitu kritis, rasa ingin tahunya begitu besar. Aku berharap dia tak seperti diriku yang terlalu banyak mengalah. Ahh,, aku semakin lelah dengan keadaan seperti ini, aku tak menyangka istriku seperti ini. Padahal waktu pacaran, dia seperti cewek penurut, saat kita berkencan di ’Karang Bekha’ dia pernah berjanji untuk menjadi istri yang solehah dan menjadi ibu yang baik, tapi kenapa semua berbanding terbalik. Dia membuatku seperti babu dalam rumahnya, dan tak mau mengurusi Amir. Karena, yang diharapkan adalah seorang anak perempuan.
Amir begitu kritis, rasa ingin tahunya begitu besar. Aku berharap dia tak seperti diriku yang terlalu banyak mengalah. Ahh,, aku semakin lelah dengan keadaan seperti ini, aku tak menyangka istriku seperti ini. Padahal waktu pacaran, dia seperti cewek penurut, saat kita berkencan di ’Karang Bekha’ dia pernah berjanji untuk menjadi istri yang solehah dan menjadi ibu yang baik, tapi kenapa semua berbanding terbalik. Dia membuatku seperti babu dalam rumahnya, dan tak mau mengurusi Amir. Karena, yang diharapkan adalah seorang anak perempuan.
“mah,
tadi ayah nemu rokok satu bungkus dikantong, itu rokok buat ayah bukan “
Tanyaku lembut
“bisa
liat nggak.. gw lagi sarapan” jawabnya membentak.
“ayah
kan, cuma nanya doang mah” dengan suara memelas aku membela.
“denger gw ngomong nggak. Gw lagi makan, jangan sampe
ganggu selera makan gw, mending sana ke kebun, cari duit yang banyak” lagi lagi dia membentak.
Apa
yang salah dengan diriku sehingga tuhan menguji kesbaranku sebegitu hebatnya,
aku menyesal. Dulu, ketika ayah menjodohkan aku dengan Warsih, aku menolak
dengan alasan tidak cinta, dan aku memilih Kamsah walaupun keluargaku melarang
karena perbedaan suku dan adat. “Nasi sudah menjadi bubur” mungkin itu pepeatah
yang bisa menggambarkan diriku saat ini, dan
memang benar, penyesalan itu datangnya terakhir. Semoga tuhan
menyadarkan istriku dan kembali seperti Kamsah yang aku kenal dulu.
Untunglah,
kesdihanku sempat tertunda, jika Amir berada di dekatku, aku saying sekali
dengan putra semata wayangku ini, dia lucu,kritis dan suka membantu orang tua,
aku harap dia yang akan menjadi kebanggganku kelak. Biarlah bapak begini nak.
Asal kamu bisa tumbuh besar, dan menjadi seorang Guru. Sewaktu kecil, aku ingin sekali menjadi guru,
tapi karena kaedaan, mimpiku menjadi guru harus terkubur dalam-dalam. Dan aku
berharap Amir yang akan meneruskan cita-citaku. Karena aku telah gagal menjadi
guru, bahkan untuk meng-guru-I diri sendiri aku tak mampu.
“ayah,,
kenapa sih selalu bertengkar terus sama mamah” wajah polosnya menunjukan rasa ingin tahu yang
besar
“Mir… Ayah bukan bertengkar. Tapi lagi berbeda pendapat” jawabanku tak lantas membuat Amir menjadi puas
“pasti,
ayah berbeda pendapat karena beda pendapatan, iya kan yah” jiwa kritisnya mengingatkanku pada seorang ‘penegak’
yang sedang berdiskusi ditanah perkemahan. Terus terang aku bingung
menjawabnya, karena pertanyaan itu muncul dari bocah yang baru berumur 6tahun.
“bukan
nak, nanti setelah Amir dewasa, pasti
Amir ngerti dengan sendirinya” aku tak kuasa menahan sedih, kupeluk buah
hatiku “ayah sayang Amir” kukecup tubuh
mungil itu, seakan enggan kulepaskan pelukan cinta dan kecup sayang ini. “Kok,
ayah nangis, lelaki itu gak boleh cengeng yah” ucapanya membuat diriku semakin
tak bisa menahan bening air mata yang telah lama mengucur deras. “karena ayah
sayang kamu, nak.” . tangan mungil itu, ,, tangan mungil dan jemari imut itu
mengusap laju air mata ku, kutatap dengan mata yang berkaca-kaca. “kelak,
jadilah lelaki yang kuat, jangan sampai tertipu dengan gemerlap cinta.”
Aku
titipkan asa pada sang buah hati, aku yang terlanjur sakit, aku yang terlanjur
berkubang dalam lumpur lumpur ketidak berdayaan, derita kemiskinan yang terus berikrar,
membuatku berteduh didalam istana, aku berfikir inilah surgaku, tapi yang aku
rasakan justru sebaliknya. Aku di buat hina dengan pandangan materi yang
fatamorgana. Aku tak menyangka lipstick kemuafikanmu muncul disaat aku telah menyerahkan
kepercayaan pada janjimu.
“yah…
mamah kemana, dari pagi sampe sore kok belum pulang” calon guru ini, bertanya.
“nggak
tahu, mamahmu kalau pergi, nggak permisi sama ayah”
“yah
kenapa hari ini ayah nggak ke kebun, atau ke sawah?”
“hari
ini, ayah pengen istirahat, ayah pengen ajak Amir jalan-jalan”
“ke
Karang Bekha ya, yah,, asikkk,, asikk, kita maen di pasir dan cari
umang-umang yah” Amir begitu girang, setiap hari Amir selalu menemaniku di kebun,
tapi kali ini aku akan mengajaknya ke pantai, sekalian menghilangkan kejenuhan
dan memacing ikan.
Dengan
sepeda motor trail, aku pergi kepantai, jaraknya tak jauh dari rumahku, hanya
melewati beberapa perkampungan, jembatan Tegi neneng, Kampung Koala, dan
melintasi perbukitan yang sedikit menanjak. dengan kondisi jalan yang berlubang
dan batu batu yang tersusun, tentu saja membuat laju kendaraanku tak bisa
ngebut..
Menyaksikan
pemandangan alam laut yang biru, berjalan diatas bukit yang hijau, sungguh
keindahan Tanggamus yang masih asri, pemandangan ini seakan menimbulkan
gairahku untuk kembali mengingat masa lalu, yah waktu itu ketika aku mengikuti
acara Backpacker koprol, untuk berkunjung dan mengenal kearifan Baduy. Dan ingatanku pada gunung Galunggung pun ikut
menyertai. Suatu saat nanti, aku akan
mengajak Amir ke tempat-tempat yang pernah aku singgahi. Aku akan membuatnya jatuh
cinta pada alam Indonesia. Tak terasa, lamunanku semakin jauh, mengingatkanku
pada Serang dan sahabat-sahabatku di
Rumah Dunia.
“ayah..
ayah,, sudah sampai,, “
“ngikkkk…aku
yang hanyut dalam nostalgia indah. Hampir saja.. kebablasan” parkiran disini Nampak sepi. wajar saja
karena ini bukan hari libur, kalau hari libur
ramai sekali orang yang berkunjung kesini, apa lagi kalau lebaran.
Aku
dan Amir berlarian menyusuri pantai, sesekali bermain pasir dan berkejaran,
ombak ombak yang menampar bibir pantai semakin membuat kami menikmati suasana,
“yah..
lihat itu ” telunjuk Amir menuding tepat di semak semak
“mana..
ayah nggak lihat?”
“itu
yah..!” mata tuaku yang mulai rabun, tak bisa melihat jelas dari jarak 20meter.
“ssstt..
jangan berisik, kita samperin aja yuk”
Aku
berjalan layaknya detektif Conan,
berjalan perlahan seakan tak menyentuh bumi.
Hanya
beberapa langkah lagi kakiku menemui sasaran
“Astaghfirullahal
‘adzim…. Kamsah ” aku menjerit histeris,
tentu saja membuat sepasang kekasih itu beranjak dan mengenakan pakain
seadanya, pria muda bertubuh putih,
berkumis tipis dan memakai topi.
langsung pergi dan meninggalkan celana jeans pensil nya, sementara Kamsah,
tubuhnya hanya ditutupi dengan baju, rok panjang, serta kerudung tipis. Wajahnya hanya tertunduk malu, dan
menangis. Amir sang jagoanku sudah menyaksikan tontonan yang tak seharusnya,
aku takut peristiwa ini justru menimbulkan trauma dan kebencianya terhadap ibu
kandungnya.
“ok,
sekarang pakai bajumu Kam, kita pulang kerumah”
Kutarik
dalam dalam gas sepeda motor, meski jalanan rusak, aku tak peduli.
Sesampainya
dirumah. pertarungapun terjadi,
“apa
yang mau kamu jelaskan,, semuanya sudah jelas.. kurang apa, diriku selama ini.
Teganya dirimu menghianati” aku yang tak mampu lagi menahan emosi, terus membentak,
mencaci. ingin sekali kupecahkan isi kepalanya
agar semua kebusukan yang kau lakukan
keluar, andai saja di negri ini tak ada hukum, mungkin sudah kucabik cabik
perutmu dan ku lumat ceceran ususmu.
“bang..
aku minta maaf” pintanya memelas.
“aku
tak terlalu bodoh, untuk memafkan kesalahan besar yang telah kamu perbuat, Kamsah”
“tapi,,
bang, semua nggak seperti apa yang abang lihat,” jawabnya merayu
“sudahlah
Kamsah,, jangan pernah meminta maaf, sampai langit runtuh pun aku tak akan
mungkin memaafkan kamu.”
“terus,
saya harus gimana bang, agar bisa menebus kesalahn saya”
“Kamsah,
kamu sudah berani melawan tuhan, kamu
berani menghianati kepercayaan yang aku berikan, bertaubatlah”
“setelah
saya bertaubat, apa abang mau memafkan saya”
“tidak,
dan tidak akan pernah.. keputusanku
sudah bulat”
Amir
hanya terdiam, dan tak menunjukan wajah kritisnya, sementara di halaman
rumah para tetangga telah berdiri
mengular, seakan ingin melerai perkelahian kita, namun pintu rumah sudah ku
kunci rapat-rapat.
“hari
ini, kita bercerai. Aku akan bawa amir pergi. Aku tak sudi menitipkanya pada
orang yang tak berakhlak,”
“baiklah.
kalu itu keputusan abang. Aku terima.. tapi, Sesuai perjanjian adat, abang
boleh pergi, tapi jangan bawa apapun dari rumahku, karena semua ini milikku,
abang nggak berhak untuk semuanya,
“silahkan..
aku tak butuh harta, dan perlu di ingat, hartaku yang paling berharga adalah
Amir”
Diantara
kerumunan masyarakat, aku membuka pintu, dan membawa Amir, pergi jauh. Sampai mati
pun, aku tak ikhlas dan tak akan mengizinkan bertemu ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar