Jumat, 15 November 2013

sakitnya Semanda




“Tarmidzi… apa yang  bisa kamu lakukan, sebagai seorang suami.  Apa yang bisa kamu berikan untuk membahagiakanku. Mobil, Perhiasan, Emas, Kebun, sawah.   
“Tapi, mah..” aku coba membela diri.
“tapi, apa?, sudah jangan bicara. Aku muak dengan semua ini, dasar lelaki parasit”


Aku hanya terdiam, ketika  pertengkaran yang selalu terjadi dalam rumah tanggaku, aku terkadang malu dengan diri sendiri, sebagai suami, aku selalu kalah dengan istri. Harga diriku seperti di injak injak. Kejantananku tergilas, sebagai imam aku lebih banyak mengalah.  Bukanya aku tak mampu melawan. Tapi, banyak hal yang harus aku fikirkan, rasa cintaku pada Amir, yang membuatku harus mengalah dan bersabar, sembari  berharap suatu  saat istriku berubah. Amir anak sematang wayangku  dan Kamsah. Kini usianya baru menginjak 6tahun, di usianya yang masih dini, iya selalu menyaksikan hal hal yang tak seharusnya, sebagai seorang ayah akupun tak bisa sepenuhnya mengendalikan keadaan.

Malam ini istriku tak ada dirumah. Seperti biasa, saat malam jumat dia selalu mengikuti pengajian rutin di musholah.  Aku hanya termenung sendiri, Amir telah tidur terlelap. Tempat tinggalku jauh dari kota, meski sudah tersedia listrik, tapi tak ada signal, hanya telepone Esia yang masuk itupun telpone meja dan jaringanya CDMA pula.
Angin berdesir begitu kencang, mengahantam apa saja sesukanya.  pohon Kopi, kelapa, cokelat, hingga  akhirnya mematahkan dahan pohon jengkol . Ini bukan suatu peristiwa yang aneh, karena setiap hari, aku disuguhkan dengan  hal-hal seperti ini. Derit pepohonan, dan deru ombak, lolongan anjing malam. Juga,  gemericik air sungai yang berada tepat disamping rumah. Ini bukan rumahku, lebih jelasnya ini rumah istriku. Yah, aku hanya ’numpang bangik’ (ikut enak). Seperti itulah yang  para tetangga bicarakan  ketika mereka sedang mencuci pakain di sungai.

Aku duduk diatas kursi  papan. Kursi yang  sudah lama, terlihat dari sebuah tulisan yang berada di atas tempat bersandar  “Alak 1985”  kursi ini begitu kuat dan anti rayap. Sambil  menikmati segelas kopi dan sepiring singkong rebus. Mataku menerawang jauh mengamati tiap sudut  halaman. Bersama kepulan asap tembakau, aku membuang semua rasa kesal yang ku simpan didalam dada, apa lagi ketika mengingat kata kata istirku yang menusuk dan menyayat hatiku, apakah ini semua salahku, atau memang keadaan yang membuat aku seperti ini?. Dulu, ayahku pernah berkata.” Engkau adalah buah Mentimun, dan istrimu  buah Durian”  mungkin, ini kata kata yang ayah maksud. Aku selalu kalah dan sulit, menyingkirkan  duri duri rumah tanga.

Aku beranjak dari tempat dudukku, untuk melihat  Amir  yang  sedang tertidur di kamar. Aku khawatir, amir di gigit nyamuk. Atau selimutnya tak terpasang dengan baik, aku  mengelus rambutnya, agar semakin lelap tidurnya. Sering kali aku tersenyum jika melihat anakku sedang tertidur. Matanya yang sipit, hidungnya seperti jambu  air, rambut ikal dan raut wajah yang oval. Seakan akan aku sedang menatap potret masa lalu, anakku mirip sekali denganku, “semoga saja kita tak bernasib sama ya nak” 

Malam semakin larut, jam dinding sudah menunjukan pukul 22:30 wib, tapi istriku tak kunjung datang, mataku sudah lelah, seharian tadi aku menebang kayu dikebun. Ya sudahlah. Lebih baik istrahat, karena besok harus bangun pagi-pagi. Aku pergi kekamar tidur dan menemani Amir, sementara pintu  rumah kubiarkan tak terkunci.

“Allahu Akbar.. Allahu Akbar.”
Suara adzan subuh membuyarkan impianku. Aku terbangun dan langsung  pergi kesungai untuk mandi dan mengambil air Wudhu. Dingin tak terasa, mungkin karena sudah terbiasa. Tetes embun dan Sejuk udara pagi, selalu kunikmati.

Selepas sholat subuh,, aku selalu memasak didapur. Aku takut, setelah istriku bangun nanti, tak ada sarapan yang tersedia. “wah, bisa bisa,, ada piring terbang melayang.”  Air mataku bukan hanya karena irisan bawang merah, tapi sebuah kesedihan yang tak berani aku lawan, entah mengapa akhir-akhir ini istriku selalu marah tanpa alasan, semakin banyak menuntut dan berharap kemewahan yang lebih. Padahal, semua hasil panen aku serahkan padanya. Tapi, jumlah yang  besar tak membuatnya merasa cukup.

Setelah memasak, aku kembali kesungai untuk mencuci pakaian, tak seperti biasanya, pakaian istriku begitu banyak, biasanya sehari  cuma 2 potong pakaian, tapi belakang ini lebih dari 5 pakaian. Aku heran, tapi tak berani aku tanyakan.  Aku terkejut ketika merogoh saku depan celana jeans istriku. “kok, ada bungkus rokok, ini punya siapa? Apa mungkin istriku merokok, atau dia sengaja membelikan rokok untukku. Tapi dia tahu, aku lebih suka rokok kretek dibanding filter, tapi kenapa dia membelikan aku rokok yang berfilter, ah.. ya sudahlah”

Mencuci dan menjemur pakaian setiap hari, itulah pemandangan indah yang jadi sarapan, para tetangga. Meski mereka selalu tersenyum menghina, tapi aku cukup kuat untuk menahan emosi, demi keutuhan keluarga dan menghindari keributan.

“mah, bangun.. itu sarapanya udah siap” aku mencoba membangunkan istriku yang tengah tidur terlelap, aku tak tahu kapan dia masuk kekamar,
“hmmmm…” dia hanaya membalikan badan dan menarik selimut. Mungkin istriku masih mengantuk.
“mir.. Amir.. bangun nak. Ayah sudah buatin telor mata sapi kesukaanmu.” Amir pun bangun dan mencuci muka disungai, setelah itu  kami berdua sarapan.
“yah,, masakan ayah enak” Amir memujiku
“masakan mamah juga enak kok mir.” Aku menjawab datar
“yah.. bukanya, yang harus masak itu  mamah ya?”  Amir bertanya heran, tapi aku hanya menjawab dengan senyuman.
“Mir, kalau makan, jangan banyak ngomong. Nanti tersendat, yah sudah, makan yang banyak ya, biar cepet gede”  

Amir begitu kritis, rasa ingin tahunya begitu besar. Aku berharap dia tak seperti diriku yang terlalu banyak mengalah.  Ahh,, aku semakin lelah dengan keadaan seperti ini, aku tak menyangka istriku seperti ini. Padahal  waktu pacaran, dia seperti cewek penurut, saat kita berkencan di ’Karang Bekha’ dia pernah berjanji untuk menjadi istri yang solehah dan menjadi ibu yang baik, tapi kenapa semua berbanding terbalik. Dia membuatku seperti babu dalam rumahnya, dan tak mau mengurusi Amir. Karena, yang diharapkan adalah seorang anak perempuan.

“mah, tadi ayah nemu rokok satu bungkus dikantong, itu rokok buat ayah bukan “ Tanyaku lembut
“bisa liat nggak.. gw lagi sarapan” jawabnya membentak.
“ayah kan, cuma nanya doang mah” dengan suara memelas aku membela.
“denger  gw ngomong nggak. Gw lagi makan, jangan sampe ganggu selera makan gw, mending sana ke kebun, cari duit yang banyak”  lagi lagi dia membentak.

Apa yang salah dengan diriku sehingga tuhan menguji kesbaranku sebegitu hebatnya, aku menyesal. Dulu, ketika ayah menjodohkan aku dengan Warsih, aku menolak dengan alasan tidak cinta, dan aku memilih Kamsah walaupun keluargaku melarang karena perbedaan suku dan adat. “Nasi sudah menjadi bubur” mungkin itu pepeatah yang bisa menggambarkan diriku saat ini, dan  memang benar, penyesalan itu datangnya terakhir. Semoga tuhan menyadarkan istriku dan kembali seperti Kamsah yang aku kenal dulu.

Untunglah, kesdihanku sempat tertunda, jika Amir berada di dekatku, aku saying sekali dengan putra semata wayangku ini, dia lucu,kritis dan suka membantu orang tua, aku harap dia yang akan menjadi kebanggganku kelak. Biarlah bapak begini nak. Asal kamu bisa tumbuh besar, dan menjadi seorang Guru.  Sewaktu kecil, aku ingin sekali menjadi guru, tapi karena kaedaan, mimpiku menjadi guru harus terkubur dalam-dalam. Dan aku berharap Amir yang akan meneruskan cita-citaku. Karena aku telah gagal menjadi guru, bahkan untuk meng-guru-I diri sendiri aku tak mampu.
“ayah,, kenapa sih selalu bertengkar terus sama mamah”  wajah polosnya menunjukan rasa ingin tahu yang besar
“Mir…  Ayah bukan bertengkar.  Tapi lagi berbeda pendapat”  jawabanku tak lantas membuat Amir menjadi puas
“pasti, ayah berbeda pendapat karena beda pendapatan, iya kan yah”  jiwa kritisnya mengingatkanku pada seorang ‘penegak’ yang sedang berdiskusi ditanah perkemahan. Terus terang aku bingung menjawabnya, karena pertanyaan itu muncul dari bocah yang baru berumur 6tahun.
“bukan nak, nanti setelah  Amir dewasa, pasti Amir  ngerti dengan sendirinya”  aku tak kuasa menahan sedih, kupeluk buah hatiku “ayah sayang Amir”  kukecup tubuh mungil itu, seakan enggan kulepaskan pelukan cinta dan kecup sayang ini. “Kok, ayah nangis, lelaki itu gak boleh cengeng yah” ucapanya membuat diriku semakin tak bisa menahan bening air mata yang telah lama mengucur deras. “karena ayah sayang kamu, nak.” . tangan mungil itu, ,, tangan mungil dan jemari imut itu mengusap laju air mata ku, kutatap dengan mata yang berkaca-kaca. “kelak, jadilah lelaki yang kuat, jangan sampai tertipu dengan gemerlap cinta.”

Aku titipkan asa pada sang buah hati, aku yang terlanjur sakit, aku yang terlanjur berkubang dalam lumpur lumpur ketidak berdayaan,  derita kemiskinan yang terus berikrar, membuatku berteduh didalam istana, aku berfikir inilah surgaku, tapi yang aku rasakan justru sebaliknya. Aku di buat hina dengan pandangan materi yang fatamorgana. Aku tak menyangka lipstick kemuafikanmu  muncul disaat aku telah menyerahkan kepercayaan pada janjimu.
“yah… mamah kemana, dari pagi sampe sore kok belum pulang” calon guru ini, bertanya.
“nggak tahu, mamahmu kalau pergi, nggak permisi sama ayah”
“yah kenapa hari ini ayah nggak ke kebun, atau ke sawah?”
“hari ini, ayah pengen istirahat, ayah pengen ajak Amir jalan-jalan”
“ke Karang Bekha ya, yah,, asikkk,, asikk, kita maen di pasir dan cari umang-umang  yah”  Amir begitu girang,  setiap hari Amir selalu menemaniku di kebun, tapi kali ini aku akan mengajaknya ke pantai, sekalian menghilangkan kejenuhan dan memacing ikan.

Dengan sepeda motor trail, aku pergi kepantai, jaraknya tak jauh dari rumahku, hanya melewati beberapa perkampungan, jembatan Tegi neneng, Kampung Koala, dan melintasi perbukitan yang sedikit menanjak. dengan kondisi jalan yang berlubang dan batu batu yang tersusun, tentu saja membuat laju kendaraanku tak bisa ngebut..
Menyaksikan pemandangan alam laut yang biru, berjalan diatas bukit yang hijau, sungguh keindahan Tanggamus yang masih asri, pemandangan ini seakan menimbulkan gairahku untuk kembali mengingat masa lalu, yah waktu itu ketika aku mengikuti acara Backpacker koprol, untuk berkunjung dan mengenal kearifan Baduy.  Dan ingatanku pada gunung Galunggung pun ikut menyertai.  Suatu saat nanti, aku akan mengajak Amir ke tempat-tempat yang pernah aku singgahi. Aku akan membuatnya jatuh cinta pada alam Indonesia. Tak terasa, lamunanku semakin jauh, mengingatkanku pada Serang dan sahabat-sahabatku  di Rumah Dunia.
“ayah.. ayah,, sudah sampai,, “
“ngikkkk…aku yang hanyut dalam nostalgia indah. Hampir saja.. kebablasan”  parkiran disini Nampak sepi. wajar saja karena ini bukan hari libur, kalau hari libur  ramai sekali orang yang berkunjung kesini, apa lagi kalau lebaran.

Aku dan Amir berlarian menyusuri pantai, sesekali bermain pasir dan berkejaran, ombak ombak yang menampar bibir pantai semakin membuat kami menikmati suasana,
“yah.. lihat itu ” telunjuk Amir menuding tepat di semak semak
“mana.. ayah nggak lihat?”   
“itu yah..!” mata tuaku yang mulai rabun, tak bisa melihat jelas dari jarak 20meter.
“ssstt.. jangan berisik, kita samperin aja yuk”
Aku berjalan layaknya detektif  Conan, berjalan perlahan seakan tak menyentuh bumi.
Hanya beberapa langkah lagi kakiku menemui sasaran
“Astaghfirullahal ‘adzim…. Kamsah ”  aku menjerit histeris, tentu saja membuat sepasang kekasih itu beranjak dan mengenakan pakain seadanya,  pria muda bertubuh putih, berkumis tipis    dan memakai topi. langsung pergi dan meninggalkan celana jeans pensil nya, sementara Kamsah, tubuhnya hanya ditutupi dengan baju, rok panjang, serta kerudung  tipis. Wajahnya hanya tertunduk malu, dan menangis. Amir sang jagoanku sudah menyaksikan tontonan yang tak seharusnya, aku takut peristiwa ini justru menimbulkan trauma dan kebencianya terhadap ibu kandungnya.
“ok, sekarang pakai bajumu Kam, kita pulang kerumah”
Kutarik dalam dalam gas sepeda motor, meski jalanan rusak, aku tak peduli.
Sesampainya dirumah.  pertarungapun terjadi, 
“apa yang mau kamu jelaskan,, semuanya sudah jelas.. kurang apa, diriku selama ini. Teganya dirimu menghianati” aku yang tak mampu lagi menahan emosi, terus membentak, mencaci.  ingin sekali kupecahkan isi kepalanya agar  semua kebusukan yang kau lakukan keluar, andai saja di negri ini tak ada hukum, mungkin sudah kucabik cabik perutmu dan ku lumat ceceran ususmu.
“bang.. aku minta maaf”  pintanya memelas.
“aku tak terlalu bodoh, untuk memafkan kesalahan besar yang telah kamu perbuat,  Kamsah”
“tapi,, bang, semua nggak seperti apa yang abang lihat,” jawabnya merayu
“sudahlah Kamsah,, jangan pernah meminta maaf, sampai langit runtuh pun aku tak akan mungkin memaafkan kamu.”
“terus, saya harus gimana bang, agar bisa menebus kesalahn saya”
“Kamsah, kamu sudah berani melawan tuhan,  kamu berani menghianati kepercayaan yang aku berikan, bertaubatlah”
“setelah saya bertaubat, apa abang mau memafkan saya”
“tidak, dan tidak akan pernah..  keputusanku sudah bulat”
Amir hanya terdiam, dan tak menunjukan wajah kritisnya, sementara di halaman rumah  para tetangga telah berdiri mengular, seakan ingin melerai perkelahian kita, namun pintu rumah sudah ku kunci rapat-rapat.
“hari ini, kita bercerai. Aku akan bawa amir pergi. Aku tak sudi menitipkanya pada orang yang tak berakhlak,”
“baiklah. kalu itu keputusan abang. Aku terima.. tapi, Sesuai perjanjian adat, abang boleh pergi, tapi jangan bawa apapun dari rumahku, karena semua ini milikku, abang nggak berhak untuk semuanya,
“silahkan.. aku tak butuh harta, dan perlu di ingat, hartaku yang paling berharga adalah Amir”
Diantara kerumunan masyarakat, aku membuka pintu, dan membawa Amir, pergi jauh. Sampai mati pun, aku tak ikhlas dan tak akan mengizinkan bertemu ibunya.


 
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar