Keretaku laju
tinggalkan terminal malam
Jogja.. Jogjakarta
kutinggalkan
Sepasang mata kekasih antar aku pergi
Jogja.. yang
tak sempat kucicipi
Sejuta kenangan
singgah di stasiun tulangku
Jogja... Jogjakarta
kutinggalkan
Benih-benih
cinta waktu tinggal di Jogjakarta
Selalu lekat
dalam tulangku… dalam tulangku
Selalu lekat
dalam tulangku.
Jogja..
kucinta padamu. Ooo
Jogja..
kusayang padamu… malioboro
Jogja..
kuingat selalu,, Ooo..
Jogja kurindu
padamu
Tunggu aku
kembali, kupasti kembali
Sambutlah kedatanganku
penuh rindu
Nanti aku
sana, di stasiun tugu
Sambutlah kedatanganku
dengan senyum.
Kenangan bukanlah berapa jarak lama waktu yang terlah berlalu,
karena kenangan adalah sesuatu yang akan selalu dirasakan kehadirannya, sudah pasti memberi warna
tersendiri di ruang kehidupan, entah itu kenangan pahit atau manis
bersama sahabat, keluarga, benda, dan
orang yang dicinta bahkan dengan orang yang tak dikenal sekalipun. Disadari atau
tidak, kenangan itu membuat ingatan kita melayang jauh, kembali ke masa dimana
kita sedang berada di dalamnya, banyak hal yang membuat kita di pertemukan
lagi, dengan sebuah lagu misalnya.
Baiklah kawan, akan kuceritakan lagi
tentang lagu di atas yang takkan pernah aku pensiunkan dari ingatan. Aku tak
tahu siapa pencipta dan penyanyinya, yang aku tahu lagu itu dinyanyikan seorang
musisi jalanan ketika aku sedang menikmati hangatnya kopi joss di stasiun tugu,
bersama empat orang sahabatku. Aku suka sekali liriknya, lalu meminta sang
pengamen untuk menyanyikan lagi dan lagi, hingga otakku dapat merekam dengan
baik lirik lagu tersebut.
Saat
itu aku dan empat orang sahabatku sedang mengadakan temu kangen di Jogja, selepas
aku memutuskan berhenti sekolah pada kelas dua SMA, aku tak lagi bertemu dengan
mereka tiga belas tahun lamanya. Mereka adalah Very, Midha, Yourfa dan Warsih. Meski
kami berada satu kecamatan di daerah Lampung, kami tak pernah berpandang mata,
walaupun ketika lebaran.
Pertemuan
itu membuatku seperti kembali pada masa kenakalan SMA dulu, dan menyetujui kata
‘penyesalan’ dengan keputusan yang
pernah aku tetapkan. Bagaimana tidak, setelah jumpa dengan mereka yang kini
telah menjadi orang sukses, ”dalam pandanganku” aku merasa kata penyesalan itu membuatku
semakin merasa bersalah dengan diri ini, juga terhadap orang tua yang sudah
kulangkahi nasihatnya. Meski aku sadari nasib anak cucu Adam itu berbeda-beda
Lagu
itu telah menyemangatiku untuk berfikir lebih bijak dalam menentukan keputusan.
Bukan karena liriknya, tapi pertemuan dengan sahabatku. Harus aku akui dalam
bait
“Benih-benih cinta
waktu tinggal di Jogja, karta
Selalu lekat dalam tulangku… dalam tulangku
Selalu lekat dalam tulangku.”
Aku di ingatkan lagi akan Cinta Monyet yang
sampai sekarang tak pernah beranjak dari harapanku. Benih-benih cinta yang
pernah tertanam waktu masih duduk di bangku SMA, semakin berbunga diantara
jedah waktu yang cukup lama, hingga akhirnya kami dipertemukan. Sepanjang pertemuan
itu, lagu berjudul Djogja tak bosan kunyanyikan. Bahkan sebelum aku
mengutarakan perasaanku pada Warsih, meski jawabannya tak memuaskan, aku cukup
senang karena Tuhan telah mengizinkan
kami bertemu dalam suasana yang bahagia bercampur kecewa. Aku dan para sahabat di pisahkan lagi oleh jarak
dan waktu, dan kami semakin merasakan indahnya kerinduan dan pertemuan.
Aahh... Jogja, aku juga kangeennn.. :)
BalasHapusdan pingin dengar lagunya, nanti kalo ketemu nyanyiin yaa
Judul lagunya apa ya?
Hapus